Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Tunggu Aku!
Suasana dirumah Surati hari ini sangat sepi. Sejak kepergian Hanung kemarin, Lala dan Lili menghindari Ayah dan Ibu mereka. Surati dan Donga juga terlihat tak ada percakapan. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Lala merasa bersalah karena selama ini menganggap Hanung saingan. Ia sadar, kata-kata yang diucapkan Hanung kemarin malam benar adanya. Ia harus berani mengemukakan pendapat jika ingin menentukan masa depannya sendiri.
"Kamu tahu nomor ponsel Hanung?" tanya Lala ke Lili.
"Tidak. Bukankah Kakak yang menyimpan ponselnya kemarin."
"Aku tidak menyimpannya! Aku mengambilnya dari kamar Ibu kemarin."
"Oh iya!" Lala teringat dengan Alung yang mengatakan Hanung menghubunginya.
Segera Lala menghubungi Alung untuk meminta nomor ponsel Hanung. Sayangnya teleponnya tak kunjung tersambung. Hanya ada dua kemungkinan, yaitu kehabisan baterai atau Alung sedang berpatroli. Lala pun mengirimkan pesan agar saat Alung mendapatkan sinyal bisa mengabarinya.
"Kamu bilang Hanung penurut! Tapi apa? Justru sifat pembangkang yang mendominasi." suara teriakan Donga segera membuat Lala dan Lili menegang.
"Itu Hanung dalam ingatanku 10 tahun yang lalu, Yah! Aku pun tak tahu kalau Hanung yang sekarang seperti itu!"
"Sekarang bagaimana? Kamu mau jadi gantinya?"
"Apa maksud kamu?"
"Jika Hanung menikah dengan Alung, kita bisa memiliki dukungan. Dan sekarang tidak terwujud, kamu saja yang tidur dengan tua bangka itu agar kontrak bisa diperpanjang!"
"Gila kamu, Yah! Aku tidak sudi!"
Keduanya kembali berdebat. Catering Surati tak lagi menjadi catering satu-satunya yang melayani perusahaan. Semakin bertambahnya perusahaan yang ada, usaha catering juga mulai banyak pesaing. Perusahaan yang Surati pegang saat ini sedang melakukan surplus karyawan. Selain itu banyak karyawan yang dipindahkan ke site lain.
Satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan mendapatkan dukungan atau dengan mempertahankan kontrak mereka saat ini, agar catering tetap berjalan. Walaupun mereka harus pindah site mengikuti perusahaan tersebut, itu tak masalah. Mereka masih bisa menjalankan usahanya dan bertahan.
Alung: Memangnya Hanung kenapa?
Tanya Alung yang saat ini membalas pesan Lala.
Lala: Hanung pergi dari rumah, Kak! Kami tak tahu dimana dia sekarang.
Alung: Bagaimana bisa?
Lala: Hanung bertengkar dengan Ayah dan Ibu karena tak mau menurut dengan pengaturan mereka.
Alung: Ini nomor Hanung +62xxxx aku akan membantumu mencarinya nanti.
Lala yang sudah mendapatkan nomor Hanung pun segera menghubunginya, tetapi tak tersambung. Satu jam kemudian, Alung datang ke rumah Donga.
"Bagaimana? Apa bisa dihubungi?"
"Tidak, Kak!" jawab Lala.
"Sama. Aku juga tidak bisa menghubunginya, makanya aku kemari. Kamu tahu kemungkinan tempat Hanung berada?"
"Aku tak tahu. Hanung tak pernah keluar rumah."
"Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan Hanung?" tanya Lili yang sedari tadi hanya diam.
Baik Alung dan Lala pun segera melayangkan tatapan tajam. Keduanya pun memutuskan untuk mencari Hanung dengan menyisir jalan. Lala berpesan kepada Lili untuk mengabarinya jika kedua orang tua mereka kembali.
Alung dan Lala mulai pencarian mereka dengan bertanya kepada orang-orang yang mereka perkirakan ada diluar malam itu. Tetapi tak membuahkan hasil, yang ada mereka justru terjebak hujan di sebuah rumah kosong. Disaat yang bersamaan, Hanung sedang mengangkat jemuran pakaiannya yang ada di dekat kamar mandi.
"Pakdhemu belum pulang?" tanya Budhe Cici yang baru keluar kamar.
"Belum ada, Budhe." jawab Hanung sambil melipat pakaian.
"Biasanya sebelum hujan sudah pulang." Hari ini hanya Pakdhe yang ke warung karena Budhe Cici ingin menemani Hanung.
