NovelToon NovelToon
Renjana Senja Kala

Renjana Senja Kala

Status: tamat
Genre:Romantis / Contest / Romansa / Tamat
Popularitas:19.3M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SEGERA TERBIT CETAK

"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".

***

Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.

Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.

Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.

Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32. Loen, Gata, Jih

Loen, Gata, Jih

(Aku, kamu, dia -bahasa Aceh-)

***

Medan

Kinanti

Ia sedang menikmati sarapan di kamar hotel. Sebelum nantinya beranjak menuju ke ballroom. Menghadiri sekaligus menjadi salah satu speaker dalam Seminar medical and surgical refraction (kesehatan dan operasi mata bias). Ketika ponselnya bergetar tanda panggilan masuk.

Dara Calling.

Keningnya mengernyit saat melihat nama yang tertera di dalam layar ponsel. Tak langsung mengangkat panggilan.

Sejak berpisah dengan Mas Tama, ia hampir tak pernah berkomunikasi dengan keluarga besar mantan suaminya itu. Terlebih setelah Mas Tama dipindah tugaskan ke Jakarta. Intensitas komunikasi mereka berdua semakin berkurang. Hanya sesekali. Itupun kesemuanya membahas tentang Reka.

Dara Calling.

Ini menjadi panggilan kedua. Setelah sebelumnya sempat terputus karena ia tak kunjung merespon.

"Halo?" Sapanya dengan kening yang semakin mengerut. "Dara?"

Dara hanya mengatakan sebaris kalimat singkat. Namun berhasil menceloskan hatinya hingga ke palung laut terdalam.

Dengan langkah tergesa yang terasa melayang di udara, ia berusaha meraih remote televisi. Tangannya bahkan gemetaran saat berusaha mencari channel yang masih menayangkan berita pagi.

"Berita duka kembali datang dari korps Bhayangkara. Mantan Wakapolri Komjen (purnawirawan) Setyo Yuwono, meninggal dunia dini hari tadi di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta."

"Saat ini jenazah masih berada di rumah duka. Sebelum nantinya akan disemayamkan di gedung PTIK untuk menerima penghormatan terakhir."

"Iya benar, dini hari tadi beliau meninggal. Ini rencananya mau ke rumah duka," ujar seorang pria yang diwawancara. Dengan tulisan Kadiv Humas Polri di bagian bawah namanya.

Ia bahkan harus berdiam diri sejenak. Memejamkan mata. Merasakan aroma kehilangan yang menguar tajam. Tak bisa dinafikkan.

Papa Setyo. Ayah mertua yang tak banyak bicara. Tak pernah ikut campur dalam drama kehidupan rumah tangganya dengan Mas Tama. Namun ia tahu betul, jika papa sangat kecewa dengan keputusan berpisah yang mereka ambil.

"Bu Debora?" Ia segera menghubungi contact personnya dalam seminar.

"Saya bisa mengajukan perpindahan sesi? Ada hal penting dan mendesak yang harus diselesaikan," ujarnya dengan suara gemetaran.

***

Surabaya

Reka

Ia dan teman-teman sekelas sedang mengerjakan soal latihan tentang persamaan linier. Ketika Waka Kesiswaan datang dan mengetuk pintu kelas. Kemudian berbincang dengan guru Matematika.

"Reka," panggil Pak Khumaedi, guru Matematikanya. "Bereskan buku kamu dan ikuti Pak Giandi."

Pak Giandi langsung meraih bahunya. Lalu bertanya dengan suara pelan, "Kapan terakhir kali ketemu sama mbah kung (kakek)?"

Ia terdiam untuk berpikir. Rumah mbah kung sebenarnya berjarak tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi mereka jarang bertemu. Selain karena mama hampir tak pernah mengajaknya berkunjung ke rumah mbah kung. Juga karena mbah kung sudah memiliki keluarga baru. Yang sepertinya tak terlalu cocok dengan mama.

