Alaish Karenina, wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu belum juga menikah dan tidak pernah terlihat dekat dengan seorang laki-laki. Kabar beredar jika wanita yang akrab dipanggil Ala itu tidak menyukai laki-laki tapi perempuan.
Ala menepis semua kabar miring itu, membiarkannya berlalu begitu saja tanpa perlu klarifikasi. Bukan tanpa alasan Ala tidak membuka hatinya kepada siapapun.
Ada sesuatu yang membuat Ala sulit menjalin hubungan asmara kembali. Hatinya sudah mati, sampai lupa rasanya jatuh cinta.
Cinta pertama yang membuat Ala hancur berantakan. Namun, tetap berharap hadirnya kembali. Sosok Briliand Lie lah yang telah mengunci hati Ala hingga sulit terbuka oleh orang baru.
Akankah Alaish bisa bertemu kembali dengan Briliand Lie?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfian Syafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Gombalan Brian
[Apa kamu ingat saat pertama kali aku nembak kamu dulu, Kak Abriela?]
Siapa sangka cintanya diterima oleh Alaish kala itu. Gadis pendiam yang irit bicara, tapi justru membuat Brian gemas. Brian senang menggoda Ala hanya untuk mendengar gadis itu kesal. Apalagi saat ulangan, Brian yang duduk di belakang Ala selalu mengganggunya.
Ala berbeda. Jika gadis-gadis lain terang-terangan menunjukkan rasa suka pada Brian, Ala tidak pernah sekalipun meliriknya. Hal itu justru membuat Brian semakin tergila-gila.
Banyak kenangan masa lalu mereka yang masih terpatri dalam ingatan Brian. Meski sempat terpisah, mereka akhirnya bersatu kembali, melewati kisah yang penuh lika-liku. Tidak semua orang menyukai hubungan mereka, tapi itu tidak memudarkan romantisme di antara mereka.
"Bri, aku lapar!" keluh Ala sambil mengusap perutnya, bibirnya mengerucut manja.
Brian, yang tengah asyik bermain PlayStation, menoleh sebentar. Di luar hujan turun deras, membuatnya enggan keluar mencari makanan. Tanpa banyak berpikir, ia menyerahkan stik PlayStation ke temannya.
"Aku pesenin mie aja, ya," katanya sebelum melangkah keluar.
Kebetulan, pemilik tempat PlayStation itu juga menjual mie instan dan minuman. Brian memutuskan membeli mie untuk Ala. Dia tahu betul, kalau lapar, Ala bisa rewel.
Tak lama, pesanan pun datang. Dua mangkuk mie instan panas dengan aroma yang menggoda. Teman-teman Brian yang awalnya sibuk bermain PlayStation mulai tergoda dan ikut memesan.
"Makan, ya. Aku suapin," ujar Brian sambil mengambil mangkuk Ala. Dengan telaten, dia menyuapi gadis itu.
"Beuh, serasa dunia milik berdua, yang lain ngontrak!" celetuk Baim, salah satu teman Brian.
Yuda, yang masih berusia sebelas tahun, hanya melirik sekilas. Dia belum paham soal pacaran dan lebih fokus pada PlayStation yang masih gratis dimainkan.
Ala menyantap mie dengan lahap, menghabiskan satu mangkuk penuh. Brian tersenyum puas melihatnya. Baginya, Ala adalah prioritas. Tak peduli seberapa keras kepala gadis itu, Brian selalu memperlakukan Ala dengan sabar dan penuh kasih.
"Iya dong. Makanya, punya pacar kayak aku!" ujar Brian bangga, membuat Ala tersipu.
Bagi Brian, bertemu Ala setiap hari tak pernah membosankan. Gadis itu membawa kebahagiaan dan kenyamanan yang sulit digambarkan. Kemanapun Brian pergi, Ala selalu di sisinya. Mereka seperti sepasang sandal jepit yang selalu melangkah bersama, tak terpisahkan.
Mengingat masa itu, Brian tersenyum. Indah sekali kenangan bersama Ala. Hanya dengan gadis itu Brian memiliki memori yang begitu manis dan mendalam. Bagaimana tidak, mereka pacaran sejak kelas tiga SMP. Meski sempat putus dan kembali bersama saat Ala kelas satu hingga kelas dua SMA, pada akhirnya Ala memilih meninggalkan Brian karena berbagai masalah yang tak terselesaikan.
