Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #24
Pagi itu, dunia seketika terasa gelap, waktu seolah berhenti, dan udara semakin menekan dada. Zara berdiri dengan kedua tangan yang tak lagi bertenaga, kakinya pun ikut bergetar karena begitu terkejut usai mendengar fakta sang suami.
Dering ponsel yang terus-menerus berbunyi dari sakunya tak membuat Zara mengalihkan perhatian. Tatapannya yang mulai berembun kini hanya tertuju pada sang nenek yang kini mendekat usai menyimpan ponselnya.
"Zara ...," ucap wanita paruh baya itu seraya memegang pundaknya.
"Oma, tolong bilang ke Zara kalau tadi Zara salah dengar, Oma tadi bicara dengan orang lain, 'kan? Bukan Alif suamiku, 'kan?" tanya Zara mendesak jawaban dari sang nenek.
Akan tetapi, Oma Ratna hanya diam dengan guratan sendu di wajahnya. Ia tak mengeluarkan penjelasan atau perkataan apa pun. Tangannya bergerak ke saku baju, lalu mengambil secarik kertas dari dalam sana.
"Pergilah susul suamimu! Dia sendiri di sana," ucap Oma Ratna dengan suara pelan dan sedikit bergetar sambil meletakkan kertas itu di telapak tangan Zara.
Zara diam terpaku memandangi kertas yang bertuliskan sebuah alamat rumah sakit. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini menetes tak tertahankan lagi. Ia jelas tahu itu bukan alamat di negaranya, melainkan di Amerika Serikat. Lalu, separah apa penyakit suaminya itu hingga harus menjalani terapi di luar negeri?
.
.
.
"Ini adalah terapi pemulihan terakhir. Beberapa hari ke depan kita akan lihat hasilnya," ujar seorang dokter paruh baya yang bernama Gabriel dengan bahasa Inggris.
"Baik, Dok, terima kasih banyak," balas Alif dengan bahasa Inggris. Bibirnya masih terlihat sedikit pucat, tetapi tampak secercah harapan di wajah tampan itu.
Suara keramaian malam itu masih terdengar dari kamar yang Alif tempati saat ini, tetapi hatinya terasa begitu sepi. Ada rindu yang begitu besar, tetapi tak bisa ia ungkapkan lantaran tak ingin membuat sang istri khawatir.
Alif mengambil ponselnya, lalu mengamati foto-foto sang istri yang ia ambil ketika istrinya tak sadar. Matanya berkaca-kaca, tetapi bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis.
"Kamu tahu apa harapanku saat ini? Ya, mencintai dan dicintai olehmu, meski itu adalah saat-saat terakhir untukku," ucap Alif pelan.
Matanya yang terasa berat karena kelelahan usai menjalani terapi, akhirnya membuat Alif mulai terlelap tanpa sadar.
.
Mata alif perlahan terbuka ketika alarm sholat subuh mulai berbunyi hingga memenuhj seluruh ruangannya. Ia menunaikan salat, lalu menyelesaikan bacaan ayat suci Al-Qur'an yang tak pernah jauh darinya.
Lagi-lagi rasa rindu pada sosok sang istri kembali membuncah dalam hati. Ia kembali mengamati ponselnya di mana terpampang nama kontak 'Istriku' di sana. Jemarinya berkali-kali hendak menekan tombol hijau untuk mulai menelepon, tetapi berkali-kali pula ia urungkan.
Alif kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil memejamkan mata. Belum lama matanya terpejam, ia mendengar suara pintu terbuka.
Alif membuka matanya untuk melihat siapakah perawat yang datang kali ini. Menjalani terapi yang cukup lama di rumah sakit itu, membuat Alif mengenali perawat dan dokter yang sering membantunya.
Dahi Alif berkerut memandangi sosok wanita yang saat ini sedang berdiri di ambang pintu. Ia kembali memejamkan mata dengan kuat, lalu membukanya lagi karena mengira kerinduan pada sang istri telah membuatnya berhalusinasi.
Akan tetapi, berkali-kali ia melakukan hal yang sama, sosok wanita itu tak kunjung lenyap dari pandangannya.
"Jasmine!" ucapnya pelan ingin memastikan bahwa penglihatannya tidak terganggu saat ini.
Tak menjawab, wanita itu berjalan mendekati tempat tidur Alif hingga berdiri sangat dekat dengannya. Alif tersentak dan langsung bangkit dari tidurnya. Tatapannya tak sekalipun berpaling dari wajah wanita yang kini tampak begitu sendu sekaligus marah secara bersamaan.
"Jasmine? Kenapa kamu ... Auw!" Pertanyaan Alif seketika berganti dengan ringisan ketika sebuah pukulan mendarat di dadanya.
Satu pukulan, dua pukulan, hingga tiga pukulan terus saja menghantam dada Alif walau tak begitu keras.