"Hujannya ini tadi tiba-tiba deras, Budhe. Mungkin Pakdhe tudak sempat siap-siap."
"Mungkin saja."
Saat Hanung sudah selesai melipat pakaian, ponsel yang selalu ada dikantongnya berdering. Hanung pun mengangkat panggilan yang ternyata dari Gus Zam dan pamit masuk ke kamarnya. Ia sudah menunggunya sejak pagi dan mengirim pesan beberapa kali tetapi tak mendapatkan balasan. Dan sekarang sudah lewat dzuhur Gus Zam baru menghubunginya.
"Assalamu'alaikum Humaira.."
"Wa'alaikumsalam Mas.. Kenapa baru menghubungiku"
"Maaf, tadi.." Gus Zam ragu mengatakannya.
"Apakah Mas sedang tidak baik-baik saja?" tebak Hanung.
Gus Zam hanya diam dengan terus menatap Hanung. Saat berada di studio, pikirannya tidak bisa fokus maka ia kembali ke kamar dan menghubungi Hanung. Padahal awalnya ia ingin menjauh dulu untuk menata pikirannya.
"Mas.. Inilah yang Hanung hindari. Hanung tak mau melihatmu seperti ini, Mas."
"Kamu adalah suami Hanung, jangan biarkan ia selalu memikirkan kebaikanmu. Sudah saatnya kamu menjadi imam yang baik untuk Hanung." kata-kata Bu Nyai mengiang di kepala Gus Zam.
"Aku bisa mengatasinya." kata Gus Zam kemudian.
"Mas tidak memaksakan diri kan?" Gus Zam menggeleng.
Hanung tersenyum. Tetapi ia tahu, semua itu tidak mudah. Mengingat Gus Zam yang mendapat serangan panik kala itu, Hanung pun mengubah topik pembicaraan mereka.
"Aku belum pernah ke Alun-alun kota, Mas. Terakhir kali saat aku bersama Ayah, tapi aku sudah lupa. Bisakah kita kesana nanti?"
"Alun-alun kota?"
"Ya, kata Ayra kalau malam ramai disana."
"Ramai?" Gus Zam masih tidak fokus saat ini.
"Ah maafkan aku, Mas. Kita sebaiknya jalan-jalan ke Kampung Tumo, bagaimana? Disana menyediakan beberapa pelatihan termasuk "Mental Building". Kita bisa bermalam disana."
"Lagi-lagi Hanung memikirkan aku." batin Gus Zam.
"Selain itu ada banyak fasilitas yang bisa kita coba. Karena wisata edukasi, tempatnya tak ramai seperti waterpark atau alun-alun."
"Hanung.."
"Iya, Mas?" Hanung menatap mata Gus Zam.
"Aku akan ikut Abi."
"Ikut kemana?"
"Menjemputmu. Jika dalam beberapa hari aku tidak menghubungimu, artinya aku sedang belajar mengendalikan emosiku. Aku akan menyiapkan mentalku, untuk menjemputmu. Tunggu aku!" Hanung terharu mendengar kata-kata Gus Zam.
"Iya, Mas. Hanung akan mengerti dan Hanung akan menunggu kedatangan Mas Zam." Kata Hanung sambil menangis.
"Kenapa kamu menangis?"
"Menangis bahagia, Mas. Hanung terharu!"
"Apa yang membuatmu terharu?"
"Keinginan Mas untuk menjemput Hanung dan pengorbanan yang Mas lakukan untuk mewujudkannya."
"Demi kamu, aku akan melakukannya. Aku tak mau ada yang menyakiti kamu lagi!"
"Terima kasih, Mas. Terima kasih.."
"Sudah menangisnya, aku tak bisa memelukmu." sontak saja perkataan Gus Zam membuat Hanung tertawa dan mengusap air matanya.
Gus Zam pun ikut tertawa. Ia sendiri tidak menyangka bisa berkata seperti itu. Kata-kata itu keluar begotu saja karena ia tak tega melihat Hanung menangis. Mereka pun mengakhiri panggilan karena sudah masuk waktu ashar.
Baik Gus Zam maupun Hanung melaksanakan sholat ashar. Keduanya dalam keadaan bersemangat saat ini. Mereka telah menemukan alasan untuk saling menunggu dan mendukung. Berbeda dengan Alung dan Lala yang saat ini sedang menghadapi murka Donga.
lagi...
lagi..../Smile/
tebawa suasana
JD + semngat nunggu bsb yg lain ny