"Andai dulu masalah itu bisa kami selesaikan dengan baik," pikir Brian. "Kalau saja Ala mau mengalah dan menemuiku lagi, mungkin kami masih bersama hingga sekarang."
Meski sudah berpisah empat belas tahun, cinta itu tak pernah benar-benar hilang. Bahkan setelah masing-masing mencoba menjalin hubungan dengan orang baru, tak ada yang mampu memberikan rasa nyaman seperti yang mereka rasakan dulu.
[Ingat banget, pas pulang sekolah pakai baju Pramuka itu kan? Lo nembak gue di gang dekat rumah. Hahaha.] Ala membalas pesannya.
Brian lega. Ala ternyata masih mengingat momen itu. Brian sempat berpikir Ala sudah melupakan segalanya, termasuk kenangan indah mereka.
[Iya. Itu pertama kalinya aku nembak cewek tanpa surat. Biasanya kan cewek yang nembak aku. Mereka suka aku, tapi aku sukanya kamu.] Brian membalas dengan jujur, meskipun terdengar seperti omong kosong bagi orang lain.
Masalah hati, hanya Brian yang tahu isi hatinya sendiri.
[Masa sih? Nggak percaya gue. Terus, pas pulang sekolah kita ke pasar. Ketemu orang gila ngomong panjang lebar, ingat nggak?]
Brian tersenyum lagi. Ala masih mengingat semua itu. Pasar kecil di dekat sekolah mereka adalah tempat spesial. Hampir setiap hari mereka mampir setelah pulang sekolah, hanya untuk membeli es cekek. Bahagia rasanya meski sederhana.
[Hahaha, iya. Lagi enak duduk ngobrol, malah diganggu orang gila.]
[Nggak nyangka ya, kita pacaran lama banget. Bahkan setelah empat belas tahun nggak ketemu, rasa itu masih ada.]
Ada yang pernah merasakan hal seperti ini? Saling mencintai tapi takdir tak bisa menyatukan mereka?
[Halah, preet! Lo aja mau nikah kok masih bilang sayang sama gue. Nggak usah gombal deh.] Ala membalas, seperti biasa, dengan nada bercanda tapi menusuk.
Brian hanya bisa tersenyum kecil. Ia tahu Ala tidak percaya betapa besar cintanya. Bahkan saat ini, nama Ala masih terukir di dadanya, sesuatu yang diminta Maira—calon tunangannya—untuk dihapus. Tapi Brian tidak bisa. Ala adalah separuh jiwanya.
Sekarang Ala kembali hadir, meski hanya lewat percakapan, dan itu sudah cukup membuat Brian merasa hidup lagi. Cintanya pada Ala kembali membara, meskipun gadis itu masih sulit membuka hatinya.
[Ngeyel! Siapa juga yang gombalin Kak Abriela. Aku jujur dari hati yang paling dalam kalau aku masih sayang. Kak Abriela pasti juga masih sayang kan sama aku?] Brian mencoba memancing Ala untuk jujur.
Tapi Ala tetap seperti biasa—tertutup. Bahkan sampai sekarang, status Ala masih misteri. Sudah menikah atau punya pacar? Brian tidak tahu. Dan lebih menyebalkan lagi, Ala tak pernah mau mengirim fotonya.
[Sok tahu. Nggak lah ya! Udah nggak ada perasaan apa-apa sama lo, Bri. Jadi, nggak usah kepedean.]
Brian tertawa kecil membaca balasan itu. Ia tahu Ala sedang menutupi sesuatu. Tapi ia tak mau menyerah. Ada keyakinan dalam dirinya bahwa cinta mereka belum benar-benar berakhir.
"Aku harus buat dia jujur," pikir Brian. Sebab, siapa tahu, jika Ala bersedia membuka hati lagi, mereka bisa memulai semuanya dari awal, tak peduli seberapa sulit jalan yang harus mereka tempuh.
Sejak sering chatting dengan Ala, perhatian Brian mulai teralihkan dari Maira. Ia bahkan mendengar Maira kerap memposting foto bersama Dori—entah teman atau mungkin seseorang yang lebih. Story galau Maira sering muncul, menggambarkan seolah dia adalah pihak yang paling tersakiti. Orang-orang yang dulu menyalahkan Brian kini bungkam karena kenyataannya Maira-lah yang berulah.
[Ya tahu lah, kan aku udah hafal semua tentang kamu.]
