NovelToon NovelToon
About Me (Alshameyzea)

About Me (Alshameyzea)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Febby Eliyanti

Saksikan perjalanan seorang gadis yang tidak menyadari apa yang telah disiapkan takdir untuknya. Seorang gadis yang berjuang untuk memahami konsep cinta sampai dia bertemu 'dia', seorang laki-laki yang membimbingnya menuju jalan yang lebih cerah dalam hidup. Yuk rasakan suka duka perjalanan hidup gadis ini di setiap chapternya.


Happy Reading 🌷
Jangan lupa likenyaa💐💐💐
Semoga kalian betah sampai akhir kisah Alsha🌷 Aamiin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febby Eliyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32. Badai Emosi

...Assalamualaikum guys!! Sebelum baca, bantu support yaa dengan follow, vote dan komen di setiap paragraf nya!! Karena support kalian sangat berarti bagiku💐Makasiiii!🌷...

...⋆.⋆...

...🌷Happy Reading 🌷...

...⋆...

...⋆...

...⋆...

..."Saat seseorang yang dulu kita kenal dengan baik mulai menjauh, kita sering kali bertanya-tanya apakah kita yang berubah, ataukah mereka yang memang tidak lagi sama."...

...⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆...

Pagi itu, aku dan Aline melangkah keluar rumah dengan semangat yang perlahan membangun diri setelah malam yang panjang. Hujan yang turun sejak Subuh membasahi kota, meninggalkan jejak basah di jalanan dan titik-titik air yang bergelantungan di ujung dedaunan, seolah-olah alam baru saja mencuci dirinya. Saat jam menunjukkan pukul setengah enam, hujan mulai mereda, menyisakan embun yang membuat udara pagi terasa lebih segar dan hidup.

"Al? Kondisi kamu udah fit, kan?" Aline bertanya dengan nada yang penuh perhatian, memecah keheningan yang nyaman.

Aku mengangguk perlahan, merasakan bahwa batukku yang sempat mengganggu sudah tak lagi muncul. Tubuhku pun terasa lebih baik setelah meminum obat dari...

Pikiranku mendadak terhenti, memutar kembali kejadian semalam. Ada perasaan aneh yang menyelinap, campuran antara dingin dan perhatian, dua hal yang bertolak belakang namun entah bagaimana menyatu, menciptakan kebingungan dalam hatiku.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ayo, Lin," ajakku sambil menatap Aline yang balas mengangguk.

Kami pun mulai berjalan menuju sekolah. Meskipun hujan telah reda, aku tetap membawa payung lipat dalam ransel—persiapan kecil untuk berjaga-jaga. Langkah demi langkah, kami menyusuri jalan yang masih basah, ditemani pemandangan kota yang mulai hidup dengan aktivitas pagi. Para pedagang di kios-kios pinggir jalan bersiap dengan dagangan mereka, sementara orang-orang yang terburu-buru berangkat kerja mempercepat langkah mereka. Anak-anak dengan seragam sekolah juga terlihat, namun mereka masih sempat bermain di antara waktu yang sempit. Pemandangan pagi ini begitu indah, menawarkan sejumput kebahagiaan sederhana di tengah rutinitas yang berulang.

"Al, aku masih penasaran sama foto anak laki-laki itu," Aline memulai percakapan lagi, Suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu.

Aku menoleh sedikit, mencoba menebak ke mana arah pembicaraan ini akan menuju. "Aneh, nggak sih, Al? Masa tiba-tiba banget almarhumah nenek kamu foto sama anak laki-laki. Padahal cucunya perempuan, dan itu pun cucu tunggal," lanjutnya, semakin dalam menelusuri pikirannya.

Aline tidak berhenti di situ. "Orang tua kamu nggak punya saudara kan? Atau mungkin itu anak dari kakak atau adik ayah ibumu, Al?"

Aku menggeleng. "Setahuku sih enggak, Lin. Ayah dan ibu aku itu sama-sama anak tunggal," jawabku, mencoba menyingkirkan rasa penasaran yang semakin besar.

