"Papa tidak setuju jika kamu menikah dengannya Lea! Usianya saja berbeda jauh denganmu, lagipula, orang macam apa dia tidak jelas bobot bebetnya."
"Lea dan paman Saga saling mencintai Pa... Dia yang selama ini ada untuk Lea, sedangkan Papa dan Mama, kemana selama ini?."
Jatuh cinta berbeda usia? Siapa takut!!!
Tidak ada yang tau tentang siapa yang akan menjadi jodoh seseorang, dimana akan bertemu, dalam situasi apa dan bagaimanapun caranya.
Semua sudah di tentukan oleh sang pemilik takdir yang sudah di gariskan jauh sebelum manusia di lahirkan.
Ikuti ceritanya yuk di novel yang berjudul,
I Love You, Paman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33 - Kabar burung
Malam telah berlalu ketika Lea perlahan membuka matanya. Penerangan redup dari lampu kamar rumah sakit membuat pandangannya sedikit kabur.
Ia merasakan sesuatu yang dingin di tangannya dan menyadari adanya infus yang menempel di pergelangan tangannya. Rasa pusing masih terasa, tapi kesadarannya mulai kembali perlahan.
Lea memutar pandangannya dan melihat sekeliling kamar yang sunyi. Tidak ada suara selain detak jarum jam di dinding.
Ketika ia menoleh ke arah sofa di sudut ruangan, terlihat sosok Saka yang terbaring di sana, tertidur pulas dengan wajah yang tampak kelelahan.
“Dia laki-laki yang baik,” gumam Lea pelan.
Malam itu terasa sangat panjang bagi Lea. Jam di dinding seakan bergerak begitu lambat, seolah-olah waktu sengaja mempermainkannya.
Dalam keheningan malam, pikirannya kembali pada saat yang baru saja ia alami beberapa jam lalu.
Gambaran Saga dan Nadia yang keluar dari kamar yang sama, dalam situasi yang membuatnya syok, terus berputar di benaknya.
Rasa sakitnya sangat nyata terasa seolah jantungnya diremas-remas dengan kasar.
Air mata Lea pun kini mengalir lagi tanpa bisa ia cegah. Lea merasa terjebak dalam pusaran perasaan cemburu, marah, dan tidak percaya lagi pada Saga.
Mengapa harus Saga? Paman yang selama ini ia anggap sebagai pelindung dan laki-laki yang di cintainya, kini seolah menjadi sumber dari segala kesakitannya. Mengapa? Pikir Lea.
**
Setelah beberapa saat mencoba memejamkan mata, akhirnya rasa lelahnya pun membuatnya merasa ngantuk. Lea pun perlahan-lahan tertidur kembali, meski dengan hati yang masih terguncang.
Ketika pukul lima pagi, Lea terbangun lagi. Kamar rumah sakit masih sepi, yang terdengar hanya ada suara lembut dari mesin infus yang menemaninya.
Lalu Lea memandang ke arah Saka yang kini sedang berbicara di ponselnya di dekat jendela. Saka sesekali melirik ke arahnya dan tersenyum kecil ketika menyadari bahwa Lea sudah bangun.
Selesai dengan panggilan teleponnya, Saka segera menghampiri Lea dengan wajah yang lega. “Kamu sudah sadar?” tanyanya sambil tersenyum hangat.
“Aku sudah sadar dari semalam,” jawab Lea seraya mengangguk pelan.
“Oh, maaf, tadi malam aku ketiduran. Aku tidak tau kalau kamu sudah siuman,” ujar Saka dengan sedikit tersipu. Ia merasa tidak enak telah tertidur saat seharusnya menjaga Lea.
Lea menatap Saka sejenak, dan merasakan ketulusan dari sikap Saka. “Terima kasih, Saka,” ucap Lea dengan suara pelan. “Dan maaf, aku sudah merepotkanmu.”
Namun, Saka segera menggeleng. “Jangan bicara seperti itu, Lea. Aku senang bisa membantumu. Aku tidak merasa terbebani sama sekali. Yang penting sekarang kamu sudah lebih baik.”
Lea hanya bisa menatapnya dalam diam, ia merasa bersyukur karena ada seseorang yang begitu peduli padanya di saat-saat seperti ini.
Pagi itu, setelah beberapa saat memikirkan semuanya, Lea akhirnya memutuskan untuk pulang dari rumah sakit.
Dia merasa tubuhnya sudah lebih baik, meskipun masih lemah. Pikirannya kini tertuju pada satu hal yang tidak bisa ia abaikan yaitu ulangan sekolah yang akan di laksanakan hari ini.
Baginya, ulangan ini sangat penting, dan tidak bisa ia lewatkan begitu saja.
