Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32: KIREINA BERPURA-PURA PEDULI
#
**[MALAM ITU - PERUBAHAN YANG TIDAK TERDUGA]**
Setelah tangisan di kamar bayi itu, sesuatu berubah.
Tidak drastis. Tidak langsung membuat segalanya baik-baik saja. Tapi... ada pergeseran kecil yang signifikan.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Alviona pulang dari rumah sakit, Daryon tidak kembali ke kamar utamanya.
Dia tinggal.
Tinggal di kamar Alviona—atau lebih tepatnya, dia membawa Alviona ke kamar utama—kamar besar yang selama ini jadi "teritorinya" yang tidak pernah Alviona masuki dengan sukarela.
Tapi malam ini berbeda.
Daryon memapahnya dengan hati-hati—lengannya melingkar di pinggang Alviona yang masih lemah, langkahnya disesuaikan dengan langkah Alviona yang pelan.
"Kau butuh istirahat yang bener," ucapnya pelan—nada yang asing, nada yang... peduli? "Kasur di kamar tamu terlalu keras. Kasur di kamarku lebih baik untuk kondisimu."
Alviona tidak protes. Dia terlalu lelah untuk protes. Terlalu kosong untuk peduli.
Sampai di kamar utama, Daryon membantu Alviona berbaring di kasur king size yang empuk—jauh lebih nyaman dari kasur single di kamar tamu.
Dia menarik selimut sampai menutupi tubuh Alviona, gerakan yang... aneh. Gerakan yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.
Alviona berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit kamar yang asing ini. Dekorasi masculine—warna gelap, furniture kayu, tidak ada sentuhan feminine sama sekali.
Seperti kamar bachelor, bukan kamar pasangan menikah.
Daryon berbaring di samping—dengan jarak yang cukup, tidak langsung menyentuh—dan untuk beberapa menit, keheningan menggantung.
Tapi bukan keheningan yang mencekam seperti biasanya.
Ini keheningan yang... berbeda. Agak tenang. Agak... aman?
"Sayang..."
Suara Daryon memecah keheningan—dan Alviona tersentak mendengar kata "sayang."
Dia tidak pernah memanggil Alviona dengan sebutan itu. Tidak pernah.
Alviona menoleh—menatap Daryon yang berbaring menyamping, menghadap dia, dengan tatapan yang... kompleks. Ada guilt. Ada desire. Ada confusion.
"Aku..." Daryon seperti berjuang mencari kata. "Aku menginginkanmu."
Tubuh Alviona langsung tegang.
*Tidak. Tidak sekarang. Kumohon tidak sekarang.*
"Aku... aku gak kuat..." Suaranya keluar bergetar, panik mulai muncul. "Aku belum... dokter bilang aku belum boleh—"
"Aku tahu," Daryon memotong dengan cepat—tangannya terangkat, menyentuh pipi Alviona dengan gerakan yang... lembut. Sangat lembut. "Aku gak akan... aku gak akan melakukan itu. Aku janji."
Alviona menatapnya dengan mata yang penuh ketakutan dan keraguan.
"Tapi aku..." Daryon melanjutkan, jarinya menelusuri garis rahang Alviona. "Aku butuh... koneksi denganmu. Sesuatu yang... yang gak menyakitimu."
Tangannya turun—dari pipi, ke leher, ke bahu—dengan sentuhan yang sangat berbeda dari sentuhan-sentuhan sebelumnya.
Ini bukan sentuhan possessive. Bukan sentuhan yang demanding.
Ini sentuhan yang... exploring. Seperti dia mencoba mengenal istrinya untuk pertama kalinya.
"Gausah pake itu," bisiknya pelan, jarinya bermain dengan helai rambut Alviona. "Pake mulut aja."
Alviona membeku—tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
Daryon yang biasanya kasar, brutal, tidak peduli—sekarang minta sesuatu yang... lebih intimate dalam cara yang berbeda. Sesuatu yang tidak akan menyakiti tubuh Alviona yang masih lemah.
"Kau... kau serius?" tanya Alviona pelan, masih tidak percaya.
Daryon mengangguk—dan ada sesuatu di matanya yang membuat Alviona berhenti bernapas sebentar.
Vulnerability.
Untuk pertama kalinya, Daryon terlihat... vulnerable.
"Aku gak mau sakitin kau lagi," bisiknya dengan suara yang bergetar sedikit. "Aku... aku sudah terlalu banyak sakitin kau. Dan aku..."
Suaranya putus.
"Aku menyesal. Untuk semuanya."
---
**[MOMENT INTIMACY YANG BERBEDA]**
Yang terjadi setelahnya adalah sesuatu yang sangat berbeda dari semua interaksi fisik mereka sebelumnya.
Tidak ada kekerasan. Tidak ada paksaan. Tidak ada rasa sakit.
Alviona bergerak dengan hati-hati—masih takut, masih ragu—tapi Daryon... Daryon berbeda malam ini.