"Nah, kan, tambah aneh. Duh, aku udah ngerasa kayak detektif aja yang harus mecahin misteri ini," kata Aline dengan semangat yang tampak bercampur dengan keheranan.

Kami terus berjalan, membiarkan topik pembicaraan ini merambat dalam pikiran masing-masing. Pikiran Aline tampaknya tidak berhenti bekerja. "Apa jangan-jangan..." ucapnya dengan nada menggantung, "Bener kataku semalem? Kamu punya sau—"

BIM BIM! Tiba-tiba suara klakson mobil yang keras memotong kalimatnya. Aline menoleh dengan cepat, wajahnya langsung berubah masam ketika kaca mobil di sebelah kami mulai terbuka. Seorang pemuda duduk di dalamnya.

"Mau bareng?" suara yang sudah sangat kukenal, diiringi senyum tipis yang hampir tidak terlihat.

"Heh! Lo bisa nggak sih nggak usah nglakson-nglakson segala. Kalo orang punya penyakit jantung gimana? Lo mau tanggung jawab?" Aline menyemprot pemuda itu dengan nada tinggi. Matanya menyipit penuh emosi, tetapi aku justru menahan tawa. Entah kenapa, pertengkaran kecil mereka selalu berhasil membuatku terhibur.

"Ya gue bantu bawa ke RS nanti," jawab Kafka, pemuda yang selalu memakai earphone di sekolah. Ia turun dari mobil dengan tenang, wajahnya tetap datar seolah tidak terpengaruh.

"Bisa-bisanya ya lo jawab gitu!" Aline semakin berapi-api, suara tingginya memenuhi udara pagi yang seharusnya tenang.

"Ya kan lo nanya," Kafka menanggapi dengan tenang, seolah-olah ini percakapan biasa. Aline, yang sudah memasang wajah merah padam, semakin kesal melihat sikap Kafka yang tak tergoyahkan.

"Gak mau bareng, Al?" Kafka menoleh padaku, mencoba mengalihkan perhatian dari Aline yang nyaris meledak.

Belum sempat aku merespons, Aline sudah lebih dulu menjawab dengan nada tinggi lagi, "Gak usah! Lo lebay banget sih!"

Kafka mengerutkan alisnya, "Kok lebay?"

"Lo buta? Tinggal beberapa langkah lagi kita udah sampe di gerbang sekolah," Aline menegaskan, tangannya menunjuk ke arah gerbang yang mulai terlihat.

"Ya kan masih hampir," Kafka membalas santai, semakin menyulut emosi Aline.

"Heh! Lo tuh ya!" Aline kembali menunjuk Kafka dengan gerakan yang lebih tajam, namun Kafka hanya mengangkat satu alisnya, tetap dengan wajah datarnya yang seolah menantang.

"Udah-udah, ini masih pagi loh," ucapku, mencoba meredakan ketegangan sambil memegang lengan Aline.

"Dia duluan, Al," Aline berkilah, memasang wajah kecutnya.

"Kok gue? Kan gue cuma nawarin tumpangan," Kafka menanggapi lagi, kali ini dengan sedikit anggukan.

Aku menghela napas panjang, jika ini terus dibiarkan, mereka bisa sahut-sahutan sampai bel masuk berbunyi. Jam sudah menunjukkan hampir pukul enam.

"Kita jalan kaki aja, Kaf. Nggak papa, makasih ya atas tawarannya," ujarku dengan nada tenang, mencoba menghentikan debat yang tak berujung ini.

"Nah kan, Lo nggak denger apa yang Alsha bilang, hah!" Aline kembali membentak, kali ini dengan ekspresi yang lebih lega.

"Okay," Kafka mengangguk patuh, berbalik dan masuk kembali ke mobilnya. Dengan satu gerakan yang tenang, dia melanjutkan perjalanan menuju sekolah, meninggalkan jejak tenang yang seolah kontras dengan energi Aline yang meletup-letup.

"Udah, Lin, nanti kalo kamu emosi sepagi ini, cantiknya bisa ilang loh." kataku, berusaha menenangkan Aline yang masih menatap tajam ke arah mobil Kafka yang mulai menjauh.