Ia hampir saja memberi jawaban. Tapi keburu Pak Giandi menepuk bahunya, "Yang tabah ya."

Ia mengernyit tak mengerti. Terlebih ketika Pak Giandi membimbingnya untuk memasuki ruang kepala sekolah. Di mana Pakde Pram telah menunggu.

Ia hanya berdiri mematung. Memperhatikan Pakde Pram yang sedang berbincang dengan kepala sekolah dan beberapa orang guru lainnya. Sebelum akhirnya Pakde Pram pamit undur diri. Kemudian meraih dan merangkul bahunya.

"Ada apa, Pakde?" tanyanya tak mengerti.

"Bunda kamu nyuruh Pakde jemput kamu."

Ia mengernyit, "Kenapa dijemput? Bukannya bunda lagi ke Medan sampai besok?"

Pakde Pram tersenyum, "Bunda kamu pulang lebih awal. Nanti sore mungkin sudah di rumah."

Ia masih ingin bertanya. Tapi urung. Sebab keburu terdengar suara pengumuman. Menggema dengan lantang dari speaker yang tersebar di hampir seluruh penjuru sekolah.

"Mohon perhatiannya untuk seluruh civitas SMP Negeri ...."

"Telah berpulang ke Rahmatullah, bapak Komjen (purnawirawan) Setyo Yuwono. Kakek dari ananda Gemintang Rekata Yuda, siswa kelas 7F. Pada dini hari tadi di Jakarta."

"Kepala sekolah beserta seluruh dewan guru, mengucapkan bela sungkawa yang sebesar-besarnya. Semoga ...."

Ia mengembuskan napas panjang. Begitu menyadari jika yang meninggal ternyata akung Setyo Jakarta. Bukan mbah kungnya yang sama-sama tinggal di Surabaya.

Ia membiarkan Pakde Pram merangkul pundaknya selama berjalan menuju ke tempat parkir. Sebab ia sendiri sedang sibuk mengingat-ingat, kapan kali terakhir bertemu dengan akung Setyo.

Bahkan sampai duduk di dalam mobil, ia masih belum bisa mengingat, momen terakhir kebersamaannya dengan akung Setyo.

***

Jakarta

Tama

Ia memandangi mama yang telah terlelap. Wajah cantik mama terlihat begitu letih, pucat, lesi, pudar.

Mungkin karena saking lelahnya. Sejak semalam belum sempat tertidur. Dan seharian ini sibuk menerima tamu. Yang terus berdatangan ke rumah tanpa henti. Ingin mengucapkan bela sungkawa atas kepergian papa.

"Mama udah tidur?" Kepala Sada tiba-tiba menyembul dari balik pintu.

Ia mengangguk.

"Giliran," ujar Sada yang telah beranjak masuk ke dalam kamar.

Ia tak menjawab. Karena sedang menyelimuti tubuh mama. Sekaligus memastikan nyala AC telah berada di suhu yang tepat.

"Masih banyak tamu?" tanyanya sambil meregangkan badan yang terasa kaku.

"Masih," Sada mengangguk. "Tapi udah ada Om sama Tante banyakan di luar."

"Tidur sana. Mama biar aku yang jaga," lanjut Sada sambil mendudukkan diri di atas karpet. Menyandarkan punggung ke sisi tempat tidur yang didiami mama.

Ia beranjak keluar kamar tanpa menjawab.

"Tam!"

Baru juga menutup pintu kamar. Seseorang telah memanggil namanya.

"Acara nanti sore gimana?" tanya Om Baldan ingin tahu.

Akhirnya ia ikut duduk di ruang tengah. Membicarakan tentang teknis acara doa bersama dengan Pakde dan Om.

Namun di tengah perbincangan, ia melihat Cakra yang kebetulan melintas.

"Cakra!" panggilnya cepat.

"Iya, Mas?" Cakra berjalan mendekat.

"Sini," ia meminta Cakra untuk membantu menghandle beberapa tugas.