Tangannya lembut di rambut Alviona—tidak menarik seperti biasanya, tapi mengelus. Napasnya berat tapi controlled. Matanya—yang biasanya dingin dan kosong—sekarang penuh dengan sesuatu yang lebih... manusiawi.
Desire yang bercampur dengan... guilt? Regret? Affection?
"Pelan... pelan, sayang..." bisiknya dengan suara yang bergetar—dan kata "sayang" itu terdengar lebih genuine sekarang.
Setiap sentuhan dari Alviona membuat tubuh Daryon bereaksi dengan cara yang membuatnya menyadari—untuk pertama kalinya—betapa berbedanya intimacy ini kalau dilakukan dengan kelembutan, bukan kekerasan.
Betapa lebih... intens rasanya kalau dia benar-benar memperhatikan pasangannya, bukan hanya melampiaskan kebutuhan.
"Alviona..." namanya keluar seperti doa dari bibir Daryon.
Dan ketika klimaks datang—bukan dengan keras atau brutal seperti biasanya—tapi dengan napas yang tertahan, tubuh yang gemetar, dan mata yang tertutup dengan ekspresi yang hampir seperti... kesakitan emosional—
Daryon menarik Alviona ke atas, memeluknya erat—sangat erat—wajahnya tenggelam di leher Alviona, dan untuk kedua kalinya dalam 24 jam terakhir...
Dia menangis.
Tidak keras. Tidak dramatis. Hanya air mata yang jatuh diam-diam, basah di kulit Alviona.
"Maafkan aku..." bisiknya berulang kali. "Maafkan aku untuk semua yang aku lakukan... untuk semua cara aku sakitin kau... aku... aku monster..."
Alviona terdiam—shock dengan confession ini, dengan vulnerability yang Daryon tunjukkan.
Tangannya terangkat—ragu—lalu perlahan menyentuh rambut Daryon, mengelus dengan gerakan yang awkward tapi... gentle.
"Aku menyesal..." Daryon melanjutkan, pelukannya makin erat. "Aku menyesal selalu menyakitimu... aku menyesal tidak pernah melihatmu sebagai manusia... sebagai istriku yang seharusnya aku lindungi..."
Kata-kata itu keluar seperti air yang pecah dari bendungan—bertahun-tahun tidak pernah mengakui emosi, bertahun-tahun menekan guilt, sekarang semuanya keluar.
"Bayiku... anakku..." suaranya bergetar. "Dia mati karena aku. Karena aku tidak melindungimu. Karena aku tidak peduli. Karena aku..."
Dia tidak bisa melanjutkan.
Dan Alviona—yang seharusnya marah, yang seharusnya menolak—malah memeluknya balik.
Bukan karena dia memaafkan sepenuhnya. Bukan karena semua luka langsung sembuh.
Tapi karena... di moment ini, mereka berdua sama-sama hancur. Sama-sama kehilangan. Sama-sama menyesal.
Dan kadang, shared grief adalah satu-satunya hal yang bisa menyatukan orang.
Malam itu, mereka tertidur dalam pelukan satu sama lain—untuk pertama kalinya sejak menikah—dengan air mata yang sudah mengering di pipi dan hati yang masih terluka tapi mungkin... mungkin mulai sedikit sembuh.
---
**[KEESOKAN PAGI - KIREINA DATANG]**
Pagi datang terlalu cepat.
Alviona terbangun dengan tubuh yang masih sakit tapi... ada sesuatu yang berbeda.
Kehangatan.
Daryon masih di sampingnya—masih tidur, lengan masih melingkar di pinggang Alviona dengan posisi protective.
Untuk sebentar—sebentar yang sangat singkat—Alviona membiarkan dirinya merasakan kehangatan ini.
Tapi kemudian realitas kembali.
*Ini tidak mengubah apapun. Satu malam tidak menghapus satu tahun penyiksaan.*
Tapi... setidaknya ada sesuatu. Sesuatu yang kecil. Mungkin awal dari perubahan. Atau mungkin hanya guilt sementara.
Waktu akan membuktikan.
---
Pukul 10 pagi, Alviona sudah bangun dan mandi—berpakaian simple dengan dress longgar yang menutupi perban di perutnya.
Daryon sudah berangkat kerja sejak jam 8—tapi sebelum pergi, dia melakukan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya:
Dia mencium kening Alviona.
Lembut. Singkat. Tapi genuine.
"Istirahat yang cukup," ucapnya sebelum pergi. "Jangan memaksakan diri."
Dan Alviona hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh dengan perasaan yang... confused.
---
Tapi confusion itu tidak bertahan lama.
Karena pukul 11 siang, ada tamu yang datang.
"Nona, ada tamu untuk Anda," Bi Sari mengetuk pintu kamar dengan wajah yang... was-was. "Nona Kireina."
Nama itu membuat tubuh Alviona langsung tegang.
*Kireina.*
"Bilang aku... aku tidak bisa terima tamu—"
"Dia bersikeras, Nona. Dan... Nyonya Syafira sudah mempersilakan dia masuk."
Tentu saja.
Dengan napas yang berat, Alviona turun ke ruang tamu—langkahnya pelan, tubuh masih lemah.