Aline menghela napas panjang, "Enak aja, aku tetep cantik ya meskipun lagi emosi," katanya, mencoba mengembalikan harga dirinya. Kalimat itu sukses membuatku tertawa, tidak menyangka Aline bisa secepat itu kembali ke mode percaya dirinya.

"Dasar!" Aku mencubit pipinya dengan lembut, membuatnya semakin kesal tapi juga tersenyum.

"Ih Alsha! Apaan sih!" Aline protes, tapi aku tahu dia sudah mulai mereda.

"Yaudah yuk, kita lanjut, nanti kita telat lagi," ajakku lagi. Aline mengangguk, dan kami pun melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih ringan.

Pikiranku masih dipenuhi bayangan tentang foto anak kecil yang misterius itu, meskipun sejenak teralihkan oleh kehadiran Kafka tadi. Pertanyaan demi pertanyaan terus menggelayuti pikiranku, membuat kepalaku terasa berat. Aline, yang berjalan di sampingku, terus bicara dengan semangat, beralih dari satu topik ke topik lain, seolah berusaha menarik perhatianku dari misteri yang mengganggu itu. Tapi tak peduli seberapa keras dia mencoba, pikiranku tetap kembali pada sosok anak laki-laki di dalam foto tersebut. Siapa sebenarnya dia?

Saat kami sudah memasuki gerbang sekolah, suasana yang ramai dan familiar menyambutku. Para siswa berkerumun di mana-mana, seperti biasa, bercengkerama sebelum bel masuk berbunyi. Mataku menyapu seluruh pemandangan itu, mencari ketenangan dalam rutinitas yang ada, tapi tiba-tiba pandanganku tertuju pada parkiran. Di sana, sekelompok siswa tampak berkumpul, dan di tengah mereka, aku melihat Keenan, bersama teman-temannya—Abhi, Nevan, dan Kafka.

Keenan berdiri sedikit terpisah, memperhatikan Abhi dan Nevan yang sedang berbicara dengan semangat. Kafka, seperti biasanya, tampak lebih pendiam, hanya menimpali sesekali sebelum kembali ke sifatnya yang jarang bicara. Aku terpaku, tak sadar bahwa mataku tertuju pada Keenan lebih lama dari yang seharusnya. Kesadaran itu membuatku cepat-cepat mengalihkan pandanganku, berharap mereka, terutama Keenan, tidak menyadari bahwa aku sedang memperhatikan mereka. Aku melanjutkan langkahku bersama Aline, yang tak henti-hentinya berbicara.

Namun, Aline tiba-tiba menghentikan pembicaraannya tentang topik yang biasa. "Eh, Al, gimana rasanya pake kerudung? Sebenernya aku udah lama pengen nanya ini ke kamu." Suaranya mengandung keingintahuan yang tulus, membuatku segera fokus padanya.

Pertanyaan Aline mengejutkanku. Ini bukan sekadar pertanyaan biasa, tapi lebih dari itu—sebuah jendela menuju sesuatu yang lebih dalam. Aku berhenti sejenak, memandangnya dengan penuh perhatian. Wajah Aline yang biasanya ceria kini terlihat serius, menunggu jawabanku dengan penuh antusias.

"Rasanya?" tanyaku, mencoba menggali perasaan yang telah terpendam dalam hati sejak aku memutuskan untuk mengenakan kerudung. Aline mengangguk, menunggu jawabanku dengan mata yang berbinar.

"Tenang dan nyaman. Dan itu semua nggak bisa dideskripsikan lewat kata, cuma bisa dirasakan," jawabku pelan, mencoba menggambarkan kedamaian yang kurasakan.

Reaksi Aline membuatku tertegun. "Aa... Al, aku terharu denger jawaban kamu. Jadi pengen..." ucapnya dengan nada suara yang sedikit bergetar. Mataku membesar, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Namun, ekspresi wajahnya segera berubah, kembali pada kekhawatiran yang sering dia sembunyikan di balik canda tawanya. "Tapi aku takut nggak istiqomah, Al. Nanti malah lepas pasang lagi," lanjutnya, menundukkan kepala, seolah terjebak dalam keraguannya sendiri.