[Eh, ngomong-ngomong Kak Abriela udah ketemu sama Iwan belum nih?]
Brian mencoba bersikap santai, meski hatinya panas. Iwan adalah rival lamanya. Lebih tampan, lebih memikat. Tapi entah kenapa, dulu Ala tetap memilih Brian.
Sewaktu SMA, mereka sempat bersaing. Ala belum resmi putus dengan Brian, jadi Brian merasa masih berhak memperjuangkan cintanya. Apalagi, Brian tahu Iwan hanya buaya darat kelas atas. Sekarang, setelah "insaf," Brian ingin menebus semuanya dan fokus mengejar cinta Ala.
[Udah, waktu itu di TikTok.]
[Nggak tahu dia dapat informasi akun gue darimana. Kayak lo, tiba-tiba nongol juga.]
Brian menghela napas. Rupanya Ala sudah bertemu Iwan. Pikirannya mendadak dipenuhi rasa cemburu dan kekhawatiran. Namun, dia yakin satu hal: cinta Ala padanya masih ada, meski tersembunyi di balik kata-kata dingin.
[Sudah waktunya kamu keluar dari persembunyian. Kak Abriela sih betah banget sembunyi. Aku sampai susah nyarinya.]
[Terus, balikan nggak sama Iwan?]
Brian bertanya dengan hati-hati. Meski kesal, dia berusaha tetap tenang. Dia ingin tahu sejauh mana hubungan Ala dengan Iwan sekarang.
[Nggak! Ngapain balikan? Orang dia udah punya istri.]
Senyum lega merekah di wajah Brian. Rupanya Ala tidak balikan dengan mantan. Itu berarti peluang Brian masih ada. Jika Tuhan mengizinkan, Brian yakin mereka bisa bersama lagi.
[Eh, jangan salah. Meski udah punya istri, siapa tahu dia masih mau diajak balikan.]
[Kamu sendiri, kalau udah punya pacar, bisa kok aku bikin sayang aku lagi.]
Brian bergumam pada dirinya sendiri, "Jangan panggil aku Brian kalau aku nggak bisa luluhin hati kamu lagi, La!"
Dia ingin sekali bertemu langsung dengan Ala. Peluk gadis itu erat-erat karena rindu yang tak tertahankan. Rasanya, jatuh cinta itu menyakitkan, tapi lebih menyakitkan lagi kehilangan rasa nyaman yang sudah lama terjalin.
"Yan, kamu kumat lagi?" suara Bu Ranti, ibunya, menyentak lamunannya.
Brian kaget. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tadi memang tidak ada siapa-siapa di rumah.
"Ibu darimana? Perasaan tadi nggak ada siapa-siapa," katanya.
"Baru pulang kerja. Nyimpan belanjaan aja kamu nggak sadar. Lagi ngapain sih, senyum sendiri dari tadi?"
Bu Ranti duduk di sampingnya, mencoba mengintip layar gawainya. Tapi Brian cepat-cepat menyembunyikannya ke saku. Dia tidak ingin ibunya tahu tentang Ala—belum sekarang.
"Kepo banget sih. Udah sana, ngapain kek!" Brian bangkit, membawa kopinya ke teras agar bisa melanjutkan percakapan tanpa gangguan.
Tak lama, gawainya bergetar. Balasan dari Ala muncul.
[Nggak bakal bisa dan nggak mau berurusan sama calon suami orang. Panjang urusannya nanti. Nggak usah aneh-aneh deh, Bri!]
Brian tersenyum membaca balasan itu. Ia bisa membayangkan wajah Ala yang kesal—mirip kartun Dora, lucu dan menggemaskan.
"Calon suami orang katanya," pikir Brian. "Kalau dia tahu aku bukan lagi milik Maira, apa dia masih pura-pura nggak punya perasaan?"
Brian tahu Ala sedang sok jual mahal. Tapi ia juga tahu bagaimana cara memenangkan hati gadis itu lagi. Pelan-pelan, sabar, dan penuh tekad.
Bersambung...
gk recommend untuk di baca. maaf
jd lah wanita mahal jng ngejar laki, jd wanita hrs di kejar. punya pacar dah selengki buang.
wanita ngejar laki kayak wanita gk laku ae, smp merendahkan diri.
ortu gk setuju tentu dah tau sifat si laki gk bner.
firasat ortu gk pernh salah, aku dah ngrasain soale.
cintanya mas bri udah stuk di kamu