"Oya, lupa," seloroh Om Laksmana. "Ada suaminya Anja kan bisa diandalkan."

"Ya sudah, ini biar dipegang sama suaminya Anja," Om Baldan menyetujui. "Sana kamu tidur dulu. Jenderal juga perlu tidur."

Ia mengangguk dengan kepala pening.

"Kalau ada tamu tolong temui," ujarnya ke arah Cakra sebelum beranjak. "Aku ke belakang dulu."

"Baik, Mas," Cakra mengangguk.

Ia sebenarnya ingin langsung naik ke lantai atas. Tapi menyempatkan diri untuk berbelok ke kamar Anja.

"Lagi apa bayi?" Sapanya sambil melongokkan kepala dari balik pintu.

Anja terlihat sedang duduk di atas tempat tidur. Sembari mengobrol dengan Dara. Sementara Aran bermain dan berceloteh sendiri dengan riangnya.

"Aman? Udah ada pawangnya?" Ia mencoba berseloroh meski dengan rahang kaku.

Dara melempar senyum sambil mengacungkan jempol. Sementara Anja yang wajahnya sembab dengan mata bengkak sebesar bola bekel hanya meringis ke arahnya.

"Mas?" Sapa Dipa ketika ia menutup pintu kamar Anja. Sepertinya ikut sibuk menemani Om Hartadi menemui para tamu.

Ia mengangguk sambil menepuk bahu Dipa, "Makasih, Dip."

Dipa balas mengangguk dengan sopan.

Ia sudah hampir melangkah menuju tangga. Namun urung demi melihat Mang Jaja melintas di atas rerumputan hijau halaman belakang.

Hm, mengisap rokok barang sebatang sepertinya bisa membantu melemaskan otot dan pikiran yang tegang.

"Ada perlu apa, Den?" Sapa Mang Jaja begitu melihatnya muncul di halaman belakang.

Ia menggeleng, "Mau ngerokok."

Mang Jaja mengangguk mengerti. Kemudian berjalan menjauh. Memberinya ruang untuk sendiri.

Ia mulai menyalakan rokok. Mengisap dalam-dalam. Lalu mengembuskannya perlahan.

Begitu terus berulangkali. Membuat udara di sekelilingnya dipenuhi oleh kepulan asap putih.

Sembari memperhatikan sederet tanaman buah yang memenuhi halaman belakang. Hasil kegiatan berkebun papa yang tumbuh subur. Berhasil mengubah suasana halaman belakang yang awalnya gersang menjadi lebih rimbun dan sejuk.

Namun hijaunya dedaunan dan buah-buahan hampir matang yang bergelantungan di atas pohon. Tak mampu memupus ingatannya dari kejadian semalam. Saat perawat melepaskan alat bantu kehidupan dari tubuh papa.

Ia mengembuskan napas panjang dan berat. Tapi sejurus kemudian justru terbatuk akibat asap rokoknya sendiri.

Entah berapa lama ia terbatuk. Sampai tenggorokannya terasa kering dan sakit.

Belum juga batuknya bisa berhenti. Ia justru menangkap suara orang lain yang juga sedang terbatuk-batuk.

Membuatnya heran sekaligus terkejut. Saat menyadari ternyata ada orang selain dirinya di halaman belakang.

***

Pocut

Ia sedang membuat kuah kaldu di dapur belakang. Ketika mendengar suara Mang Jaja menyapa seseorang.

"Mau ngerokok."

Jawaban singkat yang berhasil membuat keningnya mengerut. Sementara sudut matanya menangkap bayangan tubuh Tama sedang berjalan memasuki halaman belakang.

Meski merasa gugup, ia terus saja memasak. Memotong ayam yang telah direbus sebelumnya. Meniriskan telur. Lalu menghaluskan bawang merah, bawang putih dan merica.

Namun asap rokok yang semakin pekat, lambat laun mulai terbawa angin, kemudian berhembus ke arahnya.