Aku menghela napas panjang, mencoba untuk memberi kekuatan kepada Aline lewat kata-kata ku. Belum aku bicara, tiba-tiba langkah kaki yang mendekat membuat kami berdua terdiam. Seolah dipanggil oleh suara yang tak terlihat, aku dan Aline menoleh bersamaan. Keenan, dengan senyum yang selalu tampak ringan dan menenangkan, sudah berada di hadapan kami bersama dengan Kafka, Abhi, dan Nevan.

"Pagi, Sheena," sapa Keenan, suaranya begitu akrab hingga aku bisa merasakan setiap hurufnya. Panggilan itu menggetarkan hati kecilku, meskipun wajahku tetap berusaha menjaga ketenangan.

Aline yang biasanya penuh semangat tiba-tiba terdiam. Dia menghela napas panjang, mungkin sedikit kecewa karena kehadiran Keenan yang tak terduga ini membuatku tak sempat menjawab pertanyaannya. Tatapan Aline sedikit meredup, meski tak bisa disembunyikan sepenuhnya.

Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan sedikit kegugupan yang muncul karena sapaan akrabnya itu.

Keenan tersenyum lebih lebar, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi memilih menahannya. Sementara Kafka, Abhi, dan Nevan berdiri sedikit di belakang, seakan membiarkan Keenan yang memimpin percakapan ini.

"Baru ngobrol bentar, udah dipotong aja," gumam Aline akhirnya, masih sedikit kesal tapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya.

Abhi, yang selalu ceria, tampak tak menyadari suasana hati Aline. "Ngomongin apa sih, neng? Kok serius amat," tanyanya dengan nada iseng, membuat Kafka melirik Aline sebentar sebelum kembali memasang wajah datarnya.

Aku hanya menggelengkan kepala, berusaha mengalihkan topik. "Enggak kok, kami cuma ngobrol biasa," jawabku sekenanya.

Keenan tampak tidak begitu terpengaruh oleh jawabanku, "Nanti sore ada acara nggak?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Aku berpaling ke arah Aline, mencari dukungan atau sekadar petunjuk, namun dia hanya mengangkat bahunya, seolah tidak peduli. Pandanganku kembali pada Keenan yang masih menunggu jawabanku.

"Nanti sore aku-"

"Nanti sore ada rapat OSIS," potong suara lain yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami. Suara itu terdengar tegas, dingin, dan tidak memberikan ruang untuk perlawanan. Kami semua langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Arshaka, dengan postur tegapnya, berdiri tak jauh dari kami, matanya tajam menusuk, langsung mengunci pandangannya padaku.

Aku menghela napas panjang, merasa tekanan mendadak menyeruak di dadaku. Rapat lagi? Rasanya baru kemarin aku duduk berjam-jam di ruang OSIS, dan kini harus mengulanginya lagi.

Tatapanku berpindah ke Keenan, dan aku bisa melihat kilat kemarahan yang tersirat dalam matanya saat dia menatap Arshaka. Namun, Arshaka tampaknya tidak terpengaruh sedikit pun oleh tatapan tajam Keenan. Dia hanya fokus padaku, tatapannya tak beranjak.

"Map-nya dibawa, kan?" tanyanya, nadanya tetap dingin dan tegas.

Aku mengangguk, berusaha menekan rasa gugup yang tiba-tiba menguasai diriku. Aku tidak ingin mengecewakan perintahnya, apalagi di depan orang lain.

"Sebelum bel masuk, temuin gue di ruang OSIS," tambahnya tanpa menunggu responku. Tanpa berkata lebih lanjut, dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan kami dalam keheningan yang penuh dengan ketidaknyamanan. Tatapan tajam Keenan tetap tertuju padanya, namun Arshaka tampaknya tak peduli, seperti biasa.

"Keenan... Maaf ya," kataku pelan, mencoba untuk meredakan ketegangan yang terasa semakin menyesakkan.

Keenan hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Senyum yang seharusnya membuatku merasa lega, tapi justru menambah beban rasa bersalah dalam diriku. Senyum itu terlalu penuh pengertian, seolah dia menerima segalanya tanpa mengeluh.

