"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Panjang Menuju Lengayang
Mekdi kembali ke ruangan Zetha.
“Setelah semua pekerjaanmu selesai, kembalilah ke rumah dan persiapkan segala sesuatu yang kamu butuhkan. Besok pagi saya akan menjemputmu. Kita akan berangkat ke daerah Lengayang,” ucap Mekdi berdiri di dekat meja Zetha.
“Saya juga ikut Pak?” tanya Zetha. Wajahnya merona dengan sedikit senyum, seperti ada harapan yang tiba-tiba membesar di hatinya.
Mekdi mengangguk, kemudian kembali menuju keluar.
“Pak Mekdi!” panggil Zetha.
Mekdi tertegun. Baru kali itu ia mendengar polisi cantik itu memanggilnya dengan sebutan Pak Mekdi. Zetha yang telah hampir sebulan berkerja di tempat Mekdi, selama ini hanya memanggilnya dengan sebutan Pak.
Mekdi berbalik menatap Zetha. Ada kilauan kecil yang terlihat di matanya, pupilnya sedikit melebar, selebar harapan yang dulu ada di ruangan itu. Mekdi melihat sosok lain yang duduk di kursi Zetha. Sosok yang dulu pernah ia cintai. Sosok yang dulu pernah membuat kehidupannya tak sedingin saat ini. Dan Pak Mekdi, sapaan kesayangan sosok wanita itu.
“Topinya ketinggalan Pak!” ujar Zetha tersenyum menunjuk topi Mekdi yang ada di atas mejanya.
“Eh! iya,” Mekdi tersentak dari lamunannya. “Saya lupa,” ucap Mekdi tersenyum mengambil topinya. “Besok kita akan berangkat jam tujuh pagi,” sambungnya agak canggung, lalu meninggalkan ruangan Zetha.
Mekdi menuju mobilnya yang terpakir di halaman kantor. Memasuki mobil itu, duduk untuk sejenak sebelum akhirnya menyalakan mobil itu untuk kembali ke apartemen miliknya yang ada di kawasan Jati Padang.
Mobil masda milik Mekdi melaju pelan di bawah langit senja kota Padang. Vleg berkilat dan kaca jendela hitam, sedikit memantulkan langit senja yang berwarna jingga. Dan waktu seakan ikut melambat seiring speedometer mobil Mekdi yang tak kunjung meninggi, saat masa lalu itu kembali muncul di benak Mekdi.
“Kenapa harus Zetha yang mengisi ruangan itu?” keluh Mekdi dalam hati, mulai menaikan kecepatan mobilnya.
“Bukan ketiadaanmu yang menyakitkanku, tapi kenyataan yang sepertinya ingin mengantarku kembali ke tempat di mana ingatan itu dulu ku tinggalkan. Aku telah lari sejauh mungkin, namun bayangmu mengikuti dengan caranya sendiri. Dia datang membenarkan disaat aku telah berhasil untuk menipu diriku sendiri. Dua mata ini, berkaca dengan bayangmu kembali,” bisik Mekdi dalam pikirannya yang semakin kalut di penghujung senja itu.
Esok harinya, pagi-pagi sekali Mekdi telah sampai di depan rumah Zetha. Meskipun jam digital di tape mobil Mekdi belum menunjukan pukul tujuh, namun mobil Mekdi telah sampai di depan rumah itu.
Ia bersandar di kursi mobilnya sambil menatap halaman rumah Zetha dari balik kaca jendela mobil. Beragam jenis tanaman bonsai yang tumbuh di halaman rumah Zetha, mengsinggahkan kembali ingatan masa lalu di benaknya. Ia kembali teringat bagaimana dulunya di setiap pagi, ia selalu berada di antara tanaman bonsai itu, menunggu di depan pintu untuk menjemput pujaan hatinya yang akan berangkat berkerja bersamanya.
Kenangan yang selama ini telah bersusah payah Mekdi lupakan, hari itu kembali terasa nyata, seakan-akan kejadian indah itu baru saja berlangsung kemarin. Ia kembali mengingat-ingat betapa indahnya hari-hari di dua tahun yang lalu. Tidak ada masalah apapun antara dia dan kekasihnya di saat itu. Hanya saja, pintu rumah yang sedang dilihatnya, tak ramah padanya.