"Bapak jahat! Kenapa Bapak tidak bilang kalau Bapak sakit?" tanya Zara dengan mata sembabnya.
"Jasmine, maaf. Saya hanya tidak ingin mengganggu urusan kuliahmu," jawab Alif dengan suara pelan meski apa yang ia katakan tidak 100% benar.
Air mata perlahan mengalir membasahi pipi Zara. Ia kembali memukul dada bidang pria itu. "Pak Alif pikir dengan begitu saya senang? Hah? Pak Alif tahu, selama Bapak pergi tanpa kabar, saya seperti orang bodoh yang kehilangan arah. Ketika orang lain bersenang-senang, saya malah bersedih seorang diri. Saya bahkan mengira Bapak sudah pergi meninggalkan saya."
Zara mulai tersedu-sedu di samping pria itu sambil tertunduk. Meski harus menahan malu karena mengungkapkan perasaannya lebih dulu, ia merasa lega karena tak harus memendam perasaannya lagi di hadapan sang suami.
Mata Alif ikut berkaca-kaca melihat sang istri yang menangis. Tanpa ragu, ia langsung menarik wanita itu masuk dalam dekapannya. Ia memeluk semakin erat ketika menyadari tak ada penolakan sedikit pun dari Zara.
"Maafkan saya. Saya pikir kamu tidak akan peduli karena kamu belum mencintai saya." Kini perkataan jujur itu terlontar dari mulut Alif.
Zara langsung melepaskan pelukan Alif dan menatapnya dengan tajam. "Nyatanya Pak Alif salah. Saya tidak bisa berhenti memikirkan Bapak karena saya baru sadar kalau saya ... saya sayang sama Bapak." Zara menutup wajahnya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan wajahnya yang masih basah dan merah merona karena malu.
Alif tertegun sejenak mendengar ungkapan sayang dari Zara. Rasanya seperti mimpi, mimpi yang dulu terasa tidak mungkin dan kini menjadi kenyataan. Dengan menahan senyum bahagia dan menampilkan wajah serius, ia memegang kedua pergelangan tangan yang menutupi wajah sang istri, lalu melepasnya.
"Saya tidak salah dengar, 'kan, Jasmine?" tanya pria itu menatap lekat mata indah Zara.
Zara mengangguk pelan, lalu kembali tertunduk malu hingga lagi-lagi sebuah pelukan hangat ia rasakan dari sang suami. Zara memejamkan mata merasakan betapa nyamannya peluakan itu hingga tangannya pun ikut membalas pelukan tersebut.
"Terima kasih, Jasmine, terima kasih karena sudah membuka hatimu pada saya," ucap Alif dengan air mata bahagia yang kini memenuhi pelupuk matanya. Sebuah kecupan pertama pun ia hadiahkan di pucuk kepala Zara.
Meski bahagia, ada sedikit penyesalan yang hinggap di hati Alif. Menyesal karena tidak jujur menyatakan perasaannya sejak awal sehingga kini Zara-lah yang lebih dulu mengungkapkan perasaannya itu.
.
.
"Dulu, almarhumah Bunda juga mengidap Leukimia, makanya sejak dulu saya selalu rutin menerapkan pola hidup sehat dan melakukan pemeriksaan dini secara berkala. Ketika saya terdeteksi mengidap Leukimia, saya langsung memutuskan untuk terapi di Amerika yang dulu menjadi tempat Bunda melakukan terapi, berharap sel kankernya tidak menyebar dengan cepat.
Sudah dua tahun saya menjalani terapi, sudah dua tahun pula saya sering bolak-balik Amerika-Indonesia. Ketika saya meminta untuk kuliah online, berarti saat itu saya sedang terapi. Awalnya, saya merasa begitu sulit menjalani terapi itu. Saya harus melewati hari-hari yang penuh tantangan dengan efek samping dari kemoterapi yang sangat tidak nyaman dan menyakitkan." Alif menghentikan perkataannya sejenak, lalu menatap sang istri yang kini duduk di hadapannya.
"Ada saat-saat ketika saya merasa lelah dan putus asa menjalani terapi, tapi kamu, kamu adalah sumber kekuatan bagi saya. Kamu adalah mimpi yang ingin saya gapai dan bahagiakan sejak dulu. Setiap kali saya merasa down, pikiran saya selalu tertuju pada harapan akan masa depan bersamamu.
Saya berjuang, bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk kita berdua, untuk masa depan kita bersama. Dan sekarang, setelah semua perjuangan itu, kamu di sini bersama saya. Rasanya kini saya lebih kuat dari sebelumnya. Saya bersyukur telah memilikimu di samping saya, Jasmine. Terima kasih. Kamu tahu? Saya sangat mencintai kamu, bahkan sebelum kamu menyadari keberadaan saya."
.
.
.
#bersambung#
.
.
Yuhuu, momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Jangan lupa like, komen dan subcribe novel ini, biar othornya makin semangat 😍😍😍