Aku berpaling ke Aline, yang segera menangkap isyaratku untuk bergerak menuju kelas. Rasanya aku perlu segera ke ruang OSIS sebelum pikiran-pikiran ini menghantuiku lebih dalam.

"Kami duluan ya," pamitku pada mereka, berusaha terdengar ceria.

"Iya, Neng. Semangat!" seru Abhi, wajahnya dipenuhi dengan senyum lebar yang tulus, membuatku sedikit terhibur. Aku mengangguk ke arahnya sebagai balasan, sementara Kafka dan Nevan hanya memberi anggukan kecil. Keenan? Dia tetap diam, tidak bergerak sedikit pun. Matanya terus mengawasiku, menatap tanpa henti hingga aku dan Aline benar-benar menghilang dari pandangan mereka.

Sepertinya hari ini pikiranku terlalu penuh. Bayangan kejadian semalam terus menghantui, foto anak kecil itu, gelang pemberian Rey, obat yang diberikan Arshaka, dan sekarang, Keenan... Aku menghela napas panjang lagi, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk tetap fokus pada hari yang tampaknya akan menjadi salah satu hari terpanjang dalam hidupku.

Ketika sampai di kelas, aku melepaskan ransel dari punggung dan menaruhnya di atas meja. Segera, tanganku meraih map yang sudah kusiapkan semalam. Matanya Aline mengawasi setiap gerakanku, seolah menunggu sesuatu.

"Salam ya, Al, buat si ganteng," ucap Aline dengan nada menggoda.

Aku hanya mendengus pelan. Andai dia tahu bagaimana 'si gantengnya' itu kini lebih mirip es batu yang dingin dan galak. Aku memutuskan untuk tidak menanggapi ucapannya. Setelah memastikan map di tanganku, aku segera keluar kelas tanpa berkata apa-apa lagi.

Langkahku cepat saat melewati kelas XI IPA 1, yang berada tepat di sebelah kelasku. Tapi, tiba-tiba aku berhenti ketika melihat sosok Rey keluar dari kelas tersebut. Senyumnya yang hangat langsung menyapa mataku, dan seketika aku teringat soal gelang yang ia berikan kemarin. Aku harus berterima kasih padanya, pikirku.

Namun sebelum aku sempat membuka mulut, Rey sudah mendahuluiku.

"Hey, Al," sapanya dengan senyuman khasnya, seolah-olah kehadiranku adalah hal terbaik yang terjadi padanya hari ini.

Aku tersenyum kembali, berusaha menyusun kata-kata untuk mengucapkan terima kasih--

"Al? Ini sarapan buat lo, dari bunda," katanya tiba-tiba, menyodorkan sekotak nasi di depanku. Senyum di wajahnya tidak pudar sedikit pun, sementara tanganku secara otomatis menerima kotak nasi tersebut.

Perutku memang kosong, belum terisi apa-apa sejak pagi, tapi itu bukan yang ingin aku bicarakan sekarang. Gelang itu... Aku harus membicarakan soal itu, tapi Rey sepertinya sudah memutuskan hal lain.

"Ayo duduk dulu, sarapan. Gue temenin," ucapnya dengan nada santai, lalu tanpa menunggu jawaban dariku, dia mulai berjalan menuju kantin. Aku terpaksa mengikuti langkahnya, map yang masih kupegang erat di tanganku kini terasa semakin berat.

Langkah-langkah kami berdua terdengar di sepanjang koridor sekolah yang masih lengang. Dalam pikiranku, rasa ingin berterima kasih terus mendesak, namun saat Rey mengajakku duduk di salah satu meja di kantin, aku terlanjur larut dalam suasana. Sejenak aku lupa tujuan awal yang membawa map ini bersamaku.

Tak sadar, dalam kehangatan momen singkat ini, aku telah membuat seseorang menunggu dengan marah besar, sebuah kemarahan yang akan memicu sesuatu yang lebih besar di masa depan.

