"Seharusnya, bayi ini tidak ada dan menghancurkan masa depanku!"
Kata-kata yang keluar dari mulut Nadia Lysandra Dirgantara, membuat perasaan Ezra Elian hancur. Keduanya terpaksa menikah akibat kecelakaan yang membuat Nadia hamil. Namun, pernikahan keduanya justru terasa sangat dingin.
"Lahirkan bayi itu, dan pergilah. Aku yang akan merawatnya," putus Ezra.
Keduanya bercerai, meninggalkan bayi kecil bersama Ezra. Mereka tak saling bertemu. Hingga, 4 tahun kemudian hal tak terduga terjadi. Dimana, Nadia harus kembali terlibat dengan Ezra dan menjadi ibu susu bagi putri kecil pria itu.
"Kamu disini hanya sebatas ibu susu bagi putriku, dan jangan dekati putraku seolah-olah kamu adalah sosok ibu yang baik! Jadi ... jaga batasanmu!" ~Ezra
"Bibi Na, kita milip yah ... liat lambut, milip!" ~Rivandra Elios
Bagaimana Nadia akan menjalani kehidupannya sebagai ibu susu dari putri mantan suaminya?
"Aku bukan ibu yang baik Ezra, tapi aku ingin putraku tahu bahwa aku adalah ibunya!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian mantan
Astrid melirik Ezra yang sedang fokus menyetir mobil. Sepanjang perjalanan menuju mall, pikirannya tak bisa lepas dari perkataan Sari tadi. Benarkah putranya dan pengasuh cucunya tidur bersama? Namun, Astrid tahu seperti apa Ezra. Ia bukan tipe yang suka berpura-pura, apalagi berbohong.
"Ezra, semalam kamu tidur di mana?" tanyanya ringan sambil tersenyum kecil. Ia berusaha mengontrol ekspresinya agar terlihat santai, meski hatinya masih berkecamuk.
"Di kamar Rivan. Semalam dia minta dibacain buku cerita. Karena aku ketiduran, ya nggak sempat balik ke kamar. Emangnya kenapa?" jawab Ezra sambil sesekali melirik ke arah ibunya.
Astrid sedikit gugup, tapi segera menutupinya dengan tawa. “Enggak kok. Tadi Mama niatnya mau bangunin kamu, eh malah enggak ada di kamar."
Ezra membulatkan mulutnya, paham. Ia kembali fokus mengemudi. Sementara Astrid, wajahnya berubah. Ada rasa kesal yang tak bisa ia sembunyikan. Ia yakin, Ezra tidak berbohong. Terlihat dari raut wajahnya yang begitu tenang ketika menjawab tadi.
"Si Sari ini ya, suka banget bikin gosip! Bener-bener deh. Besok, aku beliin dia kacamata kuda aja! Lagian mana mungkin Ezra dan Nadia tidur bareng? Aneeeh!" geram Astrid dalam hati, sambil memel0t0tkan matanya seakan memarahi angin.
Sesampainya di mall, benar dugaan Ezra. Astrid langsung memintanya menemani berbelanja. Sudah berkali-kali ditawari bodyguard, tapi wanita itu selalu menolak.
Ezra pun menghela napas pelan. Seperti biasa, tugasnya adalah mendorong troli dan membawa belanjaan. Astrid sibuk memilih barang, membandingkan harga, dan mengomentari setiap warna dan bentuk benda yang ia lihat.
"Mama tuh mau beli barang-barang buat Azura, dia lagi gemes-gemesnya! Rambutnya juga udah mulai panjang, jadi harus dipakein pita atau bando-bando lucu gitu! Kebayang kan, lucunyaaa?" celoteh Astrid sambil menarik tangan Ezra ke sebuah toko perlengkapan bayi.
"Silakan, ada yang bisa saya bantu?" sambut pramuniaga toko dengan sopan.
Astrid tersenyum lebar. “Minta ditunjukin perlengkapan buat bayi perempuan, ya. Umurnya sudah dua bulan, tapi badannya udah gembul banget! Lucu deh!”
“Oh, baik, Ibu. Silakan ke sini,” ujar sang pramuniaga sambil mengantar Astrid ke bagian baju bayi perempuan.
Sementara itu, Ezra memilih berdiri tak jauh dari sana. Ia memperhatikan sekeliling. Toko itu ternyata menjual perlengkapan bayi yang lengkap dari pakaian, mainan, hingga perlengkapan ibu menyuusui dan ibu hamil. Saat sedang mengamati, seorang pramuniaga lain menghampirinya.
