Dijebak suami sampah? Di tipu sahabat sendiri? Di buang oleh keluarganya? ya itu semua adalah kehidupan suram Fellora di masa lalu, Tapi ia kini bangkit dengan indentitas baru untuk membalaskan dendam nya.
"Mengapa kita tidak memotongmu menjadi potongan kecil dan memberikannya untuk anjingmu? Hm? Kemudian kita akan lihat seberapa setia anjing lapar yang sebenarnya.
Kamu tidak akan pernah mengerti kehancuran yang kamu lakukan pada seseorang sampai hal yang sama dilakukan padamu."~Fellora
"Gue nggak peduli ayah dari bayi ini,benih yang ditanam di rahim lo ini! Yang pasti gue cuman ingin menjadi ayah untuk bayi ini, meskipun ini bukan darah daging gue,gue akan memperlakukan layaknya anak kandung. Dan gue juga nggak bakalan melarang lo buat deket sama cowok lain! Yang penting gue bisa jadi ayah yang baik buat bayi ini!"
_Farka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anisa Nurapiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
let's make a baby
Suasana di kediaman keluarga Iglesias terasa semakin berat dan mencekam. Garvin dan Selva, terpekur dengan sorot mata yang redup.
Garvin tampak frustasi, memijat pelipisnya yang berdenyut, sementara Selva menatap cemas ke arah tangga, menanti kepastian dari pembantu yang baru saja mengantarkan makanan ke kamar putri semata wayangnya.
"Bagaimana, Bi?" tanya Selva dengan suara bergetar, berharap ada secercah harapan dari jawaban sang pembantu.
Dengan anggukan pelan, pembantu itu menjawab,
"Nona Chloe sudah menerima makanannya, Nyonya." Seulas senyum lega terkembang di wajah Selva dan Garvin. Setidaknya, putri mereka bersedia menerima asupan, meski hati mereka masih diliputi kekhawatiran mendalam.
Suasana hening terpecah saat pembantu lain membuka pintu, mempersilakan tamu yang datang - Yunezza beserta putranya, Reiga.
Selva segera menghampiri Yunezza, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Ia menumpahkan segala kesedihan dan kefrustrasiannya dalam pelukan sahabat lamanya itu.
"Aku sudah mendengar semuanya, Sel," ujar Yunezza lembut, mengusap punggung Selva dengan gerakan menenangkan.
Mereka lalu beralih ke sofa, berbincang seputar kabar terkini, berusaha mengalihkan perhatian Selva dari beban pikirannya.
"Bagaimana keadaan Chloe sekarang?" tanya Yunezza hati-hati.
Selva menggeleng pelan, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.
"Chloe tidak mau keluar kamar... Dia tidak membiarkan siapapun masuk. Aku sangat khawatir, Yun."
Yunezza menoleh ke arah Reiga yang sedari tadi hanya terdiam.
"Rei, coba kamu bujuk Chloe," pinta Yunezza pada putranya.
"Tapi, Bun... Aku tidak terlalu dekat dengannya," Reiga menjawab dengan canggung, enggan terlibat dalam permasalahan ini.
Selva menatap Reiga dengan sorot memohon.
"Rei... Tolong bantu Tante. Tante takut terjadi sesuatu pada Chloe."
Belum sempat Reiga menjawab, tiba-tiba terdengar suara teriakan dan barang-barang pecah dari lantai atas, disertai tangisan pilu Chloe yang memilukan.
"Brengsek lo farka !!!" jerit Chloe di sela-sela isak tangisnya, terdengar jelas ia tengah menghancurkan apapun yang ada di dalam kamarnya.
Selva tercekat mendengar suara isakan Chloe dari atas, diiringi dentuman barang-barang yang pecah. Naluri seorang ibu membuatnya ingin segera menaiki tangga, namun tiba-tiba Reiga menghadang dan menawarkan diri.
"Biar aku saja, Tan!" ujar Reiga cepat, lalu bergegas menaiki tangga menuju kamar Chloe.