"Kita duduk di sini, Al," ucap Rey dengan suara lembut. Aku mengikutinya ke sebuah meja di sudut kantin sekolah, tempat yang cukup tenang, jauh dari keramaian. Rey, menata kursi dengan gerakan yang cekatan, menatapku sejenak, memastikan aku merasa nyaman sebelum mengisyaratkan untuk duduk.

Aku baru saja duduk, dan belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Rey sudah membuka kotak nasi yang ia bawa. Bau harum nasi hangat segera menyeruak, membuat perutku yang sejak pagi kosong menggerutu lembut.

"Ini, Al, sarapan dulu. Kamu masih dalam masa pemulihan, kan?" ucap Rey sambil menyodorkan kotak nasi itu ke arahku, suaranya terdengar penuh perhatian.

Aku mengangguk, membenarkan ucapannya. Dua bulan sejak kecelakaan itu, tubuhku masih belum sepenuhnya pulih. Tanpa ragu, aku meraih kotak nasi yang dia tawarkan, lalu mulai makan dengan harapan segera menyelesaikan makananku dan mengucapkan terima kasih. Rey berdiri sejenak, membuatku sedikit bingung.

"Gue mau beli air minum dulu," katanya, sebelum melangkah ke arah Bu Kantin dengan langkah yang mantap. Aku mengikutinya dengan tatapan, merasa heran sekaligus tersentuh oleh perhatiannya.

Tak lama kemudian, Rey kembali dengan sebotol air mineral di tangannya. Saat dia mendekat, ada cahaya lembut di matanya, yang membuatku semakin menyadari betapa baiknya dia.

Ketika aku mulai makan, Rey duduk di seberangku, memperhatikan setiap gerakanku dengan senyum tipis di bibirnya. Tatapannya yang hangat dan penuh perhatian membuat jantungku sedikit berdebar.

"Rey, kamu kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" tanyaku, mencoba meredakan kegugupan yang mulai merayapi.

Dia hanya menggeleng sambil tersenyum, menampakkan seulas senyum yang bisa meluruhkan kekhawatiran siapa pun. "Lo lucu kalo lagi makan," jawab Rey, suaranya terdengar ringan, hampir seperti bisikan yang ditujukan hanya untukku.

Aku mengangkat kedua alisku, bingung dan sedikit heran. Lucu? Apa yang lucu dari cara makanku?

"Lanjutin aja, Al, makannya. Aku nggak bakal liatin kamu kok," tambahnya sambil terkekeh pelan. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya, seolah ingin memberiku ruang, tapi aku tahu dia masih mencuri pandang ke arahku dari waktu ke waktu. Meski begitu, aku berusaha fokus untuk menyelesaikan makananku.

Begitu selesai, aku meraih botol air di meja. Namun, sebelum sempat membukanya, Rey sudah lebih dulu mengambilnya. Dengan cekatan, ia membuka tutupnya dan segera menyerahkannya padaku sambil tersenyum.

"Gue bukain," ucapnya singkat.

"Makasih, Rey," kataku dengan tulus, merasakan kehangatan di dalam dadaku yang sulit dijelaskan.

Dia hanya mengangguk pelan, dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. Senyuman yang hangat, yang seolah tidak pernah pudar, memancarkan keramahan yang tulus. Melihatnya, aku semakin menyadari betapa ramah dan perhatian anak ini.

Aku punya sebutan baru untuknya. Rey, laki-laki pemilik wajah teduh. Karena dia selalu mampu membuat orang lain merasa nyaman di sekitarnya.

Saat hendak meneguk air dari botol, tiba-tiba sesuatu menyenggol lenganku. Seketika, air tumpah mengenai map di sebelahku. Terkejut, aku langsung berdiri, dengan cepat meraih map yang mulai basah. Tanganku mengibas-ngibas map itu, berusaha menghentikan air yang merembes semakin dalam. Ini map kertas, bukan plastik.

"Eh, sorry, gue sengaja," sebuah suara muncul begitu saja di belakangku.

Aku menoleh, mendapati Clara dengan wajah tanpa dosa. Sebelum aku bisa bereaksi, Rey sudah lebih dulu membentaknya. "Heh, Clara! Apa-apaan sih lo!"

