Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Muslihat di Balik Vanda”
Langit Batam mendung sore itu. Awan-awan menggantung gelap seolah mencerminkan suasana hati Gavin Alvareza yang baru saja keluar dari ruang rapat Mahesa Group Cabang Batam. Jas hitamnya tampak rapi, tapi sorot matanya tajam menusuk seperti silet.
Di lorong kantor yang dingin, Zidan dan Raga berdiri tegak. Wajah keduanya pucat pasi, seakan melihat hantu. Gavin menghentikan langkah.
“Ada apa?” tanyanya pelan, tapi nadanya tak memberi ruang untuk kebohongan.
Raga menelan ludah. “Ada masalah besar, Bos. Produk launching kita—hilang. Mobil pengangkut dari pabrik tak pernah sampai ke lokasi. Dan...”
“Dan?” Gavin menaikkan satu alisnya, matanya menyipit.
“Dan Karin mengganti semua display dengan produk Vanda.”
Sejenak Gavin terdiam. Namun rahangnya langsung mengeras. “Vanda?”
Raga dan Zidan saling pandang. Keringat dingin mengalir di pelipis mereka.
“Produk Vanda... padahal belum pernah kita setujui masuk ke event ini. Tapi sekarang seluruh panggung acara Mahesa Textiles dipenuhi brand mereka. Bahkan logo Mahesa—diganti jadi Vanda Partnership,” ucap Zidan.
Tangan Gavin mengepal. “Bangsat...”
Lorong itu seketika terasa lebih dingin. Aura dingin Gavin memancar, menghantam setiap orang yang lewat hingga mereka menunduk dan menjauh. Tatapannya tajam, menusuk, menghitung.
“Rapatkan semua kepala. Sekarang juga,” perintah Gavin, suaranya lebih dingin dari pisau.
Di Jakarta, kantor pusat Mahesa Textiles diramaikan desas-desus. Para pemegang saham gelisah. Beberapa menelpon, beberapa lain marah-marah dalam grup eksklusif mereka.
Sementara itu, Gavin duduk di kursinya. Jendela di belakangnya menampakkan langit yang kelabu. Ia memutar gelas kaca di tangannya, lalu mengambil ponsel dan menghubungi kantor pusat.
“Kenapa acara hari ini batal?” tanyanya datar, tapi penuh tekanan.
“Truk yang membawa produk launching mengalami musibah, Pak. Kecelakaan, katanya—”
“Kamu bilang acara bazar hari ini, tapi kamu baru pesan barang dari pabrik H-1? Sejak kapan kita kerja seperti ini?!” suara Gavin meninggi.
Seseorang di seberang sana tergagap. “Damian, Pak... Damian yang tangani semua ini. Dia yang mengatur distribusinya.”
Mata Gavin menggelap. “Damian?”
Ponselnya diletakkan pelan, seakan tak ingin membanting—tapi tangannya justru mematahkan pensil di atas meja. Zidan, Raga, dan Felik segera dipanggil masuk.
“Cari tahu siapa pemilik Vanda. Dan cari tahu apa hubungan Damian dengan mereka.”
Tiga hari kemudian. Gavin masih berada di Batam. Ia mengadakan rapat darurat di suite hotel mewah miliknya. Semua orang yang dipercaya duduk di sana—termasuk Raga yang tampak gelisah.
“Tidak ada catatan resmi tentang siapa pemilik Vanda, Pak,” ucap Raga. “Kami sudah coba lacak sampai level offshore. Tapi terlalu bersih.”
“Dan Damian?” tanya Gavin tanpa melihat ke arah mereka. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah dermaga yang gelap.
“Sejak semalam hilang kontak, Pak. Terakhir diketahui dia bertemu seseorang.
Gavin mendengus pelan. “Pengkhianat memang tak pernah bisa duduk diam. Mereka selalu lapar.”
Zidan menyalakan tablet dan menunjukkan satu rekaman CCTV. “Dan ini, Pak... kami berhasil akses kamera belakang kantor. Ada sosok wanita dengan hoodie yang mengatur petugas logistik malam sebelum acara. Dia bukan staf kita.”
Gavin memicingkan mata. “Perbesar wajahnya.”
Saat itu Damia sempat bertemu dengan Serli asisten kepercayaan Vanesa. Wanita itu yang bertugas mengatur semua toko.
