NovelToon NovelToon
Warisan Dari Sang Kultivator

Warisan Dari Sang Kultivator

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Harem / Balas Dendam
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Seorang pemuda berusia 25 tahun, harus turun gunung setelah kepergian sang guru. Dia adalah adi saputra.. sosok oemuda yang memiliki masa lalu yang kelam, di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ketika dirinya masih berusia lima tahun.

20 tahun yang lalu terjadi pembantaian oleh sekelompok orang tak di kenal yang menewaskan kedua orang tuanya berikut seluruh keluarga dari mendiang sang ibu menjadi korban.

Untung saja, adi yang saat itu masih berusia lima tahun di selamatkan okeh sosok misterius merawatnya dengan baik dari kecil hingga ia berusia 25 tahun. sosok misterius itu adalah guru sekaligus kakek bagi Adi saputra mengajarkan banyak hal termasuk keahliah medis dan menjadi kultivator dari jaman kuno.

lalu apa tujuan adi saputra turun gunung?

Jelasnya sebelum gurunya meninggal dunia, dia berpesan padanya untuk mencari jalan hidupnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 Keributan di luar

Cahaya sore di gang sempit itu terasa dingin. Luhut dan Darma berdiri dalam bayang-bayang rumah kayu di belakang.

​"Luhut, apakah kamu tidak merasa aneh, kenapa Nona Muda mau berteman dengan orang miskin seperti itu?" bisik Darma, pandangannya tidak lepas dari jendela.

​Luhut mendengus. "Mana ku tahu. Jangan pernah menanyakan tentang kepribadian Nona Muda. Tugas kita hanyalah menjaga Nona dari orang-orang yang mengincarnya." Ia menyilangkan tangan di dada, postur tubuhnya kaku dan tegang.

​"Apakah kalian sedang mengintai seseorang?"

​Suara itu datang dari belakang mereka, tenang, datar, tanpa nada ancaman, namun menusuk seperti jarum es.

​Kedua pria berjas hitam itu tersentak. Reaksi mereka tidak seperti pengawal biasa; mereka melompat sedikit, lalu secara bersamaan, Darma dan Luhut memutar kepala ke belakang. Keterkejutan itu nyata, terpancar dari mata mereka yang melebar.

​Pemuda itu—Rayan—berdiri hanya dua langkah di belakang, seolah-olah ia baru saja muncul dari udara tipis.

​"Kau..." Kedua pria itu berucap serempak.

​Mereka baru saja melihat pemuda ini berjalan ke arah belakang rumah beberapa menit lalu. Yang lebih mengejutkan, mereka tidak menyadari kedatangannya kembali. Luhut dan Darma adalah ahli beladiri tingkat puncak Tahap Ketiga. Panca indra mereka seharusnya tajam, mampu mendeteksi perubahan sekecil apa pun di udara. Namun, kehadiran pemuda ini membuat panca indra mereka seolah lumpuh. Bukan hanya diam-diam, tapi sunyi—seperti vakum.

​"Maaf," ulang rayan, tatapannya tenang. "Sepertinya kedua paman ini sedang mengintai sesuatu?"

​Luhut dan Darma saling berpandangan. Kebingungan dan sedikit kecemasan terlihat jelas. Mereka tidak menyangka akan tertangkap basah seperti ini.

​"Anak muda, bagaimana bisa kamu begitu cepat berada di sini?" Luhut tanpa sadar bertanya, suaranya sedikit lebih tinggi dari normal.

​rayan menatap Luhut, matanya menyipit sedikit, seperti elang yang mengamati mangsa. Ia tidak menjawab. Luhut langsung menyadari kekonyolannya, apalagi setelah mendapat tatapan tajam penuh teguran dari Darma.

​"Ah, sudahlah," kata Luhut cepat, menghela napas pasrah. "Anak muda, sebenarnya kami adalah dua orang pengawal Nona Muda, gadis yang baru saja berbincang denganmu."

​Darma segera menimpali, "Benar, anak muda. Seharusnya kamu adalah teman Nona, bukan? Kamu jangan khawatir. Kami bukanlah orang jahat. Kami hanya memastikan keadaan Nona dari jauh, menjaganya tanpa mengganggu aktivitasnya."

​rayan memandangi keduanya bergantian. Ia bisa merasakan aura kekuatan dari mereka, tetapi instingnya—yang jauh lebih tua dan tajam—mengatakan bahwa memang tidak ada niat membunuh, hanya kewaspadaan profesional.

​"Jadi kalian berdua adalah pengawal gadis itu?" tanya rayan memastikan.

