Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Balik ?
Setelah pihak kemahasiswaan mengirimkan daftar peluang magang, Anna menghabiskan dua malam penuh untuk menyiapkan berkasnya: CV, portofolio organisasi, sertifikat kegiatan kampus, dan surat rekomendasi dari Bu Rini. Meski tubuhnya lelah dan matanya berkunang-kunang, ia memaksa diri duduk di depan laptop sampai larut malam.
Setiap kali selesai mengedit CV, ia membaca ulang berkali-kali—takut ada kesalahan, takut ada yang kurang, takut semua usahanya terlalu kecil untuk dunia yang jauh terlalu besar.
Satu-satunya hal yang membuatnya tetap bergerak adalah bayangan ayah dan ibunya—dan ketakutan bahwa bila gagal, ia harus kembali ke kampung, meninggalkan semua mimpinya.
⸻
Seleksi pertama yang ia coba adalah di sebuah perusahaan rintisan dalam bidang pemasaran digital. Tidak besar, tetapi cukup untuk memberinya harapan.
Anna datang dengan pakaian rapi: kemeja putih murah, celana hitam yang sudah memudar warnanya, dan sepatu flat yang tumitnya sedikit robek tapi ia sembunyikan dengan langkah hati-hati.
Sayangnya, begitu ia tiba di ruang wawancara, ia bisa merasakan tatapan para pewawancara. Tatapan cepat dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Tatapan yang menilai. Tatapan yang mengukur.
Dan Anna tahu sejak awal bahwa ia berada di kategori tidak menarik bagi standar mereka.
Ketika wawancara selesai, Anna sudah bisa menebak hasilnya sebelum email pengumuman datang.
“Dengan berat hati… kualifikasi Anda belum sesuai dengan kebutuhan perusahaan.”
Itu penolakan pertama.
**
Kesempatan kedua datang dari perusahaan distributor barang kebutuhan rumah. Lebih stabil, reputasi lumayan, dan jam kerjanya fleksibel—kriteria sempurna bagi mahasiswa seperti Anna. Ia mempersiapkan diri lebih baik kali ini, bahkan menyempatkan pergi ke salon murah untuk merapikan rambut hanya dengan lima belas ribu rupiah.
Ia bahkan meminjam blazer dari senior organisasi agar terlihat lebih profesional.
Namun begitu masuk ruang interview, kejadian pertama terulang.
Para pewawancara tidak melihat CV terlalu lama. Mereka justru lebih lama memandang wajah Anna yang pucat dan kulit tangannya yang kasar bekas deterjen dari piring-piring warung ibu kos.
Beberapa kali mereka saling pandang, lalu tersenyum sopan namun dingin.
Satu jam setelah pulang, ia menerima email penolakan bahkan sebelum sempat melepas sepatu.
Alasannya lebih halus, tapi tetap menyakitkan:
“Profil Anda belum sesuai dengan citra yang ingin kami tampilkan kepada klien.”
Anna memegang telepon lama, menatap layar sambil menahan napas.
Belum sesuai citra.
Kata-kata yang menusuk itu membuat perutnya seperti ditinju. Ia tahu maksudnya. Ia tahu standar yang tidak tertulis itu. Mereka menginginkan kandidat yang terlihat meyakinkan—cantik, bersih, mempesona.
Dan Anna… tidak lagi seperti itu.
Sejak hari itu, ia menghabiskan malam dengan menangis pelan, takut ketahuan Lusi, takut tampak lemah, takut semua perjuangannya benar-benar sia-sia.
⸻
Namun kesempatan terakhir datang dari perusahaan yang bahkan tak berani ia impikan:
Sovereign Group.
Perusahaan besar yang baru menjalin kerja sama dengan kampusnya—perusahaan yang dikenal dengan standar tinggi, proses seleksi ketat, dan lingkungan kerja profesional kelas atas.
Saat melihat selebaran digital dari kemahasiswaan, Anna langsung ciut.
“Sovereign Group? Serius?” gumamnya pada Lusi.
“Coba dulu, An. Ini perusahaan gede banget, uang sakunya juga tinggi. Siapa tau rezeki lo.”
“Gue takut ditolak lagi,” kata Anna pelan.
Lusi menepuk pundaknya. “Udah lah… lo udah menderita sejauh ini. Sekali ini, jangan mikir jelek dulu.”
Tapi Anna tetap gentar.