“Sudah kami coba. Kabur. Kami tidak bisa memastikan wajahnya.”
Suasana ruangan mendadak sunyi. Nama itu seperti pisau tumpul yang menghujam pelan tapi dalam ke dada Gavin.
“ Apa itu Vanesa?”
Zidan menggelaeng pelan. “Dia hilang dari pengawasan. Orang kita tidak melihatnya keluar rumah selama tiga hari. Dia menghilang.”
Gavin bangkit berdiri. Bahunya tegang. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Angga?”
“Menurut informasi terakhir... dia kabur ke Rusia. Bersama Maxim. Saat dia terluka malam itu.”
“Dan kau pikir ini semua kebetulan, Zidan?” suara Gavin kini pelan, tapi penuh ancaman.
“Tidak, Bos.”
Gavin menatap semua orang di ruangan. “Vanesa menghilang. Produk kita dicuri. Aku yakinDamian berkhianat. Vanda menggantikan tempat kita dalam sekejap. Ini semua bukan kerja satu orang. Ini konspirasi.” Gavin sudah menduga kalau semua itu konspirasi.
Raga mencoba bicara, “Tapi, Bos... kenapa Vanesa tiba-tiba menghilang?
“Dia tidak menghilang , aku yakin dia bersembunyi di balik layar dan ikut berperan serta untuk semua yang terjadi,” jawab Gavin datar.
Disisi lain.
Di Jakarta, Karin sedang duduk di ruang kerjanya. Rambutnya digulung rapi. Di depan meja, seorang wanita cantik dengan setelan kerja elegan menyerahkan laporan desainya terbarunya.
“Bagus. Kamu cepat jugs belajar,” puji Karin sambil menatap Vanesa. Tapi dibalik tatapanya tersimpan rasa iri atas kemampuan dan kecantikan Vanesa.
Vanesa tersenyum kecil. “Oh, Vanesa, kapan kamu belajar jadi desainer. Bukanya kamu jadi dokter? Terahir aku dengar kamu sekolah kedokteran.”
‘Apa dia menyelidikku?’ tanya Vanesa dalam hati
“Aku ambil cuti kuliah, ingin bekerja dulu. Bu.”
“Bekerja jadi desainer seperti ibumu, Soraya?”
Vanesa mengepal tangan di bawa meja. Vanesa paling tidak suka ada orang menyebut nama ibunya di depannya.
“Saya punya hobby mendesain dari masih muda. Bu Karin, tidak ada hubungan dengan ibuku.”
Karin mengangguk sambil menandatangani dokumen. “Teruskan. Aku suka desain kamu.”
‘Iyalah kamu suka … karyaku diakui di Paris, kelas dunia’ batin Vanesa.
Di luar ruang kerja Karin, seorang staf membisikkan ke rekan kerjanya. “Itu si Vanesa katanya anak baru, tapi kerjaannya rapi banget. Kayak udah tahu sistem perusahaan dari lama.”
Tak ada yang tahu, kalau datang ke sana membawa kehancuran.
Malam itu, Gavin kembali ke Jakarta. Matanya merah karena kurang tidur, tapi pikirannya terlalu tajam untuk lengah. Ia duduk di ruang kerjanya sendirian. Jari-jarinya mengetuk meja, satu ketukan tiap detik.
“Vanesa...” gumamnya pelan.
Ia membuka sistem database karyawan. Mencari satu nama.
Ada seorang wanita bernama Vanya. Posisi: Asisten Manajer. Penempatan: Divisi Produk Baru. Langsung di bawah Karin. Pas diklik gambarnya ternyata yang muncul wajah Vanesa
Mata Gavin menyala. Jantungnya berdetak tak karuan. Semua titik mulai terhubung.
Dia ada di sini.
Dia di bawah hidungnya.
Tanpa tahu, Gavin mengetik satu kalimat.
“Vanesa… kamu datang ke perusahaan Ibu dengan cara yang licik. Kamu pikir kamu bisa bertahan di sini.”
Gavin mengirim beberapa foto buram pada Zidan untuk di teliti.
“Aku yakin, dia ada hubungannya dengan semua ini. Tunggulah Aku akan menemukanmu Vanesa.”
Bersambung
Thor boleh nggak Angga mati aja?
sedih aku 😭