Bintang, CEO muda dan sukses, mengajukan kontrak nikah, pada gadis yang dijodohkan padanya. Gadis yang masih berstatus mahasiswa dengan sifat penurut, lembut dan anggun, dimata kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka, kelinci penurut yang selalu menggunakan pakaian feminim, ternyata seorang pemberontak kecil, yang membuat Bintang pusing tujuh keliling.
Bagaimana Bintang menanganinya? Dengan pernikahan, yang ternyata jauh dari ekspektasi yang ia bayangan.
Penuh komedi dan keromantisan, ikuti kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25.
Sudah seminggu, sikap Bintang benar-benar berubah kepada istrinya. Bicara yang sangat lembut bak puding, tatapan mata yang teduh seperti pohon cemara dan tak lupa perhatiannya yang membuat Sera merinding. Namun, ada yang membuat Sera tidak nyaman, yakni sifat protektif Bintang yang dianggap keterlaluan.
Mau kemana-mana harus izin, tapi itu lebih baik daripada ia mengantarnya langsung. Belum lagi, jika Sera baru pulang, maka ia harus menjawab pertanyaan layaknya sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Sepertinya, pria itu benar-benar menunjukkan menjadi sosok suami dalam pernikahan mereka.
Berbeda dengan Bintang, yang ingin menjalani pernikahan mereka layaknya pasangan. Sera justru berpikir, bagaimana agar mereka lekas bercerai. Ia. sudah muak, dengan pagar tembok yang dibuat sang suami. Ia pikir, pernikahan ini akan memberikannya kebebasan, seperti perjanjian mereka. Namun, semua berubah.
Diruang sekretariat, para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi, fokus dengan paparan Rio didepan sana. Sementara, Sera tengah memikirkan hal lain.
"Ren." Sera menyikut Renata, yang duduk disebelahnya.
"Apa?" jawab Renata setengah berbisik.
"Lu, tau nggak gimana caranya biar hubungan pernikahan cepat cerai?"
"Siapa yang mo cerai? Orang tua elu?" Renata membelalak.
"Bukan. Gue punya teman, hubungan mereka tuh toxic banget. Dia pengen cerai, tapi takut sama suaminya."
"Astaga, tinggal gugat aja dipengadilan, ribet banget."
"Nggak semudah itu."
"Ya, suruh aja bininya bikin masalah, biar suaminya tuh muak dan nggak tahan. Apalagi, kalau orang tua suaminya tuh ikut campur. Pasti bakal cepat, game."
"Yakin, lu?" Sera meragukan pendapat Renata.
"Makanya, lu harus sering-sering nonton drama."
Sera bingung, harus membuat masalah seperti apa. Karena, hubungan mereka bukan sekedar pernikahan biasa, namun ada hubungan bisnis orang tua keduanya. Jika mereka kandas, otomatis mempengaruhi hubungan orang tua mereka.
"Ah, sial!" umpat Sera, dalam hati, "mo cerai aja, seribet ini."
Ini semua gara-gara, Bintang. Ngapain acara nikah sungguhan! Udah bagus, nikah kontrak. Begitu selesai, langsung tamat. Ini nambahin episode, nggak konfirmasi.
"Ser, lu siapkan?" tanya Rio tiba-tiba.
"Hah!" Lamunan Sera buyar seketika. "Oke, gue siap."
Sera menjawab asal. Ia sebenarnya tidak tahu, apa yang Rio bicarakan. Ia saja diseret oleh Renata, setelah kelas bubar. Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti. Ia adalah seorang orator.
Setelah pertemuan selesai. Sera bergandengan tangan bersama Renata. Keduanya, menuju kantin. Tempat yang selain melepaskan lapar dan dahaga, juga merupakan tempat yang paling asyik untuk membicarakan aib orang. Begitu, kata Renata.
"Ser, tumben lu nggak langsung pulang?"
"Bosan, gue."
Diatas meja, sudah ada 2 mangkok mie rebus, diatasnya diberi tambahan telur rebus dan daun bawang. Sera langsung menambahkan sambal dan jeruk nipis.
"Ser. Teman lu yang pengen cerai, apa yang dijodohkan. Yang lu pernah tanya gue, waktu itu?" Renata mencicipi kuahnya lebih dulu.
Sera berpikir sejenak. "Ah, iya. Yang itu."
"Ribet, dong." Sera menatap Renata dengan penuh tanda tanya. "Maksud gue, kalo nikahnya dijodohkan. Bukan hanya merusak hubungan pernikahan mereka, tapi orang tua mereka juga."
Sera menatap hambar makanannya. Ia langsung meletakkan sendok, sembari menghela napas panjang. "Benar juga, sih."
"Sebenarnya, alasan dia pengen cerai apa sih?"
