Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 33
"Lho, kok gitu jawabannya."
"Lalu?"
"Ya harusnya, agak dikit ada yang ... gimana gitu lho. Aku udah berusaha keras ini."
"Apaan sih?"
Keduanya malah bicara panjang lebar, tapi tidak ada artinya. Namun, karena obrolan itu mereka terlihat sangat dekat. Dekat seperti orang yang sudah saling kenal sejak lama. Bahkan, keduanya malah membahas ulang prihal masalah apa yang baru saja membuat Lula menangis sekarang.
"Jadi, kamu menangis karena cowok ya?"
"Iya. Semua pria itu sama saja, tahu gak? semuanya gak punya hati. Benar kata mbak Zura, para lelaki tidak boleh didekati. Cinta tak boleh dimiliki dalan hati. Karena cinta itu menyakitkan."
"Eh ... kok ngomongnya malah gitu sih? Salah itu, nona. Ganti lagi kata-katanya. Karena tidak semua cowok yang begitu, tahu? Lalu, cinta itu bikin bahagia. Membuat hidup penuh warna. Dan-- "
"Sst! Diam deh. Emang situ pernah jatuh cinta sebelumnya, hm? Jika pernah, pasti belum pernah ngerasa yang namanya patah hati, bukan? Karena yang pernah ngerasa pasti ngomongnya akan beda dari yang baru saja kamu katakan."
"Pernah tidak?"
Adya terdiam sesaat sambil menatap wajah Lula. Lalu, gelengan pelan ia perlihatkan.
"Ya. Aku memang belum pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta. Tapi -- "
"Kalau belum pernah, tolong jangan ngomong. Jadinya ngga enak banget kalo harus ngebahas hal yang belum pernah dirasain tapi malah seolah sudah pernah merasakan. Rasanya, hambar."
Adya langsung menarik napas dalam-dalam, kemudian membuangnya secara kasar.
"Iya tahu, nona. Tapi jangan bilang semua cowok itu sama saja juga dong. Karena ngga semua lho yang bersikap begitu. Buktinya saja, aku."
"Hei! Kamu aja belum pernah jatuh cinta tuh. Gimana bisa ngaku ngga sama kek pria-pria yang lainnya?"
"Emang gak sama kok."
Lagi-lagi, Adya dan Lula malah berdebat bebas. Mereka kembali memperdebatkan hal yang sama sekali tidak penting untuk mereka bahas. Perdebatan demi perdebatan akhirnya menyingung soal kehidupan Zura yang tiba-tiba membuat Adya langsung terdiam sambil memasang wajah sangat serius.
"Kalau boleh aku tahu, kamu ... kenal nona Zura sudah seberapa lama, Lula?"
Pertanyaan dengan wajah serius itu membuat membuat Lula juga langsung memasang wajah serius yang sama dengan Adya. Satu alisnya ia naikkan karena pertanyaan yang baru saja Adya lontarkan.
"Hampir tiga tahun. Kenapa?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin tahu saja."
"Ternyata, nona Zura meninggalkan tanah air sejak kejadian itu."
"Ya. Kejadian yang sangat menyakitkan hati mbak Zura. Tuan muda mu itu benar-benar tidak punya hati, tidak punya perasaan, tidak punya pikiran. Dan tidak lama lagi, mungkin tidak punya nyawa."
"Astaga! Apa yang kamu katakan? Bibir mu itu sungguh sangat tipis sekali saat mengutuk orang ternyata ya?"
"Biar saja. Habisnya, tuan muda mu itu memang sangat amat jahat. Masa dia tega menceraikan mbak Zura di depan semua saksi dari pernikahan mereka. Benar-benar manusia yang tidak punya hati dia itu. Huh!"
Adya terdiam. Kemarahan Lula itu memang sangat wajar juga. Bagaimana tidak? Angga bersikap sesuka hati tanpa berpikir ulang. Masa iya belum genap satu menit menikah sudah memilih langsung menceraikan orang yang baru ia nikahi. Memang benar dia tidak punya hati.
Namun, Adya cukup tahu bagaimana posisi tuan mudanya. Seperti apa perasaan Angga waktu itu dan apa penyebabnya. Karena itu, rasa marah untuk Angga tidak mungkin dia timbulkan dalam hatinya.
