Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Rahasia
Adzan maghrib baru saja usai ketika Adi melangkah masuk ke dalam rumah setelah mengembalikan bajaj yang ia sewa. Pemilik bajaj tersenyum puas setelah menerima bayaran lebih dari Adi untuk kerusakan kecil yang terjadi pada bodi bajaj.
Begitu masuk ke ruang tamu, Adi disambut oleh tatapan penuh tanya dari ibunya, Nyonya Pratama, dan ayahnya, Tuan Pratama.
"Kamu ke mana saja seharian, Di? Kami tidak bisa menghubungimu," suara ibunya terdengar penuh kekhawatiran yang ia coba sembunyikan di balik nada yang tenang.
Adi menghela napas, menyadari ponselnya tertinggal di rumah, sehingga membuatnya tidak bisa dihubungi sepanjang hari. Sebelum sempat menjawab, suara adiknya, Renata, tiba-tiba terdengar dari arah tangga. "Dari Bantar Gebang, ya?"
Adi terkejut, bukan hanya karena Renata tahu ke mana ia pergi, tetapi juga karena tidak menyangka adiknya pulang akhir pekan ini.
Ternyata Renata pulang untuk menginap sebelum kembali ke kosannya. Senyum tipis muncul di wajah Adi saat ia mendekati Renata. Mereka memang jarang bertemu dan berkomunikasi, tetapi hubungan mereka tetap dekat.
"Loh, kenapa kamu tahu?" tanya Adi, penasaran.
Renata tersenyum misterius. "Itu rahasia," katanya, sambil melirik kedua orang tua mereka yang juga menatap heran.
"Dan kenapa tiba-tiba kamu… pakai…." Adi mengamati adiknya yang mengenakan kain penutup kepala dengan gaya kasual.
“Jilbab?” sahut Renata, memastikan pertanyaan Adi.
“Ya… Jilbab, kenapa kamu memakai jilbab?”
Renata mengangkat bahu. "Ya biarin aja, lagi membiasakan diri. Perubahan kecil, meski di rumah, supaya terbiasa, karena aku baru mulai memakainya."
Adi heran, tapi melihat keseriusan di mata adiknya, ia hanya mengangguk setuju. Berbeda dengan Adi, ayah dan ibu mereka tampak kurang setuju, meskipun diam tak mengutarakan pendapat mereka.
Namun, momen hening itu segera terganggu ketika bau tak sedap tercium di ruangan. Semua orang—termasuk seorang pembantu rumah tangga yang sedang melintas—mencium bau sampah yang berasal dari cairan yang tertempel sedikit di celana Adi. Adi cepat-cepat berdiri dan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Kamar mandi di rumah keluarga Pratama adalah ruangan yang mewah, dengan lantai marmer dan peralatan berteknologi tinggi.
Adi membuka keran air hangat, membiarkan uap memenuhi ruangan sebelum ia mulai membersihkan tubuhnya.
Ia berdiri di bawah pancuran air hangat, membiarkan air mengalir di atas kulitnya, mencuci semua kelelahan dan perasaan tidak nyaman yang ia rasakan setelah seharian menempuh perjalanan lalu berkeliling dengan Kimi di Bantar Gebang.
Selesai mandi, Adi mengambil sajadah dan mulai sholat di kamarnya. Gerakan dan bacaannya tidak sempurna, menunjukkan bahwa ia jarang melakukannya. Meski begitu, ia melakukannya dengan sepenuh hati, teringat kata-kata Kimi yang terus terngiang di kepalanya: “Sholat itu kewajiban selaku Muslim.”
Ibunya yang melihat dari kejauhan merasa heran. Setelah sholat, ia dan ayahnya mendekati Adi, dan sang ibu bertanya dengan suara lembut namun penuh rasa ingin tahu, "Ngapain kamu tadi, Di?"
Adi menghela napas, lalu menjawab singkat, "Sholat, Bu."
Ibunya menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari tahu perubahan apa yang terjadi pada putranya. "Siapa yang membuatmu begini?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu sekaligus heran.
Adi mengalihkan pandangannya, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. "Ada lah, Bu... Rekan Adi."
Nyonya Pratama terlihat ingin bertanya lebih lanjut, tapi sebelum ia sempat, Adi sudah beranjak bermaksud menghampiri Renata yang duduk di ruang keluarga. Ibunya menyusul. Sebelum Adi sampai, ibunya bicara.
"Kamu habis ngapain ke Bantar Gebang? Itu kan tempat sampah akhir," tanya ibunya, kali ini dengan nada lebih serius.
Adi terdiam sejenak, cemas dan merasa bersalah. Sepatu yang hilang di Bantar Gebang bukan hanya berharga bagi dirinya, tetapi juga bagi ayah dan ibunya. Namun, ia belum siap untuk menjelaskan semuanya. Akhirnya, dengan nada tenang namun tetap khawatir, Adi menjawab '
"Ada urusan mendesak saja, Bu. Tidak apa-apa."
Ibunya mengangguk, meski masih menyimpan keraguan di hatinya. "Ya sudah," jawabnya singkat.
Adi kemudian menghampiri Renata dan mereka mulai berbincang layaknya kakak dan adik yang sudah lama tidak bertemu.
Mereka berbicara tentang segala hal—kuliah Renata, pekerjaan Adi sebagai CEO di kantor, hingga hal-hal ringan yang membuat mereka tertawa. Meski jarang bertemu, keakraban mereka tetap terasa. Dalam percakapan itu, Adi merasa sedikit lebih tenang, sejenak melupakan beban yang ia rasakan.