"Gue nggak tahu pasti," bohong Sera, "katanya sih, dia nggak cinta dan suaminya terlalu protektif."
"Haduh, gue kira apaan. Ternyata, cuma masalah hati." Renata meletakkan sendok dan menatap Sera dalam-dalam. "Ser, bilangin sama temen elu. Mencintai itu kagak perlu, yang penting dicintai. Belum tentu juga, ketika mereka cerai, dia bakalan dapet suami yang perhatian sama dia."
"Benar sih. Tapi, kata teman gue. Suaminya itu, punya mantan pacar. Lu, tau nggak. Tuh cewek, sampe nyamperin dia loh. Bilang dia bakal rebut kembali cowoknya."
"Wah, gila!" Renata mendadak bersemangat, "Terus, suaminya bilang apa?"
"Katanya sih, mereka sudah selesai. Gitu doang."
"Gue tahu nih, kayaknya teman lu aja yang kebelet pengen cerai. Heran gue, suami udah cinta. Dia nyari, apaan sih? Alasan kagak cinta. Gue curiga, teman lu punya selingkuhan."
Sera menggebrak meja, membuat Renata terlonjak. "Apa sih? Buat kaget aja."
"Maksud lu, apaan?"
"Ser, logika aja. Suaminya nggak bermasalah, tapi dia ngotot mo cerai, alasan kagak cinta. Lu pikir, itu masuk akal?" jelas Renata, sejurus kemudian menatap Sera dengan bingung, "lu, kenapa emosi?"
Sera tersadar, lalu memperbaiki posisi duduknya. "Gue nggak terima, lu bilang gitu. Gue kenal banget sama dia, nggak mungkin punya selingkuhan."
"Yah, gue kan bicara menurut logika. Kalau dia tetap mo cerai, serahin aja ke mantannya. Bahagia pasti, tuh cewek."
Renata tertawa, sementara Sera terdiam. Saraf-saraf otaknya, seolah menyerap ucapan sang sahabat. Ditambah, potongan ingatan tentang Hania, dengan semangat seperti pejuang, yang berkata dia tidak akan menyerah.
Sera kembali menikmati semangkuk mie rebus, yang sudah hampir dingin. Disebelahnya, Renata masih terus berbicara, tanpa titik, koma.
Ah, benar. Si mantan itu, tali penolong gue. Tapi, mau nyari kemana, perempuan itu?
"Ser, lu dengar, nggak?" Renata kembali membuyarkan lamunan Sera.
"Iya, dengar."
"Ah, benar. Ntar lagi, kita bakalan magang ke perusahaan. Gue berharap, bisa magang di perusahaan StarShow." Renata tersenyum di sela-sela khayalannya.
"Itu perusahaan apa?" tanya Sera, yang sebenarnya tidak peduli.
"Ya, ampun, Ser. Sebenarnya, lu dari planet mana? Perusahaan sebesar itu, lu nggak tau. Itu perusahaan yang produksi barang mewah, yang branded itu loh."
"Hoh," Sera meneguk habis air minumnya. "Gue nggak peduli, mau magang kemana. Yang penting, mereka nggak nyusahin gue."
"Gue bilangin lu yah, banyak lulusan fresh graduate yang pengen kerja disana. Apalagi, gue dengar CEO nya super tampan. Aduh, meleleh gue."
"Ck, kenyang lu, makan tuh muka?"
"Ser, gue memang nggak kenyang. Tapi, mata gue jadi sehat, lihat yang bening-bening kayak gitu. Tapi, .... " Renata menghela napas, "gue dengar, dia baru nikah."
"Hahaha.... " Sera terjungkal. "Ntar dilabrak ma istrinya, tau rasa lu."
"Bodoh amat. Gue kan cuman liatin, sambil khayalin, berdoa mudah-mudahan dapat suami bening kayak dia."
"Mimpi aja, lu. Gue mau balik." Sera bangkit, menyambar tas ranselnya diatas lantai.
Didalam mobil, Sera kembali didandani oleh wita. Ia terpejam, namun tidak tidur. Otaknya sudah seperti mesin pencari. Yah, Sera bingung. Seperti, kata Renata, sebenarnya apa yang ia cari? Ia tahu jawabannya, tapi sepertinya orang tidak akan pernah mengerti. Kenapa keinginan yang sederhana itu, ia harus meminta perpisahan?
Bagi orang lain, mereka akan berpandangan, hidupnya sempurna. Orang tua mapan dan ternama, begitu juga sang suami. Tapi mengapa, ia merasa sesak dengan keadaannya? Hidup hanya karena ia masih bernapas. Namun, kedua kakinya, seperti ada rantai besi yang sulit ia lepaskan.
🍓🍓🍓
ceritanya bagus, jadi ga sabar nunggu up