Karenina, gadis cantik yang periang dan supel. Dia hidup sebatang kara setelah kehilangan seluruh keluarganya saat musibah tsunami Aceh. Setelah berpindah dari satu rumah singgah ke rumah singgah lainnya. Karenina diboyong ke Bandung dan kemudian tinggal di panti asuhan.
Setelah dewasa, dia memutuskan keluar dan hidup mandiri, bekerja sebagai perawat khusus home care. Dia membantu pasien yang mengalami kelumpuhan atau penderita stroke dengan kemampuan terapinya.
Abimanyu, pria berusia 28 tahun yang memiliki temperamen keras. Dia memiliki masa lalu kelam, dikhianati oleh orang yang begitu dicintainya.
Demi membangkitkan semangat Abimanyu yang terpuruk akibat kecelakaan dan kelumpuhan yang dialaminya. Keluarganya menyewa tenaga Karenina sebagai perawat sekaligus therapist Abimanyu.
Sanggupkah Karenina menjalankan tugasnya di tengah perangai Abimanyu yang menyebalkan? Apakah akan ada kisah cinta perawat dengan pasien?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Klien Sableng
Sedari tadi Abi tak henti melihat jam di pergelangan tangannya. Lidahnya berdecak beberapa kali menandakan kekesalannya. Sudah hampir setengah Jam dirinya dan Nina berada di cafe, menunggu perwakilan dari WO untuk resepsi Juna dan Nadia datang.
Nina sendiri tampak tak peduli. Dia asik menyeruput minuman dan menikmati makanan pesanan mereka. Sudah tak didengarnya lagi gerutuan Abi yang terus menanyakan kedatangan orang dari WO. Ponsel Nina bergetar, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal masuk. Dengan cepat dia menjawab panggilan, tangannya melambai pada gadis yang baru saja masuk cafe. Dengan cepat gadis itu menghampiri meja Nina.
“Selamat siang,” sapanya.
“Siang menjelang sore!!” ketus Abi.
Gadis menelan ludahnya kasar. Dia terpaku di tempatnya, sepertinya masih shock terkena semburan Abi. Astaga galak banget sih, jeritnya dalam hati.
“Ma... maaf pak. Tadi ada kecelakaan di jalan, jadinya sedikit macet.”
“Klise..”
Lagi-lagi gadis itu menelan ludahnya kelat. Mimpi apa dia semalam di hari ketiganya bekerja di Wedding Organizer langsung mendapat klien yang jauh dari kata ramah. Nina yang tak enak hati, segera mengajak gadis itu duduk.
“Dengan bapak Juna dan ibu Nadia kan?”
“Bukan!!”
Gadis itu hampir saja mengangkat kembali bokongnya yang sedikit lagi menyentuh kursi kalau tak mendengar penjelasan Nina.
“Kami perwakilan bapak Juna dan ibu Nadia.”
“Oh.. bapak Juna dan ibu Nadianya ngga datang?”
“Ngga lihat di sini cuma ada kita?”
Nina menyenggol lengan Abi. Terdengar gadis itu berdehem beberapa kali untuk menghilangkan kegugupannya. Dia mengeluarkan beberapa katalog dan contoh undangan lalu meletakkannya di meja.
“Sebelum mulai, perkenalkan nama saya Rayi,” Rayi mengulurkan tangannya.
“Ngga nanya!”
Rayi ternganga mendengar ucapan Abi, tangannya menggantung begitu saja di udara. Nina segera menyambut tangan gadis itu seraya menyebutkan namanya.
“Saya Nina, dan ini mas Abi. Harap maklum ya, dia belum minum obat, jadi penyakitnya kumat,” Nina mendelik kesal ke arah Abi.
“Eh iya ngga apa-apa bu.”
“Jangan panggil ibu, berasa tua.”
“Oh iya kak. Ini ada beberapa katalog soal konsep pernikahan, silahkan dilihat dulu. Ini juga ada beberapa contoh undangan. Kira-kira nanti mau mengadakan resepsi dengan konsep tradisional apa internasional?”
“Kalau kontemporer ada?” sambar Abi.
“Mas iih..”
Nina mencubit lengan Abi. Laki-laki itu kembali berdecak. Diambilnya salah satu undangan, melihatnya sebentar lalu melemparkannya lagi ke meja. Rayi semakin merasa terintimidasi oleh sikap Abi. Namun dia berusaha untuk tetap tenang. Gadis itu mengalihkan pandangannya pada Nina yang tengah melihat-lihat katalog. Sadar diperhatikan, Nina mengangkat kepalanya.
“Ada yang salah dengan wajah saya?”
“Eh..eng.. ngga kak. Cuma wajah kakak mirip seseorang aja hehehe..”