Dua perusahaan lebih kecil saja menolaknya. Bagaimana mungkin perusahaan sebesar Sovereign mau melirik gadis yang bahkan tidak punya bedak layak untuk menutupi lingkar matanya?
⸻
Malam itu, sebelum mengisi formulir pendaftaran online, Anna menatap uang tabungan kecil yang diberi ibunya. Hanya sisa tiga lembar seratus ribu—uang yang seharusnya digunakan untuk makan selama beberapa hari.
Tapi demi penampilan yang layak, ia harus mengambil risiko.
Ia pergi ke toko sewa pakaian formal di dekat kampus. Dengan seratus ribu rupiah, ia menyewa satu set jas hitam yang pas di tubuhnya—tidak terlalu baru, tapi jauh lebih baik dari pakaian seadanya yang ia punya.
Setelah itu, ia pergi ke toko kosmetik kecil.
“Kamu cari apa?” tanya penjaga.
“Makeup yang… yang murah tapi bisa nutupin mata panda,” jawab Anna malu-malu.
Penjaga itu memberinya concealer murah, bedak padat, dan lip cream tipis warna natural.
Total belanja: delapan puluh lima ribu.
Anna menatap sisa uang di tangannya, hati terasa perih.
Uang itu hasil kerja keras ibunya membuat kue pesanan tetangga—tangan yang kerap melepuh terkena oven panas, tubuh yang sering pegal berdiri berjam-jam demi menambah seribu atau dua ribu rupiah keuntungan.
Ia menggenggam kosmetik itu erat-erat.
“Ma… semoga uang ini jadi berkah, ya,” bisiknya lirih. “Bukan cuma habis sia-sia.”
⸻
Hari pendaftaran tiba.
Anna duduk di meja kecil kontrakannya, memulai aplikasi online untuk program magang Sovereign Group. Tangan kirinya memegang mouse, tangan kanan memegang kertas catatan yang dibuatnya bersama Lusi.
Ia mengetik dengan hati-hati.
Nama lengkap. IPK. Pengalaman organisasi. Deskripsi diri.
Ia berusaha jujur namun tetap menonjolkan sisi kuatnya: disiplin, pekerja keras, mampu bekerja di bawah tekanan—sebuah kalimat yang bahkan membuatnya tersenyum pahit karena tekanan yang ia hadapi jauh lebih berat dari pekerjaan manapun.
Setelah mengunggah CV dan esai motivasinya, ia menekan tombol Submit.
Jantungnya seakan berhenti.
Satu detik… dua detik… kemudian layar menampilkan pesan:
“Berkas Anda berhasil dikirim.”
Anna menutup laptop, menarik napas dalam-dalam. Ia tahu harapannya kecil. Tapi setidaknya ia sudah mencoba.
⸻
Dua hari kemudian, saat ia baru saja pulang dari shift driver online yang sepi orderan, ponselnya berbunyi.
Notifikasi email.
Anna berdiri kaku di depan pintu kontrakan, keringat masih mengalir di pelipis.
Dengan tangan gemetar, ia membuka email itu.
Huruf-huruf di layar seakan berpendar:
“Selamat! Anda dinyatakan lolos tahap administrasi Program Magang Sovereign Group.”
Anna menutup mulutnya, lututnya hampir goyah. Ia merasakan dadanya menghangat, sesuatu yang lama tidak ia rasakan:
Harapan.
“An? Lo kenapa?” Lusi keluar dari kamar, melihat Anna memegang ponsel sambil gemetaran.
Anna menatapnya dengan mata berbinar, suara bergetar, “Gue… gue lolos, Lus…”
“APA??!” Lusi memekik, langsung memeluknya. “Gila! Lo lolos? Sovereign Group, An! Itu perusahaan kelas kakap!”
Anna mulai menangis—tapi kali ini bukan karena kecewa, bukan karena takut. Melainkan karena untuk sekali lagi dalam hidupnya, semesta seolah membuka celah kecil di tengah badai besar.
Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum ia melihat kalimat terakhir dalam email:
“Anda dijadwalkan mengikuti interview akhir secara langsung.”
Interview.
Tahap yang menentukan segalanya.
Tahap yang selama ini paling fatal untuknya.
Anna menatap jas sewaan di lemari kecilnya, lalu menatap makeup di meja.
Tangannya mengepal.
“Aku harus siap… kali ini aku harus benar-benar siap.”
Karena bila ia gagal lagi, semuanya berakhir.
Dan ia tidak boleh gagal.
Tidak kali ini.
Tidak ketika pintu besarnya sudah setengah terbuka.