​"Tentu saja. Kami berdua adalah pengawal setia Nona Muda," jawab Darma, nadanya kembali tegas.

​"Baguslah. Maaf karena mengganggu aktivitas kedua paman," kata rayan, memberi anggukan singkat. "Kalau begitu, saya pamit. Paman-paman, jika merasa lelah menunggu, lebih baik menunggu di rumah saya sembari minum teh. Lagipula, saya rasa Nona Muda yang dimaksud sedang asik mengobrol dengan adik saya."

​Luhut menggeleng sopan. "Terima kasih, tidak perlu, anak muda. Itu akan membuat Nona Muda merasa tidak nyaman."

​"Baiklah. Kalau begitu, saya permisi."

​"Silakan, anak muda."

​Rayan berbalik dan berjalan kembali. Langkah kakinya kembali terdengar, seolah dia baru mengaktifkan kembali suara langkahnya.

​"Darma," bisik Luhut, menatap punggung rayan yang menjauh. "Kenapa aku merasa wajah pemuda itu sedikit familier?"

​"Aku juga sempat berpikir seperti itu," ujar Darma, pandangannya masih terpaku pada sudut di mana rayan menghilang. "Tapi aku tidak tahu wajah pemuda itu ada kemiripan dengan siapa. Dia tampak... biasa, namun terasa seperti pedang yang terhunus."

​Bagian II: Keakraban dan Pengakuan

​Di meja makan, Maudy dan Hana tengah memegang perut mereka masing-masing, bersandar kelelahan di kursi.

​"Maudy, dari mana kamu membeli daging bakar ini? Rasanya sangat luar biasa," puji Hana, suaranya masih terdengar sedikit kekenyangan.

​"Aku sudah mengatakan dari awal, kamu pasti akan menyukainya setelah mencobanya," kata Maudy, senyum puas tersungging di bibirnya.

​Awalnya Hana terus memakan makanan yang dibawanya. Namun, melihat Maudy tampak begitu menikmati setiap gigitan daging sapi bakar itu, rasa penasarannya tak tertahankan. Ia mencicipi potongan kecil yang diberikan Maudy. Begitu mencicipi, ia tak bisa berhenti.

​"Aku bahkan sampai lupa kalau aku tidak terlalu menyukai daging bakar," lirih Hana. "Seperti sihir. Sepertinya mulai sekarang aku akan menyukai daging bakar."

​"Kamu bahkan makan lebih banyak daripada aku! Bagaimana bisa kamu mengatakan tidak terlalu menyukai daging bakar?" dengus Maudy, menyikut pelan lengan sahabatnya.

​"Aku sungguh tidak berbohong. Entah dari mana kamu membelinya, tapi aku rasa aku harus membelinya untuk makan malam nanti," kata Hana.

​Maudy terkekeh. "Hana, sebenarnya aku tidak membelinya dari mana pun. Daging bakar itu dimasak oleh Kak ray."

​Hana langsung menoleh, matanya membulat. "Bagaimana mungkin? Pemuda itu bahkan tidak bisa merawat penampilannya. Maudy, apa kamu yakin?" Seketika, bayangan wajah rayan yang cuek dan sedikit lusuh berputar di kepala Hana.

​"Begitulah kenyataannya. Aku sendiri melihatnya langsung bagaimana Kak rayan memasak. Bahkan semalam aku sampai ketiduran di kursi ini karena..."

​Tiba-tiba, Maudy terhenti. Otaknya kembali memutar memori. Ia jelas ketiduran di kursi makan ini. Tetapi kenapa saat ia bangun, ia sudah berada di kamarnya?

​Maudy mencoba mengingat keras. Ingatan terakhirnya adalah ketika rayan berkata ingin keluar sebentar. Ia yang malas dan mengantuk langsung terlelap di sana.

​'Astaga... Apa yang terjadi padaku semalam? Apakah aku tidur sambil berjalan memasuki kamar?' pikir Maudy, wajahnya mulai sedikit memucat.

​"Maudy, ada apa?" Melihat gadis itu tampak memikirkan sesuatu dengan serius, Hana langsung bertanya.

​"Eh, ti-tidak apa-apa," jawab Maudy, meskipun pikirannya masih dipenuhi tanda tanya.

​"Apa yang kamu pikirkan? Ah, ya, bukankah kamu ingin menceritakan masalahmu?" Hana teringat tujuan utamanya: mendengar alasan Maudy melarikan diri.

​Maudy terdiam beberapa saat, mengembuskan napas berat. Ia melirik Hana sekilas dan mulai bercerita.

