Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Pasar
Revisi
.
.
.
.
.
Hanung yang baru saja selesai melaksanakan sholat subuh, keluar dari kamar untuk ke dapur. Saat Hanung mendekat, ia mendengar Pakdhe Warto dan Budhe Cici membicarakan pernikahan.
"Siapa yang menikah, Pakdhe?" tanya Hanung.
"Lala dengan Alung."
"Hah? Bukankah Donga tidak mau karena Lala masih kuliah."
"Yang namanya nasib, tidak ada yang tau. Kabarnya kemarin mereka memergoki Lala dan Alung sedang berduaan di rumah kosong yang ada di ujung jalur. Jadilah mereka dinikahkan hari ini." jelas Pakdhe Warto.
"Berduaan bagaimana, Pakdhe?"
"Katanya mereka hanya berteduh, tetapi Donga bersikeras Alung harus bertanggung jawab. Karena ada saksi mata yang membenarkan, Alung tak bisa mengelak dan setuju untuk menikahi Lala demi menjaga nama baiknya di kepolisian."
"Pakdhe dan Budhe, diundang?"
"Tidak. Pakdhe hanya mengabarkan apa yang orang bicarakan di warung. Saat ini ramai orang membicarakan Surati, terutama Donga yang keras kepala itu."
"Karma, Pak'e." kata Budhe Cici santai.
Mereka tidak mau lagi berhubungan dengan Surati dan Donga. Sehingga mereka pun tak ambil pusing dengan apa yang terjadi. Mereka hanya ingin Hanung melakukan hal yang sama. Walaupun hubungan darah tak bisa dipisahkan begitu saja, paling tidak Hanung harus memikirkan kebahagiaannya dan kewajibannya sebagai istri lebih dulu.
"Kamu jadi ikut kepasar?" tanya Budhe Cici.
"Jadi! Hanung belum pernah kemana-mana disini." jawab Hanung bersemangat.
"Bawa mobil saja Pak'e, sekalian bawa Hanung makan diluar."
"Berarti tidak usah buka warung!" Pakdhe tersenyum lebar.
"Hanung jadi tidak enak kalau menghalangi rezeki Pakdhe dan Budhe."
"Tidak apa, tidak ada yang menghalangi rezeki. Warung itu tidak kemana-mana. Lagipula rezeki sudah ada yang mengatur!"
"Oh iya, Budhe. Maaf sebelumnya, kenapa warung disini saling berdekatan dan tidak terjadi pertengkaran? Padahal yang dijual sama." Hanung penasaran sejak awal ia ke Kalimantan.
Selain perbedaan bahasa dan dialeg, keberadaan warung yang berdekatan itu mengundang rasa penasarannya. Pasalnya, jika itu di tempat tinggalnya mungkin sudah menimbulkan perselisihan dengan saling menjatuhkan.
"Maksud kamu seperti di Jawa?" Hanung mengangguk.
"Disini Alhamdulillah, kami sama-sama beranggapan kalau rezeki sudah ada yang mengatur dan tidak akan tertukar. Jadi mau berdekatan, yang dijual sama atau lebih rame sana atau sepi, tidak akan ada masalah. Allah memberikan rezeki sesuai porsi masing-masing. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada beberapa yang curang. Itu wajar saja, hati manusia tidak ada yang tahu kecuali Allah."
Hanung sangat kagum. Jika di tempatnya, Ia merasa seperti orang-orang sedang berebut rezeki. Sedangkan disini, orang memahami takaran yang sudah Allah tetapkan untuk mereka. Sungguh kadar keimanan mereka membuka wawasan Hanung.
"Ayo berangkat!" ajak Pakdhe Warto yang sudah memanaskan mobil sejuta umatnya dan memastikan air radiatornya aman.
Selama perjalanan, Pakdhe Warto menjelaskan beberapa pasar yang patut dikunjungi. Diantaranya ada Pasar Pagi, Pasar Sabtu, Pasar Harian Simpang Empat, Pasar Pal 6 dan Pasar Ampera. Pasar yang dituju saat ini adalah Pasar Simpang Empat, pasar yang paling ramai dan macet karena berada tepat di persimpangan. Hanung dengan setia mengikuti Budhe Cici belanja kebutuhan harian, ayam dan ikan.
"Kamu suka ikan apa?" tanya Budhe yang masuk dikawasan ikan.
"Semua ikan laut, Hanung suka. Kecuali sembilang dan sejenisnya."
"Ikan sungai?" Hanung menggeleng.
"Hanya Nila, bawal dan lele."