"Istrinya sedang menyuusui, kan Pak? Kami sedang launching produk baru. Suplemen untuk ibu menyuusui, agar produksi ASI lebih banyak dan kualitasnya juga bagus. Kebetulan sedang promo hari ini," katanya sambil menyodorkan sebotol suplemen berwarna pastel.
Ezra memandangi botol itu sejenak, pikirannya langsung melayang pada Nadia. Dia tahu betul bagaimana Nadia berjuang memberikan ASI untuk Azura, bahkan kini juga untuk Rivan, anak yang dulu sempat tidak mendapat hak itu.
“Nadia pasti butuh ini, dia kan nyuusuin dua anak sekaligus,” gumamnya dalam hati.
“Saya ambil lima botol,” ujarnya pada pramuniaga.
“Wah, baik, Pak! Susu tambahannya sekalian? Untuk kebutuhan kalsium dan energi, sangat penting untuk ibu menyuusui,” lanjut si pramuniaga, memanfaatkan kesempatan.
Ezra mengangguk. “Lima juga dan ... satu pompa ASI yang paling bagus di sini.”
Pramuniaga itu nyaris bersorak girang. Target penjualannya hari ini pasti tercapai. Tapi yang membuatnya lebih senang lagi, karena ia yakin produk yang dijualnya benar-benar berkualitas, meski harganya tak murah.
“Baik, Pak. Akan kami siapkan,” ujarnya sebelum pergi.
Ezra duduk di sofa yang tersedia sambil menunggu Astrid yang masih sibuk berbelanja. Tak lama kemudian, wanita itu datang dengan wajah penuh semangat dan tangan yang tak henti menenteng baju-baju mungil.
"Bagus-bagus banget barang di sini. Gak sabar lihat Azura jalan pakai sepatu-sepatu lucu. Soalnya Rivan dulu tuh, waktu pertama kali jalan, malah lebih suka nyeeeeker. Padahal Mama beliin sepatu mahal! Kan—"
Ucapan Astrid terpotong saat matanya menangkap tumpukan paper bag di dekat Ezra. Ekspresinya berubah curiga. Dengan penuh penasaran, ia membuka satu per satu isi belanjaan itu.
“Kamu beli buat siapa ini, Ezra?!” tanyanya kaget. Ia melihat suplemen ibu menyuusui, susu tambahan, hingga pompa ASI canggih.
“Buat Nadia. Biar ASI-nya bagus dan banyak. Mama kan mau Azura gembul, kan?” jawab Ezra ringan.
Astrid membulatkan mulutnya. Seketika ia tersenyum lebar, mengangguk-angguk bangga. “Astaga ... Ezraaa! Mana Mama enggak kepikiran beli ini! Pintar kamu jadi bapak!”
Lebih tepatnya ... pintar jadi mantan, batin Ezra. Tapi ia hanya tersenyum dan menunduk, kembali memegang ponselnya.
Di dalam hati, ia sadar—Nadia turut memberikan ASI nya untuk Rivan karena menebus rasa bersalah. Karena pernah membuat keputusan yang salah, dan sekarang mencoba memperbaiki semuanya lewat cara yang ia bisa, memberikan hak yang dulu tidak Rivan dapatkan.
“Kamu bawa semua belanjaan ke mobil ya,” perintah Astrid sambil menunjuk tumpukan kantong.
“Terus Mama mau ngapain?” tanya Ezra, tak bisa menyembunyikan raut lelahnya.
Astrid terkekeh, “Mama mau makan di Resto Yu. Siapa tahu di sana ada Om-Om pengusaha tambang. Mama kan udah cetar, cantik, mempesona gini ... masa enggak ada yang terpikat? Iya kaaan?”
Ezra langsung memutar bola matanya. “Mama mau cariin aku papa baru?”
“Oh tentu sayaaaang! Kasihan kan kamu menduda dua kali tapi enggak pernah dapet papa baru. Masa terus-terusan hidup tanpa sosok papa kan?”
Ezra terng4nga mendengarnya. Mama-nya benar-benar luar biasa. Rivan jelas menuruni semua kelakuan Astrid. Mulai dari gaya bicara, sampai kelincahan pikiran yang tak bisa ditebak. Ia hanya bisa memandangi punggung Astrid yang mulai menjauh dengan santai, meninggalkan Ezra bersama gunungan belanjaan.
“Pak, ini juga belum dibayar,” ujar pramuniaga sambil menyodorkan satu keranjang belanjaan Astrid.
Ezra memejamkan mata. “Mama yang belanja, kenapa aku yang harus bayar?!” geramnya dalam hati, sambil merogoh dompet dengan pasrah.
_________________________
Maaaap baru nongooool😆
btw thankyou kak
Senen..Senen