​"Sebenarnya..."

​"APA! Jadi orang tuamu menjodohkanmu dengan Danu, lelaki tua mesum itu!" seru Hana, nadanya meninggi. Ia cukup tahu reputasi Danu, pria yang memiliki usaha di bidang batu mentah.

​"Ya begitulah. Malam itu aku terpaksa harus kabur dari rumah, dan di malam itu juga aku bertemu dengan Kak ray." Maudy memilih untuk tidak menceritakan detail upaya penculikan dan penyelamatan oleh rayan.

​"Jadi pemuda itu bukan saudara jauhmu?" Hana sebelumnya mengira rayan adalah sepupu Maudy.

​Maudy menggeleng. "Dia begitu baik padaku, meski kami baru bertemu. Dia sudah menganggapku sebagai saudaranya. Aku bahkan merasa dia terlalu baik, jauh melebihi batas orang asing." Terlihat jelas dari raut wajah Maudy bahwa dirinya merasa beruntung telah dipertemukan dengan pemuda itu.

​"Apakah dia sebaik itu?" lirih Hana, agak terkejut. Penilaiannya terhadap rayan saat bertemu tadi tidaklah baik.

​Tepat ketika Hana hendak bertanya kembali, suara rayan mengejutkan mereka berdua.

​"Apa kalian sudah merasa kenyang?" rayan berdiri di ambang pintu.

​Melihat semua makanan di atas meja hanya menyisakan wadahnya, ia agak terpaku. Ia tidak menyangka teman Maudy memiliki porsi makan yang sama banyaknya.

​"Kak ray, kamu sudah kembali!" Maudy segera bangkit dan menghampiri rayan dengan raut wajah bersalah.

​"Kak... Ma-maaf, aku menghabiskan makanannya lagi." Maudy tahu pemuda itu belum makan dari pagi. Karena kenikmatan masakan dan ditemani Hana, mereka menghabiskan semuanya.

​Rayan melirik Hana sekilas, lalu beralih pada Maudy. "Tidak apa-apa. Aku memasak makanan memang untuk dimakan, dan lebih bagus jika dihabiskan."

​"Tap-tapi... bagaimana denganmu? Aku..." Maudy menggigit bibirnya.

​"Jangan khawatir. Aku tidak mungkin memasak tanpa makan terlebih dahulu." potong rayan.

​Meskipun rayan memang belum makan, hal itu tidak menjadi masalah baginya. Sebagai seorang kultivator kuno, ia hanya perlu melakukan kultivasi dan menyerap energi alam. Tubuhnya tidak akan merasa lemah.

​Maudy benar-benar merasa diperlakukan seperti memiliki saudara sedarah. Namun, perkataan rayan selanjutnya membuat matanya membulat sempurna.

​"Asalkan kamu tidak merepotkan aku lagi saat tertidur, kamu bebas menghabiskan makanan sesukamu."

​"Ka-kamu... Kamu yang membawaku ke...?" Maudy tidak bisa meneruskan kata-katanya. Jelas sekali dari perkataan rayan bahwa pemuda inilah yang semalam membawanya ke atas tempat tidur.

​Seketika, wajah Maudy memerah sempurna karena malu, panas menjalar dari leher hingga ke telinga. Reaksi ini tertangkap jelas oleh Hana yang sedari tadi memperhatikan.

​"Maudy, ada apa dengan wajahmu?" bisik Hana, mendekat.

​"A-aku... Jangan pikirkan aku," ucap Maudy, menahan rasa malunya, yang membuat Hana mengernyitkan kening.

​Hana mengalihkan pandangannya pada rayan. "Jika kamu merasa lapar, kamu makan saja makanan yang aku bawa. Kebetulan aku juga yang menghabiskan makananmu." Hana agak tersentuh melihat ekspresi tenang rayan saat menjawab Maudy.

​Rayan menoleh pada Hana, dan ketika ia hendak berkata-kata, tiba-tiba suara keributan di luar mengalihkan perhatiannya.

​DUARRRRRR!

​Suara benturan keras, seperti sebuah pintu dihantam secara paksa, membuat udara bergetar.

​"Ahhh!" teriak Maudy terkejut, langsung berpegangan pada lengan Hana.

​"APA YANG TERJADI?" seru Hana, jantungnya berdebar kencang.

​Wajah rayan yang tadinya tenang kini berubah dingin dan tanpa emosi. Ia langsung berjalan keluar. Langkahnya cepat, tanpa keraguan, menuju sumber keributan, ingin tahu siapa yang berani mencari masalah dengannya

1
Jujun Adnin
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!