"Itu ikan budidaya, bukan sungai!" Hanung tersenyum.
Sesekali Budhe Cici akan mengajak Hanung mencicipi jajanan pasar khas, seperti kue bingka, sarang semut, wadai bakarat, surabi, sarimuka, dan sari india.
"Kamu suka yang mana?" tanya Budhe setelah mereka selesai berbelanja.
"Suka semua, Budhe. Apalagi kue bingka gula merahnya, manisnya pas dan ada putih-putih gurihnya." jawab Hanung dengan penuh senyum.
"Itu namanya "lalaan" didapat dari endapan santan yang direbus sampai menghasilkan minyak kelapa."
"Pantas saja rasanya gurih."
"Coba ini!" Budhe menyodorkan mika berisi kue berwarna putih.
"Seperti rasa kari ayam." kata Hanung setelah mencicipinya.
"Itu namanya "wadai ipau", memang ada bumbu karinya. Kalau kata modernnya itu, lasagna."
"Enak, Budhe. Nanti ajari Hanung buat ini, ya?" Budhe Cici mengangguk dan mengajak Hanung menghampiri Pakdhe Warto yang menunggu di depan sebuah toko kacamata.
Mereka pun lanjut ke Pasar Sabtu. Walaupun tak seramai Pasar Harian Simpang Empat, disini banyak penjual pakaian berjajar dan hanya buka di hari malam jumat sampai sabtu siang. Disana mereka hanya berkeliling karena tak ada yang menarik perhatian. Pukul 9 pagi matahari sudah terasa terik. Pakdhe pun membawa mereka makan di sebuah Warung Sop Banjar.
"Kamu sudah pernah makan?" Hanung mengangguk.
"Dimana?" tanya Pakdhe Warto.
"Di catering Ibu. Beberapa kali menunya Sop Banjar, tetapi rasanya lebih ke soto bening di Jawa."
"Jelas saja, tukang masaknya orang Jawa Tengah. Kamu coba yang ini, pasti kamu akan tahu perbedaannya."
Hanung menurut dan mencoba kuah sop di hadapannya. Kuahnya terlihat sedikit keruh dan berminyak, tetapi menggugah selera dengan sohun, irisan wortel dan seledri, bawang goreng, suwiran ayam dan irisan telur rebus. Cita rasa yang Hanung rasakan adalah perpaduan gurih, asin, manis yang pas dengan rasa rempah yang semerbak.
"Tambahkan kecap dan limau kuit ini!" Hanung menurut.
"Eh!" Hanung terkejut dengan rasa yang berubah.
"Kenapa?" tanya Pakdhe Warto dan Budhe Cici bersamaan.
"MasyaAllah.. Rasanya enak. Ajari Hanung ya, Budhe?"
"Iya, semuanya nanti Budhe ajarkan." Budhe Cici tersenyum dengan kelakuan Hanung, sampai beliau lupa dengan wajah menangis Hanung kemarin.
Di saat yang bersamaan, Pak Kyai dan Bu Nyai sedang berada di sebuah kajian. Mereka sudah mendengar kabar dari Gus Zam, jadi bisa tenang. Mereka juga mulai Legowo, semoga dengan langkah pertama ini bisa membawa kesembuhan untuk anak mereka. Ketika Pak Kyai dan Bu Nyai akan pulang, mereka bertemu dengan rombongan Kyai Jabar. Pak Kyai yang melihatnya pun segera memberi salam karena hubungan mereka yang sudah terjalin sejak mereka masih kanak-kanak.
"Bagaimana kabarnya Gus Zam?" tanya Kyai Ghofur.
"Baik, Kang.” jawab Pak Kyai sembari tersenyum.
"Bagaimana kalau melanjutkan rencana yang sempat tertunda, Liq?"
Pertanyaan Kyai Jabar seperti petir disiang bolong untuk Pak Kyai dan Bu Nyai. Bagaimana tidak, jelas-jelas anak Kyai Jabar sendiri yang menolak pernikahan kala itu. Pak Kyai dan Bu Nyai bisa memahami, karena saat itu Kyai Jabar sedang umroh. Tetapi, apa iya istri dan anaknya tidak mengatakan tentang pernikahan Gus Zam?
”Maaf, Kang. Adib sudah menikah.”
“Apa maksudmu, Liq! Sejak kapan kamu menjadi tidak amanah dengan janji?”
“Bukan saya yang tidak amanah, sebaiknya Kang Jabar tanyakan kepada Umi Kalsum dan Ning Anis saja.” Kata Pak Kyai tanpa ingin menghakimi anak dan istri Kyai Jabar.