“Muka dia emang pasaran,” sahut Abi. Rayi hampir saja tergelak mendengarnya, namun sekuat tenaga menahannya dengan berdehem.
“Ehem.. nanti sekalin mau buat foto pre wedding kak?”
“Mereka udah nikah, jadi ngga perlu lagi foto pre wedding. Kamu gimana sih, masa ngga tahu profil calon klien kamu. Ini WO apa panitia agustusan?”
Uhuk.. uhuk..
Rayi langsung terbatuk mendengar ucapan pedas Abi. Sungguh sial dirinya bertemu dengan klien yang mulutnya persis cabe setan.
“Mas bisa diem ngga sih mulutnya?”
“Ngga..”
“Awas aja komen yang ngga penting lagi, aku cium mas di sini,” bisik Nina di telinga Abi.
CUP
Tanpa disangka Abi langsung mengecup bibir Nina. Sontak gadis itu terkejut, wajahnya langsung merona. Rayi membelalak melihat tayangan yang membuat mata sucinya ternoda.
Ya ampun mimpi apa gue semalem ketemu klien sableng kaya gini. Gean.... mata dan hati gue ternoda gara-gara klien sableng..
“Ja.. jadi kira-kira mau pake konsep apa kak?”
Rayi berusaha mencairkan suasana yang sempat kaku beberapa detik. Nina masih membolak-balik katalog untuk mengusir rasa malunya. Harusnya dia tak memberi ancaman seperti tadi pada pria gila seperti Abi.
“Kayanya harus tanya sama pengantinnya dulu deh. Sebentar ya.”
Nina mengambil ponselnya lalu melakukan video call pada Nadia. Tak lama wajah Nadia muncul di layar ponsel.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Kak.. ini orang WO nya nanya, nanti mau konsep penikahan tradisional apa internasional?”
“Tradisional aja deh Nin.”
“Ini ada beberapa katalog. Bentar kak.”
Nina mengganti tampilan dengan kamera belakang lalu mengarahkan pada katalog yang ada di meja. Nadia memperhatikan gambar-gambar tema resepsi yang diperlihatkan Nina. Tiba-tiba Juna datang lalu memeluknya membuat gadis itu terjengit hingga ponselnya jatuh di atas kasur.
“Halo kak.. kak..” panggil Nina.
Tak ada jawaban dari Nadia. Layar ponsel masih menunjukkan sambungan namun hanya memperlihatkan plafon kamar. Kemudian terdengar bunyi cecapan orang yang sedang berciuman, selang kemudian terdengar lenguhan Nadia saat Juna memainkan bukit kembar miliknya. Nina yang terkejut langsung memutuskan hubungannya. Dia tersenyum kikuk pada Rayi yang melongo dengan mulut terbuka. Setelah matanya, kini telinganya yang ternoda.
“Aduh maaf ya, maklum pengantin baru. Boleh ngga katalognya saya bawa, biar mereka yang mutusin semuanya?”
“Oh boleh kak, sekalian dengan contoh undangannya juga ngga apa-apa.”
“Ya udah kalau gitu, kita bawa dulu aja kali.”
Rayi mengangguk, dengan cepat dia membereskan katalog dan contoh kartu undangan lalu memasukkannya ke dalam tote bag.
“Kalau gitu saya permisi dulu kak. Hmm.. kalau sudah ada keputusan, langsung hubungi saya aja kak, nomernya yang tadi telepon.”
“Ok.. makasih ya.”
Rayi berdiri kemudian mengulurkan tangannya pada Nina untuk berpamitan. Sekilas dia melihat pada Abi yang tengah fokus dengan ponselnya. Nina memberi isyarat pada Rayi untuk tak mengganggunya. Rayi mengangguk lalu bergegas pergi meninggalkan pasangan itu.
“Udah beres?”
“Hmm..”
Abi memasukkan ponselnya ke saku celana lalu berdiri. Nina menyambar tote bag di meja, mengambil tasnya baru kemudian menyusul Abi yang telah lebih dulu keluar cafe. Dia menyusul naik ke mobil.
“Sekarang mau kemana mas?”
“Ngga usah banyak nanya,” jawab Abi yang juga dibarengi dengan suara Nina yang meniru jawabannya.
“Kalau udah tau kenapa nanya.”
Nina lagi-lagi mendengus kesal. Entah ada apa dengan laki-laki ini. Tadi di rumah, sikapnya begitu manis dan manja seperti anak kucing, kenapa sekarang berubah jadi menyebalkan lagi. Dari pada kesal memikirkan tingkah Abi, Nina memilih melihat-lihat kembali katalog.
Nina mengangkat kepalanya lalu melihat ke arah jalan. Mobil yang ditumpanginya berbelok memasuki kompleks perumahan yang ditinggali Abi.