Sesampainya di depan pintu kamar, Reiga mengetuk dengan panik.
"Chloe!! Buka pintunya!" serunya, menempelkan daun telinga ke pintu kayu yang terkunci dari dalam. Namun, tak ada jawaban selain isakan Chloe yang semakin memilukan.
Tanpa berpikir panjang, Reiga mengambil ancang-ancang dan mendobrak pintu itu. Pintu terbuka lebar, menampakkan kondisi kamar yang berantakan bak kapal pecah.
Pecahan barang berserakan, kertas-kertas foto yang dirobek, dan Chloe terduduk di lantai, berlumuran darah akibat luka sayatan di tangannya.
Reiga merebut pecahan kaca yang digenggam Chloe, membuat tangannya sendiri sedikit tergores. Raut wajahnya menampakkan kemarahan bercampur khawatir.
"Lo gila ngapain lakuin hal bodoh kayak gini?" bentak Reiga dengan nada mendesak.
Chloe menatapnya dengan mata sembab, air mata terus mengalir.
"Lo ngapain ke sini? Lo Gausah ikut campur!" cercanya.
"Lo tolol apa gimana? Jelas-jelas mami sama papi lo khawatir dibawah nungguin lo, sementara lo ngapain lakui hal Tolol gara-gara cowok, Harusnya Lo bersyukur masih ada keluarga yang sayang sama Lo!" teriak Reiga, membuat suaranya bergema di seluruh ruangan.
Chloe terkulai, terisak pilu. Ia menundukkan kepala, menatap luka-luka di lengannya. Reiga, tersadar akan bentakannya yang terlalu keras, perlahan berjongkok dan memeluk kepala Chloe, membiarkan gadis itu menumpahkan segala kesedihannya.
Akibat kebakaran yang melanda puskesmas, Quilera terpaksa dipindahkan ke ruang rawat rumah sakit di kota. Jarum jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, namun Ryzard tak kunjung memejamkan mata. Rasa bersalah menghantui pikirannya. Seandainya saja ia tidak pergi ke parkiran untuk mengerjakan deadline klien, mungkin kejadian ini tak akan terjadi.
Perlahan, jemari Quilera mulai bergerak, kelopak matanya terbuka, menatap langit-langit kamar rawat. Ryzard, yang menyadari istrinya telah sadar, segera menggenggam tangannya, meletakkannya di wajahnya.
"Sayang, kamu sadar!" gumam Ryzard dengan sorot mata berkaca-kaca.
Quilera mencoba memfokuskan pandangannya, berusaha mengingat kejadian sebelumnya. Ia teringat akan keberadaan bayinya saat kebakaran terjadi. Dengan terbata-bata, ia bertanya,
"A-aku masih hidup?"
Ryzard mengangguk lembut, lalu mengecup tangan Quilera.
"Iya, sayang... Kamu masih hidup, syukurlah!"
Namun, saat Quilera menanyakan tentang bayi mereka,
"Ba-bayi ki-ta??"
Ryzard tak kuasa menahan air matanya. Ia terisak, berusaha menjawab, namun kata-kata tercekat di tenggorokan.
"Ba-bayi ki-ta...," gumam Ryzard di sela-sela tangisnya, membuat Quilera semakin terkejut.
"Ap-apa maksudmu?" tanya Quilera, air mata mulai mengalir deras membasahi pipinya. Ia menggerakkan tangannya, mencoba mendapat penjelasan dari Ryzard.
Ryzard tak kuasa menahan diri, ia menggenggam tangan Quilera dengan kedua tangannya, memohon maaf.
"Maafin aku, sayang... Gara-gara aku ninggalin kamu... Bayi... bayi kita!" ujarnya tersendat, air mata mengalir deras membasahi pipinya.
Quilera menggeleng keras, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Rasa sakit di hatinya membuncah, membuat napasnya terengah-engah.