Namun, saat mendengar keinginan Lea, Saka tampak ragu. “Lea, kamu yakin mau pulang sekarang? Kamu baru saja sembuh, aku khawatir kondisi kamu belum benar-benar pulih.”
“Aku harus pulang, Saka. Ulangan ini penting sekali untuk masa depanku. Kalau aku tidak ikut, bisa berakibat buruk pada nilai akhirku.”
“Baiklah, kalau kamu yakin bisa melakukannya, aku akan bantu urus administrasinya.”
Lea tersenyum tipis, lalu bersiap-siap untuk pulang. Sementara Saka pergi untuk mengurus pembayaran.
Sambil berjalan menuju bagian administrasi, Saka sibuk dengan ponselnya karena mencari toko baju online yang bisa diantar secepat kilat dan saat ini juga.
Sambil mengurusi administrasi dan dengan lumayan susah menemukan toko online yang sudah beroperasi di pagi hari, akhirnya Saka berhasil memesan baju untuk Lea yang di antar saat itu juga.
Tidak lama berselang, Saka sudah kembali dengan membawa sebuah paperbag. Saat masuk ke dalam, ia melihat Lea yang sedang duduk kebingungan.
Mengingat ia kini memakai seragam pasien dan tidak membawa baju sedangkan bajunya basah karena kehujanan semalam.
Tapi Saka segera memberikan paperbag yang berisi baju wanita itu pada Lea sehingga Lea pun merasa lega.
--
“Kalau aku sudah dapat gaji, aku akan kembalikan uangnya,” ujar Lea saat mereka melangkah keluar dari rumah sakit. Ia merasa tidak enak hati karena Saka sudah banyak membantunya.
“Tidak usah khawatir, Lea. Kamu tidak perlu mengembalikan uangnya. Anggap saja ini bantuanku sebagai teman," balas Saka seraya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Namun, dalam hati, Lea tetap bertekad untuk membayar kembali setiap sen yang telah Saka keluarkan.
Meskipun Saka menolak, dia tidak ingin berhutang budi lebih dari yang sudah ia rasakan.
Ini adalah caranya untuk tetap merasa mandiri, sesuatu yang sangat penting baginya, terutama dalam situasi seperti sekarang.
---
"Bisa tolong antarkan aku ke kafe dulu?," tanya Lea saat akan memasuki mobil.
"Tentu," jawab Saka tanpa banyak bertanya.
Kemudian, mereka melaju menuju kafe tempat Lea bekerja. Dan benar saja tas dan seragamnya yang tertinggal masih ada di kursi depan kafe.
Karena masih pagi, kafe pun belum buka jadi masih belum ada orang disana. Lea segera mengambil tasnya lalu menghampiri Saka.
"Terima kasih atas semuanya, aku akan bersiap dan pergi ke sekolah, jadi kamu bisa pergi sekarang."
"Aku bisa mengantarmu ke sekolah."
"Tidak perlu, itu akan semakin merepotkan."
"Tidak, ayo masuk," balas Saka sambil membuka pintu mobil.
Akhirnya Lea pun menurut karena tidak ada pilihan lain.
---
Setibanya di depan sekolah, Saka menghentikan mobilnya. Lea melirik ke arah gerbang yang masih sepi namun sudah ada beberapa siswa yang mulai berdatangan.
Lalu, ia membuka pintu mobil dan keluar. Tidak butuh waktu lama, para siswa yang sudah tiba pun langsung memperhatikan kehadiran Lea.
Bisikan-bisikan juga segera terdengar di antara mereka, disertai tatapan-tatapan yang curiga.
“Siapa tuh yang antar Lea?,” salah seorang siswa berbisik pada temannya.
“Kayaknya bukan orang biasa… tapi kenapa dia nggak pakai seragam?,” sahut temannya sambil terus memperhatikan Lea.
Lalu munculah desas desus jika Lea merupakan gadis nakal panggilan pria hidung belang yang kabar burung itu pagi itu langsung tersebar seperti angin.
“Sumpah, gue denger-denger dia tuh gadis panggilan. Pantesan aja dibawa sama cowok pake mobil segala. Kayaknya abis dari mana gitu…”
“Apa?! Masa sih?! Tapi dia nggak kelihatan kayak gitu...”
“Katanya dia datang ke sekolah tanpa memakai seragam, pasti abis nginep di rumah cowok itu…”
Sampai jumpa di episode selanjutnya...
**
~ Gosip itu seperti tinta hitam yang tumpah di atas kain putih. Sekali tumpah, tinta tersebut akan menyebar dan meresap, meninggalkan noda yang sulit dihilangkan. Sama halnya dengan gosip, meski pada awalnya hanya berupa bisikan kecil, dampaknya bisa merusak citra seseorang dan sulit untuk dibersihkan, bahkan setelah kebenaran terungkap. ~