Ia yang memiliki alergi terhadap udara kotor (asap rokok, asap knalpot, asap pembakaran sampah), langsung menutup hidung.

Tapi suara batuk Tama yang cukup keras berhasil mengejutkannya. Sementara ia tak sanggup lagi terus menerus menutup hidung. Alhasil ia ikut terbatuk bersama Tama.

"Kirain nggak ada orang," Tama tersenyum sambil berjalan mendekat.

Dan ini justru membuat batuknya kian parah. Sulit untuk dihentikan.

"Gara-gara rokok?" Tama mengernyit ke arahnya.

Ia yang masih terbatuk hanya bisa mengangguk-angguk.

Tanpa berkata Tama langsung membuang batang rokok yang masih panjang ke bawah. Lalu menginjaknya.

"Maaf," ujar Tama.

Ia masih menyelesaikan batuk terakhirnya sebelum menjawab dengan anggukan.

Kini ia tak lagi terbatuk-batuk. Tapi sebagai gantinya harus berusaha keras mengabaikan Tama. Yang jelas-jelas memperhatikan setiap gerik tubuhnya.

Ia menumis bumbu halus sambil menelan ludah berkali-kali. Begitu tercium bau harum, dimasukkannya ayam yang telah dipotong-potong. Menyusul garam, gula, kecap asin, kecap manis, saus tiram, minyak wijen, dan air secukupnya.

Entahlah, ia merasa terpenjara dalam diam. Seolah sedang memasak dengan kekuatan super menggunakan sepuluh tangan sekaligus. Namun di bawah pengawasan tajam seseorang.

Ia sedang memasukkan telur rebus ketika Tama berdehem.

"Kenapa masak? Kan ada catering?"

Ia menelan ludah sebelum menjawab dengan suara tak jelas, "Anjani bilang, bu Niar suka makan nasi tim. Jadi saya ...."

"Oya, mama memang suka nasi tim," sahut Tama cepat sebelum dirinya berhasil menyelesaikan kalimat.

"Tapi kenapa kamu yang masak? Bi Enok mana?"

Ia kembali menelan ludah usai mencicipi bumbu. Apakah sudah meresap atau belum.

"Bi Enok banyak yang harus dikerjakan. Mumpung saya bisa membantu ...."

Kini ia tengah menyiapkan mangkuk tahan panas untuk wadah nasi tim. Mengolesinya dengan sedikit minyak. Lalu mulai memasukkan tumisan ayam kecap dan telur rebus yang sudah dibelah dua.

"Lapar juga," gumam Tama sambil berjalan menaiki lantai dapur. "Mau dong. Udah matang kan?"

Ia menggeleng, "Belum. Harus dikukus dulu."

"Saya tunggu," ujar Tama sambil mendudukkan diri di atas lantai dapur.

"Masih setengah jam lagi." Ia coba menginformasikan waktu matangnya nasi tim yang masih cukup lama.

"Nggak apa-apa," jawab Tama singkat.

Ia kembali menelan ludah. Lalu mengembuskan napas panjang. Sembari tangannya terus bergerak aktif memasukkan tumisan ayam kecap dan telur, nasi, lalu menyiramnya dengan kuah kaldu.

Sampai akhirnya semua bahan habis tak bersisa. Menghasilkan empat mangkuk nasi tim yang siap untuk dikukus.

"Kapan datang?" Tanya Tama yang duduk memunggunginya.

Ia yang baru selesai menyusun mangkuk tahan panas ke dalam panci menjawab pelan, "Tadi."

"Ikut ke makam?"

Ia mengangguk. Entah Tama melihat anggukannya atau tidak.

Tadi pagi, begitu mendengar berita duka dari Agam, mamak memutuskan untuk tak berjualan di keude. Masakan yang sudah terlanjur matang dan bahan mentah yang masih tersisa, langsung diserahkan semuanya pada cing Ella.

"Abang libur dulu ya sekolahnya," pintanya. "Hitung-hitung istirahat sehabis tawuran kemarin."

