Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepanikan Gladys
Rendra yang pagi ini telah siap dengan pakaian formalnya yang rapih dan wangi. Dengan menenteng tas yang berisi laptop serta berkas-berkas penting lainnya berjalan dengan langkah tegap menyusuri koridor lantai 3 menuju ke arah lift untuk menuju ke bawah.
Rendra yang telah sampai di ruang makan melihat Arania yang terus sibuk berseliweran di sekitarnya. Ia merasa sangat gemas pada istri mungilnya yang susah sekali dibujuk untuk tidak ikut turun tangan mengurusi pekerjaan pelayan. Rendra menghela nafas kasarnya kemudian menarik salah satu kursi lalu mendudukinya.
Arania yang kini menyadari sang suami telah siap di meja makan kemudian menghampirinya untuk melayani suaminya.
"Mas mau sarapan apa? Aku memasak nasi goreng seafood, telur dadar, ayam goreng, emping, serta soto ayam." Ujar Arania seraya mengambilkan Rendra piring.
"Aku ingin nasi goreng dan telur dadar saja." Rendra terkesima dengan pelayanan sang istri sirinya. Sebelumnya mana pernah ia mendapatkan perhatian seperti ini dari istri pertamanya. Di lain sisi ia pun menatap fokus nya ke wajah cantik Arania yang semakin cantik saat ia sedang serius bekerja. Diam-diam Rendra tersenyum tipis melihat hal-hal remeh tapi menyenangkan hatinya. "Kamu yang masak semuanya?" Tanya Rendra kemudian.
"Iya, Mas." Sahut Arania. Sepiring nasi goreng dan telur dadar telah tersaji di hadapan Rendra.
"Loh, memangnya kemana Bik Erna?" Rendra terkejut dengan perkataan istrinya.
"Tadi saat menyiangi bahan-bahan masakan, aku menyuruhnya untuk beristirahat. Bik Erna sedang sakit, Mas. Kasihan dia jika tetap harus bekerja." Ujar Arania dengan polos.
"Lalu bagaimana dengan kondisi mu, sayang? Bukannya kamu juga sedang tidak enak badan? Tadi seharusnya kamu tidak usah bekerja keras untuk semua ini. Kan kita bisa pesan lewat Gfood saja lebih praktis." Rendra semakin mengkhawatirkan keadaan istri mungilnya itu.
"Mas... Aku tidak apa-apa sekarang. Aku sudah bugar seperti sedia kala karena bergerak. Kalau aku hanya berdiam diri saja malah akan memperburuk keadaan ku, Mas. Untung saja Mas Rendra mengizinkan ku untuk ke dapur. Kalau tidak entah bagaimana keadaan Bik Erna dengan kondisinya saat tadi."
"Kamu memiliki hati yang mulia, sayang. Mas bangga memiliki istri seperti mu." Rendra mengecup pipi mulus Arania. Hingga seketika wajah gadis itu menjadi merona merah karenanya.
"Ekhem..."
Terdengar suara deheman. Mereka tau siapa yang saat ini sedang berjalan mendekati mereka. Mereka seketika menguraikan jarak agar tak terlalu birhimpitan.
"Selamat pagi semuanya?!" Ujar Tn. Herry dan Ny. Ratih yang berjalan dengan tenang di samping suaminya. Kedua orang tua itu terlihat sudah rapih dengan pakaian semi formalnya.
"Selamat pagi, Pih, Mih." Ucap Rendra dan Arania hampir serentak.
"Pih, Mih, mari kita sarapan. Makanan sudah siap." Ujar Arania dengan ramah.
Kedua orang tua itu terkesima dengan hidangan pagi ini yang terkesan komplit.
"Walahh... Sepagi ini kok makanan sudah semeriah ini? Benar-benar hebat Bik Erna memasak semuanya." Ujar Ny. Ratih dikiranya semua ini hasil pekerjaan Bik Erna.
Kedua orang tua itu seolah tak sabar untuk menyantap hidangan soto ayam yang tersaji bersama emping yang terlihat menggugah selera.
Arania dengan cekatan melayani kedua orang tua itu dengan rasa bahagia. Gadis itu enggan mengakui bahwa dialah yang mengerjakan semuanya. Biarlah mereka menyangka memang Bik Erna lah yang berperan di sini.