"Anu, Lula. Bagaimana jika apa yang terlihat itu tidak sama dengan apa yang terjadi? Maksudku, bagaimana kalau kita tidak tahu seperti apa posisi mereka yang berlawanan dengan kita. Contohnya, posisi tuan mudaku saat itu. Tidak ada yang tahu, bukan?"
Tatapan tajam Lula berikan setelah mendengar perkataan Adya barusan. Mendadak ia merasa kesal saat mendengar ucapan yang berbentuk pembelaan meski tidak secara langsung terucap itu.
"Apaan sih kamu? Mau bela tuan muda mu itu? Ish! Membela yang berbuat salah. Sungguh tidak punya hati."
"Tapi, wajar sih kamu bela. Karena dia adalah bos kamu. Bos yang ngasi kamu kerjaan."
"Tapi tolong juga pertimbangkan suasana jika ingin membela. Jangan jadi orang jahat hanya karena ingin membela orang terdekat kita."
Adya langsung mendengus kasar. Baru juga ingin membuat pandangan yang berbeda pada Lula, eh ... wanita itu malah langsung ngerocos tanpa memberikan dirinya celah untuk menyangkal.
"Nona Lula .... Tolong dong berikan aku sedikit kesempatan untuk bicara. Niat aku murni bukan untuk membela. Tapi, hanya berusaha memberikan pandangan yang berbeda. Karena sebenarnya, apa yang terjadi pada pernikahan tuan muda dan nona Zura itu adalah sebuah kesalahan. Salah paham yang diakibatkan oleh seseorang yang berhati jahat."
"Dan yang berhati jahat itu tak lain adalah, tuan muda mu sendiri. Tega banget jadi orang. Gak punya hati dan perasaan."
"Yaelah .... "
"Ya udah deh, jangan bahas soal tuan muda atau nona Zura lagi. Gak tahu apa kalau aku baru aja patah hati. Orang yang patah hati malah diajak ngebahas soal orang lain yang bernasib sama. Kan ngga enak," kata Lula dengan wajah kesal.
Keduanya kembali membahas hal-hal ringan dari sebuah hubungan. Cukup baik kedekatan mereka sekarang. Meski terus tercipta perdebatan jika mengutarakan pendapat, tapi keduanya cukup terlihat sangat akrab saat ini.
Di sisi lain, Zura di temui oleh salah satu pengawal saat dia terlihat sedang duduk sendirian di dalam ruangan utama. Pengawal itu sudah mengawasi Zura sejak tadi hanya untuk menyampaikan titipan dari Angga.
"Maaf, nona. Saya ganggu waktu nona sekarang."
"Ya. Gak papa. Ada masalah apa memangnya?"
"Pria tadi memberikan saya sebuah cincin berlian. Katanya, ini titipan yang kakeknya ingin sampaikan pada nona."
Tatapan mata Zura terfokus pada cincin yang masih berada di tangan si pengawal. Berat tangannya untuk menerima. Namun, wajah kakek Angga langsung terbayang di ingatan. Senyum pria tua itu membuatnya merasa sangat sedih.
Zura menerima cincin tersebut dengan mata yang berkaca-kaca. Ingatan Zura kembali berkelana ke masa lalu. Cincin itu membuat pikirannya langsung mundur ke saat di mana ia sedang bersama kakek Angga.
Saat itu, kunjungan Zura pada waktu sore atas undangan si kakek. Setelah mengobrol sebentar, kakek Angga langsung mengeluarkan sebuah kotak kecil dalam saku bajunya.
"Zu. Lihatlah cincin kawin ini. Ini cincin kawin model jadul yang sampai saat ini masih terlihat sangat cantik lagi, bukan?"
"Iya, kek. Cincinnya masih sangat cantik. Beneran model jadul itu?"
"Iyalah. Ini cincin nikahan kakek sama nenek zaman dulu lho, nak. Sebenarnya kakek wasiatkan pada papanya Angga. Tapi, papanya Angga menolak untuk menerima. Katanya, dia tidak ingin merusak kenangan kakek."
"Aish. Tentu saja itu hanya alasan dari anakku. Karena mungkin, dia sudah tahu kalau jalan hidup dari pernikahannya dengan mama Angga akan berakhir jadi buruk seperti ini," ucap si kakek lagi dengan raut wajah yang sangat sedih.