"Soalnya Mama dan Nenek mau pergi melayat ke rumah Dekgam."

Icad mengangguk.

"Titip Umay sama Sasa," imbuhnya lagi. "Jangan lupa makan siang, tutup pintu yang rapat, kalau ada tamu bilang Mama lagi pergi."

Kini ia telah selesai membereskan semua bekas memasak. Dan tak ada hal lain lagi yang bisa dilakukannya kecuali menunggu nasi tim matang.

"Terima kasih sudah datang ke sini," ucap Tama seraya menoleh ke arahnya.

Ia hanya mengangguk kikuk dengan perasaan serba salah. Bingung harus tetap berdiri atau ikut duduk di lantai. Atau malah pergi menjauh.

Tapi entah dorongan dari mana, ia akhirnya ikut duduk di atas lantai dapur yang bersih. Namun memilih sudut terjauh dari tempat duduk Tama. Hingga jarak di antara mereka bisa ditarik menjadi garis lurus yang cukup memanjang.

Entahlah, meski merasa gugup dengan jantung yang berdebar tak menentu. Namun duduk dalam posisi seperti ini, dengan pemandangan punggung Tama dan hijaunya pepohonan. Terasa cukup menenangkan.

Suasana hening berlangsung cukup lama. Hanya terdengar suara api di atas kompor dan air mendidih di dalam panci kukusan. Disusul aroma harum kaldu yang menguar memenuhi udara di atas dapur.

"Ini pertama kalinya ... saya kehilangan orang terdekat untuk selama-lamanya," gumam Tama pada akhirnya.

Ia hanya bisa menghela napas panjang.

Ingatannya kembali melayang pada prosesi pemakaman pak Setyo siang tadi. Ekspresi kosong dan hampa di wajah Tama sedikit banyak bisa dipahaminya. Tama harus nampak tegar padahal rapuh. Harus terlihat kuat padahal didera kesedihan.

Dan ia tak memiliki daya untuk mengucapkan sepatah dua patah kata sebagai penghiburan. Mulutnya seolah terkunci rapat-rapat. Lidahnya kelu. Sama sekali tak mampu merangkai kalimat walau sederhana untuk diucapkan.

"Anak-anak ikut?" Tanya Tama. "Dari tadi nggak lihat Sasa."

Ia menggeleng, "Anak-anak tetap masuk sekolah."

Suasana kembali hening. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tama dengan kesedihan. Sementara ia dengan kegelisahan. Berharap nasi tim segera matang.

"Mau makan sekarang?" Tanyanya dengan penuh kelegaan. Sebab nasi tim sudah matang. Itu artinya ia bisa segera pergi dari dapur. Tak harus berdekatan dengan Tama.

"Boleh," Tama mengangguk.

Ia segera menyiapkan piring untuk wadah nasi tim. Kemudian mengisi mangkuk dengan kuah kaldu. Lalu menyerahkannya pada Tama.

"Makasih," Tama berusaha tersenyum. Tapi ia keburu menghindar dengan menundukkan pandangan.

"Mmm ...." Gumam Tama begitu memasukkan sesendok nasi tim ke dalam mulut.

"Mmm ...." Gumam Tama lagi.

"Kenapa?" Tanyanya khawatir. "Masih panas?" cemasnya mengira Tama kepanasan.

"Tunggu uapnya habis dulu sebentar," lanjutnya dengan kening mengerut.

Tapi Tama tak menghiraukan ucapannya. Justru kembali menyendok nasi tim dan melahapnya dalam suapan besar.

"Mmm ...." Tama kembali bergumam-gumam tak jelas.

"Jangan makan makanan yang terlalu panas," ia tak kuasa menahan diri untuk tak berkomentar. Demi melihat kerakusan Tama yang lagi dan lagi melahap nasi tim dalam suapan besar.

"Enak banget," gumam Tama dengan mulut penuh. Makan dan mengunyah dengan begitu cepat.