Sruupp...
Ny. Ratih dan Tn. Herry menyeruput kuah soto yang disajikan oleh menantu cantiknya tersebut. Mereka sangat terkejut dengan rasa yang lezat luar biasa pada sajian berkuah santan tersebut.
"Tumben, enak sekali masakan Bik Erna hati ini." Ujar Ny. Ratih tak hentinya menyeruput kuah soto tersebut.
"Bik Erna sakit, jadi dia tidak memasak semua ini." Ujar Rendra sembari menyantap nasi goreng dan telur yang ada di piringnya.
"Oh pantas saja. Mana mungkin Bik Erna bisa masak seenak ini. Wajar saja enak, kalian pesan dari restoran rupanya." Ny. Ratih dengan pedenya mengatakan hal itu tanpa tahu kebenarannya.
Rendra menghela nafasnya dengan kasar. Pria tampan itu menoleh ke arah Arania yang terlihat enggan mengatakan hal yang sebenarnya.
"Ayo sayang, kamu juga harus sarapan bersama kami. Nikmati juga semua makanan yang kamu masak ini." Ujar Rendra seraya menarik kursi di sebelahnya untuk sang istri tersayangnya.
Bersamaan dengan pergerakan Arania duduk di bangku yang Rendra siapkan untuknya. Ny. Ratih dan Tn. Herry terbelalak mendengar penuturan Rendra.
"Apa?! Jadi ini semua Arania yang masak?"
Arania yang terkesan tidak enak hati hanya bisa nyengir-nyengir saja sebelum menganggukkan kepalanya pelan.
"Masya Allah... Sungguh kamu benar-benar beruntung memiliki istri seperti dia, le. Selain cantik, rendah hati, cekatan, juga pintar masak lagi. Tidak seperti_"
"Mih, sudahlah. Jangan banding-bandingkan istri-istri Ndra. Mereka memiliki kelebihannya masing-masing. Ndra tidak mempermasalahkannya, jadi tolong." Potong Rendra di sela kegiatan sarapannya yang hampir habis.
"Kamu itu, le. Masih saja membela wanita itu. Istri yang bahkan tidak perduli pada kebahagiaan mu, le." Ny. Ratih mencebikkan bibirnya karena tak senang dengan wanita yang saat ini sedang ia bicarakan yaitu Gladys.
"Yang dikatakan Mamih mu itu benar, le. Jangan sampai rasa cinta mumbutakan hatimu. Sebenarnya kamulah yang harus mendidiknya, bahkan bila perlu kamu harus tegas padanya. Jangan kamu selalu mengalah dengannya saja." Tn. Herry mulai buka suara. Rendra yang merasa tersudut hanya bisa diam atas nasehat orang tuanya.
"Kami akan kembali hari ini, le. Banyak urusan yang harus Papih kerjaan di perkebunan." Pria tua itu mengelap bibirnya dengan tisue setelah selesai makan.
"Baiklah, Pih. Ndra tidak bisa mencegah Papih untuk kembali. Tapi Ndra harap Papih juga Mamih jangan terlalu capek mengurusi semuanya. Bukankah Papi dan Mamih ingin tenang menikmati kehidupan kalian setelah pensiun dari perusahaan?"
"Justru saat ini kami sedang menikmati masa-masa tua kami dengan tenang, le. Di perkebunan kami juga tidak terlalu cape, banyak pekerja yang membantu." Ujar Tn. Herry.
"Jangan lupa, le. Segera beri kami cucu sebelum kami tiada." Ny. Ratih menatap ke arah Rendra dan Arania yang terlihat canggung dengan perkataan sang ibu mertua.
"Insyaallah, Mih, do'akan kami semoga segera mendapatkan momongan. Karena kamipun sedang berikhtiar dengan sekuat tenaga." Sahut Rendra.
"Kamu juga jangan terlalu sibuk. Masih ada asisten serta karyawan mu yang bisa menghandle semuanya. Tingkatkan quality time kalian agar bisa sesering mungkin membuatkan cucu untuk kami." Tn. Herry terkekeh.