Pintu rumah yang sedang dipandangi Mekdi tiba-tiba terbuka. Zetha keluar dari balik pintu itu dengan membawa tas jinjing travel, dan menyandang sebuah tas laptop. Seorang wanita, tampak mengikuti Zetha dari belakang, dan berdiri di depan pintu sambil melihat Zetha yang berjalan menuju mobil Mekdi.
Mekdi memalingkan wajahnya, menatap jalanan depan rumah Zetha yang masih lengang. Wajah yang baru saja keluar dari balik pintu bersama Zetha, mendebarkan jantungnya seketika. Walau wajah itu sangat dirindukannya, namun wajah itu jugalah yang ingin dilupakannya.
Zetha membuka pintu belakang mobil Mekdi. “Kita berangkat sekarang Pak?” tanya Zetha setelah meletakan tas yang dibawanya di bangku belakang.
Mekdi mengangguk dengan pandangan yang masih menatap jalanan yang sedikit berbelok ke kanan.
Zetha menggeser tasnya ke dalam, lalu duduk di bangku belakang mobil itu.
“Kenapa kamu duduk di sana?” tanya Mekdi melihat Zetha lewat kaca spion dalam.
Zetha kembali membuka pintu belakang yang baru saja ditutupnya, berniat pindah ke depan seperti yang Mekdi maksud.
“Tapi ini bukan perintah, hanya permintaan,” tambah Mekdi masih melirik Zetha lewat kaca.
Zetha tersenyum, membalas tatapan Mekdi yang tercermin di kaca spion, dan turun dari mobil untuk berpindah ke bangku depan.
Mobil Mekdi bergerak meninggalkan halaman rumah Zetha. Lewat kaca spion kiri mobilnya, Mekdi menyempatkan memandang wanita yang tadi berdiri di pintu rumah Zetha, sampai akhirnya wanita itu menghilang diputus jarak pandang.
Satu jam perjalanan, tidak ada suara apapun yang terdengar di dalam mobil mazda hitam milik Mekdi. Tidak ada obrolan ataupun suara musik yang mengalun dari tape mobil itu. Hanya deru angin yang terdengar lewat kaca jendelanya yang sedikit terbuka.
Zetha mulai tampak gelisah dengan suasana yang ada. Ia mulai bosan menatap jalanan yang ada di depannya. Sesekali ia melirik Mekdi seperti ingin berbicara, namun ia tampak ragu-ragu untuk memulainya. Sedangkan Mekdi hanya diam, fokus pada jalanan dan setir yang di pegangnya.
Zetha menoleh ke belakang, melihat tas laptop yang diletakkannya di bangku belakang mobil itu. Sepertinya ia mulai merindukan laptop berwarna silver miliknya.
“Apa ada yang ketinggalan?” tanya Mekdi pada Zetha yang tampak sedang melihat-lihat ke bangku belakang.
“Tidak Pak,” jawab Zetha meluruskan duduknya kembali, dan melihat ke arah depan.
“Bagaimana perasaanmu berkerja di tempat yang baru?” Mekdi menanyakan sesuatu yang lain. Ia mulai merasakan sikap Zetha yang tampak jenuh berada di dalam mobil itu.
“Senang Pak! Saya sangat senang berkerja di tempat yang sekarang. Apalagi Pak Je orangnya ramah dan sangat baik, membuat saya tidak merasa kaku berkerja di tempat itu.” Zetha tersenyum. “Baru kali ini saya bertemu atasan sebaik Pak Je.
“Atasanmu yang dulu seperti apa?” tanya Mekdi.
“Sangat berbeda dengan Pak Je. Orangnya terlalu formal Pak. Banyak aturan juga. Lingkungan kerjanya benar-benar kayak militer Pak! kalo Pak Je kan beda. Lebih berasa keluarga kalau kerja sama Beliau,” terang Zetha membedakan tempat kerja pertamanya dengan yang sekarang.
“Saya orangnya juga kaku. Lama-lama kamu pasti bosan jika sering ditugaskan bersama saya,” ucap Mekdi.
“Bapak orangnya bukan kaku, tapi cuma sering diam aja. Bapak juga tidak banyak aturan!
Mekdi tersenyum mendengar penilaian Zetha.
Obrolan-obrolan ringan antara Mekdi dan Zetha terus berlanjut seiring perjalanan yang masih penjang. Jauh dari suasana kantor sepertinya mulia membuat mereka sedikit lebih akrab dari sebelumnya. Kekakuan antara atasan dan ajudan mulai berkurang di saat itu.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,