Ia kembali mendesah setengah menggerutu, "Saya kira kepanasan."

"Boleh nambah nggak?" Tama menyodorkan piring yang secara ajaib telah kosong dalam sekejap. Hanya tersisa beberapa butir nasi dan potongan ayam kecap.

Membuatnya tak mampu menahan senyum, "Boleh."

Ia pun segera bangkit. Mengisi piring dengan nasi tim lagi. Lalu menyerahkannya pada Tama.

"Bikin banyak nggak? Mama pasti suka nih. Enak banget," gumam Tama dengan mulut penuh mengunyah nasi tim.

"Empat," jawabnya.

"Cuma empat?" Tama mengerut. "Ini jatah terakhir saya dong?"

Lagi-lagi ia tak mampu menahan senyum.

Melihatnya tersenyum, Tama pun ikut tersenyum.

Mereka akhirnya saling melempar senyum.

Saat itulah tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggil Tama.

"Tam! Tama! Wah .... dicariin di sini ternyata."

Ia langsung menghentikan senyum begitu tahu yang memanggil Tama adalah Pak Raka.

"Ada Kinan datang tuh," lanjut Pak Raka sambil berjalan mendekat ke dapur.

"Nan! Kinan! Tama di sini nih!" seru Pak Raka memanggil nama seseorang.

Ia buru-buru berdiri. Begitu juga dengan Tama.

"Wah, ada Pocut juga rupanya," seloroh Pak Raka begitu melihat keberadaannya di dapur.

Ia tersenyum kikuk ke arah Pak Raka. Dan dibelakang Pak Raka menyusul seorang wanita cantik yang langsung menghambur ke dalam pelukan Tama.

"Maaf aku terlambat, Mas," isak tangis wanita cantik itu pecah di dada Tama.

Ia menelan ludah sambil membalikkan badan. Berpura-pura sibuk dengan nasi tim dan panci.

"Wah, masak apa, Cut? Kayaknya enak nih," suara Pak Raka tiba-tiba sudah berada tepat di belakang punggungnya.

Ia kembali tersenyum kikuk.

Namun telinganya masih bisa menangkap dengan jelas suara Tama yang berucap,

"It's fine (nggak apa-apa) ... it's fine ...."

Diiringi suara isak tangis wanita cantik tersebut di dada Tama.

Dan Pak Raka yang tersenyum memohon ke arahnya, "Ada jatah buat saya nggak?"

***

1
Naumi
anak tua ya saa 😂 🤣
Lugiana
eakkk...eaaakk /Facepalm//Facepalm/
Athalla✨
penjahat pencuri hati dan pikiran kak 🥰
Furia
Karya Luar Biasa 😍😍
Ri_viE
aku slalu melewati bab yg Reka dan sasa di culik itu 🥺🥺 ngga tega bgt. kenapa konfliknya sekeras itu.
Athalla✨
nah ini support system datang juga akhirnya
Athalla✨
kak Pocut serasa lagi diomongin gk sih 😅
Athalla✨
untung gk ada mas Sada,, udah di ceng²in yang ada nanti 🤣🤣
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭
Athalla✨
harus dong, biar nggak salah paham kedepannya kan repot jadinya
Athalla✨
cegil juga nih samara
Athalla✨
jadi penasaran sama cerita temen²nya mas Tama hmm
Athalla✨
jadi salah paham kan 🤦🏻‍♀️
Athalla✨
bukan lagi gosong malah
Athalla✨
nantangin ini namanya... cuz halalin dong mas 🤭
Athalla✨
panas dingin campur salting pastinya kak Pocut
Athalla✨
tuh kan mana mau mas Tama nolak, orang dapet rejeki nomplok wkwk
Athalla✨
udah jelas ini mah mas Tama mau lah tanpa paksaan 🤣
Athalla✨
udah dapat lampu hijau dari mamak
Athalla✨
feeling mamak emang kuat
Athalla✨
btw udah akrab aja nih mas sama umay 😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!