Tinggal bilang pulang apa susahnya sih. Nih orang kumat penyakit nyebelinnya.
Mobil memasuki kompleks, melewati deretan perumahan mewah. Nina membuka tali seat beltnya ketika mobil mendekati kediaman Teddy, namun mobil itu terus saja melaju sampai beberapa meter ke depan dan berhenti di depan rumah yang masih dalam tahap pembangunan.
Tanpa berkata apa-apa, Abi turun dari mobil, Nina bergegas menyusulnya. Matanya memandangi rumah besar di depannya. Terlihat beberapa pekerja menyelesaikan di beberapa bagian bangunan. Abi berbicara sebentar dengan Eman, mandor proyek, lalu mengajak Nina masuk diikuti sang mandor.
Bagian dalam rumah sudah selesai, hanya tinggal pengecetan saja. Eman membawa Abi ke bagian belakang rumah. Di sana beberapa pekerjanya sedang menyelesaikan pembuatan kolam renang. Sedangkan Nina memilih membuka ruangan-ruangan yang ada di sana.
Sebuah ranjang spring bed yang dikenali olehnya terlihat ketika Nina membuka salah satu ruangan. Dia lalu menuju pintu yang ada di bagian sudut, begitu dibuka ternyata ruangan itu adalah kamar mandi. Bath tub yang dipilih Abi berikut shower pilihan Nina juga sudah ada di sana.
Nina keluar dari kamar kemudian melanjutkan tour-nya menuju area di dekat pintu menuju taman belakang. Dilihat dari bentuknya, Nina meyakini kalau area ini akan dijadikan dapur. Sebuah meja marmer berukuran besar sudah terpasang di dekat tembok pembatas.
“Kamu suka?”
Nina terkejut mendengar suara di belakangnya. Refleks dia berbalik hingga pinggangnya membentur pinggiran meja marmer. Abi menaruh kedua tangannya di sisi kanan dan kiri Nina, mengurung gadis tersebut dalam kungkungannya.
“Ranjang sama bath tub dan showernya udah datang ternyata.”
“Hmm.. nanti kalau rumah sudah dicat dan dibersihkan, kamu yang pilih semua furniture dan perabotannya.”
“Kok aku mas?”
“Terus aku harus minta tolong siapa? Bi Sari?”
“Ya minta tolong ke calonnya mas Abi lah. Mas Abi siapin rumah ini buat calon istrinya kan?”
“Iya.”
Nina tak bisa menggambarkan perasaannya saat ini mendengar jawaban Abi, antara senang juga takut. Senang jika ternyata dirinya yang akan menjadi calon istri pria itu tapi takut kalau ternyata tebakannya salah. Abi memandangi netra Nina, semakin lama tubuhnya semakin dekat hingga kembusan nafasnya dapat terasa di wajah Nina.
Nina memejamkan matanya ketika wajah Abi semakin mendekat. Dadanya mulai berdendang seperti irama musik di klub malam, berdentum tak karuan. Abi mendekatkan bibirnya, namun bukan bibir Nina yang menjadi sasarannya, melainkan leher jenjang nan putih yang menarik perhatiannya.
Mata Nina terbuka ketika merasakan bibir Abi menelusuri lehernya. Nafasnya tercekat, aliran listrik ribuan volt seperti tengah menyengatnya. Tanpa sadar Nina meremat kaos yang dikenakan Abi.
“Pak Abi..”
Abi sontak menjauhkan dirinya dari Nina begitu mendengar suara Eman memanggilnya. Bergegas dia menuju sang mandor. Nina memegangi dadanya yang berdendang tak karuan. Tubuhnya terasa lemas, untuk beberapa saat Nina masih terpaku di tempatnya. Setelah beberapa kali mengambil nafas, barulah gadis itu beranjak pergi.
Selesai berbicara dengan Eman, Abi mengajak Nina pulang. Tak ada pembicaraan selama di dalam mobil. Begitu sampai di kediaman Teddy, Nina buru-buru turun dari mobil kemudian melesat masuk ke dalam rumah. Abi memandang kepergian Nina dari balik kemudi. Dia menyandarkan kepalanya di jok mobil.
Nina.. kenapa aku ngga bisa menahan diri setiap ada di dekatmu. Tunggu sebentar lagi Nin.. sampai aku mendapat kepastian soal Anfa. Setelah itu aku akan melamarmu.
☘️☘️☘️
**Anfa📢📢📢 buruan nongol biar Nina ngga di ghosting mulu Ama Abi.
BTW kalian udah lihat cover baru novel ini? Mamake kecewa, NT ganti cover tanpa pemberitahuan. Parahnya yang mejeng di cover malah fotonya Juna😭 udah gitu Nina nya ngga sesuai banget😭
Kecewa bingits bin kesel... kembalikan coverku yg dulu😔**