"Itu pasti, Pih, Mih. Kalian tak perlu khawatir." Ujar Rendra.
"Ya sudah, kami akan bersiap terlebih dahulu. Kamu bekerjalah yang tekun, le. Jangan lupa sering-sering lah menengok kami di Bogor. Ajak menantu kesayangan ku ini juga, le." Ujar Ny. Ratih seraya berdiri akan meninggalkan meja makan.
Rendra menganggukkan kepalanya, kemudian menyalami kedua orangtuanya, sebelum Rendra berangkat ke kantor sedangkan orang tuanya akan kembali ke kamar mereka untuk beres-beres kembali.
Arania mengantarkan sang suami ke halaman. Rendra yang kini tak lagi merahasiakan hubungannya dengan Arania tak canggung menggandeng lengannya agar berjalan bersamanya.
"Mas.." Kata Arania.
"Hem?" Jawab Rendra yang menatap ke Arania di sampingnya.
"Bagaimana kalau Nyonya Gladys melihat kita seperti ini?"
"Biarkan saja. Aku akan berterus terang padanya sekalian." Ujar Rendra dengan senyum hangat yang selalu menggetarkan jiwa Arania kala menatapnya.
"Lalu... Bagaimana kalau Nyonya marah?" Ada kekhawatiran yang dirasakan gadis itu saat ini.
"Biarkan saja dia marah. Aku tidak perduli. Posisi mu saat ini sama-sama istri Mas. Mau tidak mau dia harus bisa menerimanya. Aku juga harus adil pada kalian kan?"
Arania mengangguk. "Aku akan pulang lebih cepat, sayang. Kamu tadi dengar kan nasehat dari Papih?" Ujar Rendra seraya berbisik di dekat telinga sang istri hingga menembus ke kulitnya tengkuknya hingga meremang.
"Sebenarnya Mas ingin tetap berada di rumah. Tapi mau bagaimana lagi, Mas harus bekerja. Banyak urusan yang harus Mas selesaikan di perusahaan."
Arania tersipu malu dengan ucapan menggoda yang dikatakan sang suami. "Tunggulah Mas sepulang dari kantor." Bisiknya lagi, hingga sekujur tubuh Arania merinding hanya dengan hembusan nafas yang hangat mendera area lehernya walaupun tertutup hijab.
***
***
Gladys tiba-tiba telah tersadar dari tidurnya. Ia mengamati ke sekelilingnya. Ia merasa asing dengan tempat yang saat ini ia lihat.
"Aku di mana?" Wanita itu refleks ingin bangun dari tempat tidur. Namun terasa beban berat sedang menimpanya. Ia melihat ke samping terlihat lengan besar berbulu melingkari pinggangnya. Tadinya dia pikir Rendralah yang berada di sisinya, akan tetapi tangan berbulu lebat itu menangkis pikirannya. Karena tangan Rendra walaupun berotot tak miliki banyak bulu selebat ini.
Dengan rasa gelisah yang tinggi Gladys melihat ke arah belakang untuk memperjelas pandangannya. Akan tetapi saat melihat rupa lelaki yang kini sedang tidur memeluknya bukankah Rendra, Gladys pun berteriak.
"Aaakkhh..."
Gladys segera mengangkat lengan itu dari atas tubuhnya kemudian ia segera membuka selimutnya untuk bangkit dari tempat tidur. Namun lagi-lagi ia berteriak karena saat ini mendapati tubuhnya sedang benar-benar polos.
Teriakan Gladys membuat pria yang tidak dikenalnya membuka mata. Pria itu terkejut melihat Gladys yang sedang berdiri dengan keadaan yang demikian. Membuat keinginan pria itu bangkit lagi seperti semalam.
Pria itu ingin menenangkan Gladys yang terlihat syok. Akan tetapi tubuh pria itu pun sama polosnya dengan Gladys serta... Pusaka nya yang telah tegak sempurna.
Melihat hal itu Gladyspun melotot. Ia kembali menjerit dengan histeris. Pria itu langsung membungkam bibir Gladys dengan tangan kokoh nya.
"Tentanglah Gladys. Jangan teriak-teriak jika tak ingin aku p3rko$@!"
***
Terimakasih /Pray//Pray//Pray/