Tanpa bicara, Clara berbalik dan pergi, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Rey tampak hendak mengejarnya, tapi aku segera menahannya. "Rey, udah," ucapku singkat, tak ingin memperpanjang masalah.

Sementara Rey masih menatap tajam ke arah Clara yang menjauh, aku kembali fokus pada map di tanganku. Membuka isinya, aku mendapati beberapa kertas sudah basah dan tulisannya mulai mengabur. Rey, dengan cepat, membantu mengeringkan sisa kertas yang bisa diselamatkan, suasana mendadak hening saat kami sibuk berusaha mengatasi kerusakan yang terjadi.

Ketika kami berdua masih sibuk mengeringkan kertas-kertas itu, tiba-tiba suara yang tidak asing muncul, menusuk keheningan.

"Gue udah nungguin lebih dari setengah jam, dan lo malah asyik berduaan di sini," suara tegas itu bergema di antara kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. Kami berdua menoleh, dan di sana, berdiri Arshaka dengan tatapan tajam yang langsung mengunci pandanganku.

Rey, dengan sigap, segera menanggapi, "Gue yang ngajak Alsha buat sarapan dulu." Suaranya berusaha tetap tenang, tapi aku bisa merasakan ada kekhawatiran di baliknya.

Arshaka tidak membiarkan jawaban itu menggantung lama. "Sarapan apa yang bisa ngabisin waktu selama ini?" suaranya memotong dengan nada yang tajam. Sebelum Rey sempat merespons, perhatian Arshaka sudah tertuju pada map yang ada di tanganku, yang kini basah kuyup.

Aku melihat kemarahan yang membara di wajahnya, kulitnya memerah, dan kedua tangannya mengepal erat, seakan menahan amarah yang siap meledak.

"A-aku…" aku mencoba menjelaskan, tapi kata-kataku terhenti ketika Arshaka dengan cepat memotongnya. "Lo gak bisa diandelin ya!" Bentakannya membuatku gemetar, tanganku yang memegang map terasa bergetar saat dia merampasnya dari tanganku. Mata Arshaka semakin membara ketika ia melihat keadaan map itu, basah dan penuh dengan kertas yang hampir rusak.

"Kenapa bisa basah gini? Lo kira ini gak penting? Gue udah semaleman gak tidur buat program ini, dan lo gak bisa ngejaganya? Lo niat gak sih jadi sekretaris OSIS!" Bentakannya meledak, menghujam seperti pisau tajam yang menusuk langsung ke jantungku. Aku tak mampu menahan air mataku lagi, mereka tumpah begitu saja. Sikap dinginnya yang biasanya sudah cukup membuatku gemetar, kini ditambah dengan kemarahannya yang meledak-ledak, aku benar-benar merasa kecil dan tak berdaya.

Rey, yang sejak tadi berdiri di sisiku, langsung maju ke depan, membentengi aku dari Arshaka. "Shak! Lo gak bisa ngomong baik-baik ya!" Bentakan Rey tak kalah keras, tapi penuh dengan kemarahan yang berusaha melindungi.

Arshaka tak terima, dia berteriak, "Diem lo! Gak usah ikut campur!" Suaranya menggelegar, namun Rey tidak mundur sedikit pun.

"Kalo gue gak mau diem, lo mau apa?" tantang Rey, tak gentar sedikit pun.

Mata mereka bertemu dalam tatapan tajam, seperti dua pejuang yang siap bertempur. "Lo suka sama dia?" Arshaka akhirnya berbicara, suaranya merendah namun penuh dengan tuduhan yang tajam. Aku yang mendengarnya hanya bisa terdiam, entah kenapa hatiku tersayat mendengar kalimat itu.

Rey dengan tiba-tiba mendorong Arshaka, membuatnya mundur selangkah. "Lo kenapa sih, Shak? Semenjak lo deket sama Clara, lo banyak berubah! Lo sering bentak Alsha dengan alasan gak jelas!" Suara Rey meninggi, emosinya tak lagi tertahan.

Aku tersentak mendengar itu. Deket sama Clara?