Dan di sana, duduk dengan anggun di sofa dengan dress hijau emerald yang elegan, rambut tergerai sempurna, makeup flawless...
Kireina.
Di tangannya, keranjang buah-buahan mahal yang dibungkus dengan rapi.
Begitu melihat Alviona masuk, Kireina berdiri dengan gerakan graceful—senyum simpati terpasang sempurna di wajahnya.
"Alviona, sayang..." ucapnya dengan nada yang penuh keprihatinan—acting yang sangat meyakinkan. "Aku baru dengar tentang... tentang kehilangan mu. Aku turut berduka."
Dia melangkah mendekati Alviona, menyodorkan keranjang buah.
"Ini... aku bawa ini untukmu. Semoga bisa membantu pemulihanmu."
Alviona menatap keranjang itu—tapi tidak mengambilnya.
Mata nya menatap Kireina dengan tatapan yang... berbeda dari biasanya.
Bukan tatapan takut. Bukan tatapan pasrah.
Tapi tatapan yang... menyelidik. Curiga.
Kireina menangkap perubahan itu—ada sesuatu yang berkilat di matanya, tapi dia tetap maintain facade simpati.
"Aku tahu ini pasti sangat berat untukmu," lanjut Kireina sambil meletakkan keranjang di meja. "Kehilangan bayi... itu..."
Dia berhenti, menutup mata seolah menahan emosi—acting yang sempurna.
"Itu kehilangan yang paling menyakitkan bagi seorang wanita."
"Ya," jawab Alviona dengan nada datar. "Sangat menyakitkan."
Keheningan sebentar.
Kireina menatap Alviona—dan ada sesuatu di tatapan itu yang membuat Alviona semakin yakin.
Ada kepuasan di balik simpati palsu itu.
Ada... kemenangan.
"Bagaimana... bagaimana kejadiannya?" tanya Kireina dengan nada yang terdengar innocent, concerned. "Aku dengar kau jatuh dari tangga?"
Dan pertanyaan itu—pertanyaan yang seharusnya innocent—membuat sesuatu klik di kepala Alviona.
Flashback tiba-tiba muncul—fragment yang sebelumnya blur sekarang mulai jelas:
*Tangga yang licin.*
*Kehilangan keseimbangan.*
*Dan kemudian—dorongan.*
*Dorongan dari belakang.*
*Dan sebelum jatuh—sekilas—dia melihat...*
*Dress merah.*
*Parfum yang familiar.*
*Senyum tipis yang mengerikan.*
Alviona menatap Kireina dengan mata yang melebar—realization hitting her like a truck.
"Kau..." bisiknya, suaranya bergetar.
Kireina mengangkat alis, masih maintain innocent face. "Aku kenapa, sayang?"
"Kau..." Alviona melangkah lebih dekat, tangannya mengepal erat di samping tubuh. "Kau yang melakukan ini, kan?"
Atmosfer di ruangan berubah seketika.
Kireina tidak menjawab langsung—tapi ada perubahan subtle di ekspresinya. Senyum simpati itu... sedikit melebar. Sedikit terlalu lebar untuk genuine.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu—"
"AKU INGAT!" Suara Alviona meninggi—bukan berteriak, tapi ada kekuatan di sana yang membuat Kireina sedikit terkejut. "Aku ingat kau mendorongku!"
Keheningan yang mencekik.
Kireina menatap Alviona dengan tatapan yang perlahan berubah—dari innocent concern menjadi... sesuatu yang lebih gelap.
"Kau mendorongku dari belakang!" Alviona melanjutkan, air matanya mulai keluar tapi bukan air mata sedih—ini air mata amarah. "Kau membunuh bayiku!"
Dan Kireina—
Tersenyum.
Bukan lagi senyum simpati.
Tapi senyum yang... puas. Senyum yang mengakui tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Buktikan," bisik Kireina pelan—sangat pelan sampai hanya Alviona yang dengar.
Dan dengan itu, dia berbalik dengan anggun, berjalan ke arah pintu dengan langkah tenang.
Sebelum keluar, dia berhenti sebentar, menoleh dengan senyum tipis yang mengerikan.
"Semoga kau cepat pulih, Alviona. Dan..." senyumnya melebar sedikit, "berhati-hatilah. Kecelakaan bisa terjadi... kapan saja."
Pintu ditutup.
Meninggalkan Alviona yang berdiri di tengah ruang tamu dengan tubuh gemetar—bukan karena takut, tapi karena amarah yang luar biasa.
Amarah yang untuk pertama kalinya... lebih kuat dari kesedihan.
---
**Alviona sekarang tahu kebenaran. Kireina membunuh bayinya. Tapi tanpa bukti, siapa yang akan percaya? Daryon? Keluarga Prasetya? Atau... apakah Alviona harus mencari bukti sendiri? Dan kalau dia berhasil menemukan bukti... apa yang akan dia lakukan? Balas dendam? Keadilan? Atau... sesuatu yang lebih gelap?**
---
**[ TO BE CONTINUED... ]**