Namun, di dalam hatinya, Adi tahu bahwa percakapan dengan orang tuanya belum selesai. Cepat atau lambat, ia harus menjelaskan apa yang terjadi di Bantar Gebang, tentang sepatu yang hilang.
Tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk menikmati momen kebersamaan dengan adiknya, sembari menyimpan kegelisahan itu untuk dirinya sendiri.
Mereka duduk di sudut ruang keluarga yang nyaman, dikelilingi oleh kehangatan rumah yang membawa rasa tenang. Adi memandangi adiknya yang sedang asyik menyeruput teh hangat, mengingat betapa cepatnya waktu berlalu sejak mereka masih kecil.
“Ren, ada yang kamu butuhkan buat kuliah? Kalau ada, kasih tahu aja, biar Mas yang beliin,” ujar Adi sambil tersenyum, mencoba menawarkan bantuan dengan tulus.
Renata terkejut mendengar tawaran kakaknya. Meski mereka jarang bertemu dan berkomunikasi, tawaran itu membuatnya merasa dihargai.
“Ada sih, Di. Aku lagi butuh beberapa peralatan komputer tambahan, atau mungkin… tablet kecepatan tinggi untuk keperluan coding saat di luar. Tapi aku nggak enak minta, soalnya mahal,” jawab Renata sambil menatap Adi dengan mata sedikit ragu.
Adi mengangguk pelan. “Nggak usah khawatir soal harga, Ren. Mas yang urus. Kamu tinggal bilang aja apa yang kamu butuhin. Kan buat keperluan belajar juga.”
Saat itu, Nyonya Pratama, yang tampaknya masih mendengar obrolan dari ruang sebelah, masuk ke ruang keluarga dengan ekspresi sedikit serius.
“Renata, kok kamu panggil kakakmu langsung gitu? Panggil Mas, dong. Itu kan kakak kamu, apalagi kita orang Jawa, ada adat yang harus dijaga.”
Renata menghela napas pelan, merasa sedikit bersalah karena lupa akan adat yang diajarkan sejak kecil. “Iya, Bu. Udah kebiasaan sih, jadi susah,” jawabnya dengan nada setengah menyesal.
Nyonya Pratama menggeleng pelan, “Makanya, mulai dibiasain lagi, biar nggak lupa adat.”
Adi, yang mengerti kebiasaan adiknya, mencoba menenangkan ibunya. “Nggak apa-apa, Bu. Pelan-pelan aja. Renata mungkin belum terbiasa...”
Nyonya Pratama mengangguk, meski masih tampak sedikit tak puas. “Kamu ini selalu saja membela adikmu,” gumamnya sebelum meninggalkan mereka berdua.
Setelah ibunya benar-benar pergi, Renata menatap Adi dan tersenyum kecil. “Makasih, Di… eh, Mas,” katanya sambil berusaha membiasakan diri memanggil Adi dengan sebutan yang lebih sopan, meski terdengar kaku di telinga mereka berdua.
Adi tersenyum lembut, memahami usaha adiknya. “Ya udah.... pelan-pelan aja...”
Renata mengangguk dan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih serius. Ia mendekatkan diri ke Adi, berbicara dengan nada setengah berbisik, seolah tak ingin ibunya mendengar.
“Mas...,” katanya, berusaha untuk terbiasa, “Soal rencana pernikahan.. Mas. Mas yakin… semuanya… baik-baik aja?”
Adi yang semula tampak tenang, tiba-tiba terlihat gelisah. “Mas... nggak tahu, Ren. Tapi semua sudah diatur. Undangan sudah disebar, gedung sudah disewa, tanggal sudah ditentukan. Jadi… mungkin… Mas harus berpikir logis.”
Renata menatap Adi dengan tatapan penuh pengertian. “Tapi, Mas, lebih logis lagi kalau Mas ingat bahwa pernikahan itu keputusan seumur hidup. Mas harus… benar-benar yakin.”
Adi terdiam, merenungkan kata-kata Renata. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan adiknya sangat masuk akal. Namun, kenyataan bahwa persiapan pernikahannya sudah berjalan membuatnya merasa terjebak dalam keputusan yang sulit diubah.
Pertengkaran dengan Karin, tunangannya, yang makin sering terjadi belakangan ini, menambah kebimbangannya. Adi mencoba merenung lebih dalam.
Dalam perenungannya tiba-tiba Adi sadar akan sesuatu, ia pun berkata, “Kok kamu seperti tahu tentang masalah Mas, padahal Mas belum cerita apa-apa ke Ayah dan Ibu? Apalagi ke kamu…”
Renata tersenyum tipis, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin diungkapkan. “Rahasia, Mas. Nanti juga tahu sendiri,” jawabnya sambil tersenyum misterius.
Adi menatap Renata dengan alis berkerut, merasa ada yang disembunyikan adiknya. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa.
Pertanyaan-pertanyaan itu tetap menggantung di udara, meninggalkan Adi dengan perasaan yang belum tuntas, tapi ia tahu, waktu yang akan menjawab semuanya.
“Lalu adakah sesuatu yang terjadi dengan… sepatu?” tanya Renata, tak yakin.
Adi terkejut. “Apa? Ssssst! Jangan keras-keras! Kamu… kamu tahu juga tentang sepatu itu?”
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.