Arshaka balas dengan suara penuh kemarahan, "Gak usah bawa-bawa Clara!" Dengan gerakan yang kasar, dia berbalik, bersiap untuk meninggalkan kami. Namun, langkahnya terhenti oleh teriakan Rey yang penuh amarah.

"Kalo penyebab map basah itu Clara, apa lo masih mau nerima!" Suara Rey bergema di ruang kantin itu, membuat Arshaka berhenti seketika. Dia tak menoleh, tapi tubuhnya tampak menegang.

Rey mendekati Arshaka, berdiri tepat di depannya lagi. "Kenapa? Lo kaget kalo penyebab semua ini Clara?" Suara Rey dipenuhi dengan keberanian, namun di balik itu ada luka yang dalam, dan aku bisa melihat kedua tangan Arshaka kembali mengepal erat, map itu diremas kuat-kuat hingga sedikit kusut.

Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Mereka itu bersaudara, dan melihat mereka bertengkar seperti ini karena aku adalah sesuatu yang tak bisa kuterima. Dengan cepat, aku menyeka air mataku, berusaha menenangkan diriku.

"Rey, udah," ucapku pelan namun tegas, mencoba meredakan api yang berkobar. Rey menoleh ke arahku, dan aku hanya menatapnya, memohon dengan mataku agar dia berhenti. Aku tidak berani menatap Arshaka.

Kemudian, dengan suara pelan namun penuh tekad, aku berkata, "Nanti pas istirahat, aku akan ke lab komputer buat ngetik ulang program itu." Aku tidak memandang Arshaka saat mengatakannya, tapi aku merasakan beratnya kata-kata itu. Aku menyodorkan tanganku, meminta map itu kembali. Pandanganku tetap menunduk, dan aku bisa melihat dari sudut mataku, tangan Arshaka yang semula mengepal perlahan terbuka. Dengan enggan, dia menyerahkan map itu padaku, lalu pergi meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun.

Aku menghela napas panjang, berusaha menahan tangis yang kembali mengancam untuk tumpah.

Dengan menatap punggung Arshaka yang semakin menjauh, untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa asing dengannya. Dulu, meskipun dia dingin, aku selalu bisa merasakan kebaikan di balik sikapnya yang keras. Tapi sekarang, aku tidak bisa lagi mengenalinya lagi. Arshaka yang dulu aku kenal, yang meskipun kaku tetap peduli, kini berubah menjadi seseorang yang berbeda—lebih tajam, lebih menyakitkan.

Aku tidak tahu kenapa perubahan itu terjadi, tapi yang pasti, dia sekarang bukan lagi Arshaka yang sama.

...BERSAMBUNG...

#alshameyzea

#alsha

#keenan

#aboutme

#fiksiremaja

#arshaka

#rey

⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆

Assalamualaikum guys!! Bantu support yaa dengan follow, vote, dan komen di setiap bab nya!! Makasiiii!🌷💖

Mari kepoin cerita kami juga di ig: @_flowvtry @febbyantii._

Salam kenal dan selamat membacaa. Semoga betah sampai akhir kisah Alsha! Aamiin.💖

Komen sebanyak-banyaknya disini 👉🏻 👉🏻 👉🏻

Eh? Kalian mau kasih saran dan kritikan? Boleh banget, disini yaaa👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻

Thanks udah mau bacaa bab iniii sampe akhir💐

1
Sodiri Dirin
jujursi ceritanya bikin binggung tp bagus 🤔
_flowvtry: Makasii kaaa🥹🥹🥹🌷
total 1 replies
Sodiri Dirin
up tor jangan lama2,,sejujurnya aku ngrasa binggung sama ceritanya kaya GK nyambung lompat2 GK jelas tp seneng aja bacanya 🤗
_flowvtry: makasii kaaa, update terbaru ada di aplikasi wp kaa🙏🏻😭
total 1 replies
lilyflwrsss_
kerennnn bangett, alurnya bener-bener ga ketebak.
jd pengen baca terus menerus.
ditunggu updatenya kaak
_flowvtry: makasiiii kaaaa huhuu🥹🥹❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!