"Harusnya... harusnya aku juga mati" jeritnya dengan suara parau, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, tanda frustasi yang mendalam.
Ryzard berusaha menenangkan, menahan tangan Quilera yang hendak menyakiti dirinya sendiri. "Sayang, jangan bicara seperti itu..." gumamnya lirih.
Tak lama kemudian, para dokter datang dan menyuntikkan obat penenang ke kantung infus Quilera. Perlahan, tubuh perempuan itu melemas dan kembali tertidur.
Ryzard berkali-kali mengusap air matanya, setelah berbincang dengan dokter. Mereka menyatakan bahwa Quilera kemungkinan terkena baby blues akibat kehilangan putrinya. Ryzard harus selalu menjaga dan merawat istrinya dengan penuh kasih.
"Apa ini gara-gara perkataanku yang tidak akan menerima bayi perempuan?" gumamnya dalam hati, frustasi memegang rambutnya yang acak-acakan. Ia menyesal, baru menyadari bahwa yang terpenting adalah kesehatan sang bayi, tak peduli jenis kelaminnya.
Kini, harapan itu hanya tinggal kenangan, terbawa pergi bersama nyawa sang buah hati. Ryzard terjebak dalam belenggu nestapa yang mengurungnya, sementara Quilera terkulai tak berdaya, tenggelam dalam jurang keputusasaan yang semakin dalam.
Baby Oster tampak tidur siang dengan pulas di dalam crib bayinya, sementara Fellora terlihat memilih-milih pakaian di dalam lemari, hanya mengenakan piyama mandi putih dengan handuk kecil yang melingkari rambutnya yang basah.
"Sayang, aku mau meeting sama sutradara. Ada film yang harus aku bintangi. Kamu mau ikut atau tidak?" tanya Fellora sembari memilah-milah baju.
"Nggak ah, males. Nanti disuruh come back ke dunia selebritis. Aku juga mau ngerjain beberapa laporan untuk perusahaan," ujar Farka, merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk, tampak enggan menjadi sorotan media.
"Hmm, ya sudah. Aku pergi sama bodyguard biar kamu nggak terlalu bawel!" sambung Fellora.
Farka, yang tampak kelelahan menjaga si kecil Baby Oster, berjalan mendekati istrinya dan memeluknya dari belakang. Aroma sabun mandi mahal menggelitik inderanya, membuatnya semakin menggoda leher Fellora.
"Ihh, aku udah mandi!" desis Fellora, mencoba menegur suaminya.
Farka mendesis manja, memeluk istrinya sambil menggoyangkan badannya sedikit.
"Aku masih nggak nyangka Baby Oster sebesar itu muat di perut kamu yang kecil ini," ujar Farka, memegang perut Fellora yang terlihat ramping terbungkus piyama mandi.
Fellora membalikkan tubuhnya, menatap wajah sang suami dengan curiga.
"Emangnya kenapa? Kamu mau lihat lagi?" tanyanya, memicingkan mata.
Farka menggeleng cepat, mundur menuju ranjang, mengidikan bahu.
"Nggak!! Aku aja masih takut!" ujarnya, masih teringat ketakutannya saat menemani Fellora melahirkan.
Fellora tampak senang melihat suaminya ketakutan, lalu mendorong tubuh Farka hingga terjatuh ke ranjang. Ia pun mulai membuka piyama mandinya, berniat memikat sang suami.
Namun, Farka terbelalak, cepat-cepat merangkak naik dan langsung menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Nggak, sayang!!! Kamu ngapain sih?!" serunya dari balik selimut, membuat Fellora tertawa renyah melihat suaminya yang masih benar-benar trauma.
"Haha sayang aku cuman bercanda!!"ucap fellora mencoba menarik selimut namun farka tampaknya masih tidak percaya kepada istrinya dan masih ingin menjahilinya.
"Bercandaan kamu ga lucu sayangg!!" Teriak lelaki itu dibalik selimut mencoba mempertahankan keamanannya.
...Bersambung...