Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGUMPULKAN MODAL - HIDUP SUPER HEMAT
Keesokan harinya, Fajar memulai misi yang paling brutal dalam hidupnya: hidup super hemat ekstrem.
Ia membuat aturan ketat untuk dirinya sendiri:
PENGELUARAN MAKSIMAL PER HARI: RP 5.000
Itu artinya:
Makan hanya sekali sehari (di warung dapat makan gratis dua kali, jadi hanya butuh jajan minimal)
Tidak boleh beli apapun selain air minum
Jalan kaki ke kampus—hemat ongkos sepeda (bensin)
Hari pertama, Fajar mencoba aturan barunya.
Pagi hari, ia tidak sarapan. Perutnya keroncongan tapi ia abaikan. Ia minum air putih dari keran sebanyak mungkin sampai perutnya terasa penuh—trik yang diajarkan ibunya dulu saat mereka tidak punya uang untuk makan.
Jam tujuh pagi, ia berjalan kaki ke kampus. Jarak dari kos ke kampus sekitar 5 kilometer. Biasanya naik sepeda butuh 40 menit. Jalan kaki? Satu setengah jam.
Ia berangkat jam 6 pagi agar sampai kampus jam setengah delapan—tepat waktu untuk kuliah jam 8.
Kakinya sudah pegal di kilometer ketiga. Sepatu bolongnya membuat telapak kakinya langsung merasakan aspal yang panas. Terik matahari membuat keringatnya bercucuran. Kepalanya pusing—efek dari perut kosong dan jalan terlalu jauh.
Tapi ia terus jalan. Tidak berhenti.
Ini untuk modal. Ini untuk masa depan.
Sampai di kampus, ia langsung ke toilet, membasuh wajah dan leher dengan air keran. Kemudian ia ke perpustakaan, duduk di spot favoritnya, meletakkan kepala di atas meja sebentar untuk istirahat sebelum kuliah dimulai.
Amara yang kebetulan datang pagi itu melihat Fajar tertidur di meja dengan wajah sangat pucat.
"Fajar?" panggilnya pelan sambil menggoyangkan bahu Fajar lembut.
Fajar terbangun dengan tersentak. "A-Amara? Maaf, aku ketiduran."
"Kamu... kamu pucat banget. Kamu sakit?" tanya Amara dengan nada khawatir.
"Tidak. Aku baik-baik saja," bohong Fajar sambil tersenyum paksa.
Tapi Amara tidak percaya. "Kamu udah makan belum hari ini?"
Fajar terdiam.
"Belum kan?" Amara langsung membuka tasnya, mengeluarkan kotak bekal. "Ini. Aku bawa roti isi. Kebetulan aku buat dua. Satu buat kamu."
"Tidak usah. Aku—"
"Terima aja," potong Amara tegas. Ia meletakkan roti itu di depan Fajar. "Kalau kamu nggak mau, aku bakalan kesal."
Fajar menatap roti itu dengan mata berkaca-kaca. Roti isi sederhana—roti tawar dengan selai kacang dan potongan pisang. Tapi bagi Fajar yang perutnya sudah keroncongan sejak semalam, ini adalah makanan terindah di dunia.
"Terima kasih," bisiknya dengan suara bergetar.
Ia makan roti itu dengan perlahan, berusaha tidak terlihat terlalu lahap meskipun ingin sekali melahapnya dengan cepat.
Amara duduk di sebelahnya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kekhawatiran. Ada kesedihan. Ada sesuatu yang lain yang Fajar tidak mengerti.
"Fajar," kata Amara pelan. "Kamu... kenapa sih? Kenapa kamu kayak lagi nyiksa diri sendiri?"
Fajar berhenti mengunyah. Ia menelan ludah.
"Aku lagi kumpulin modal," jawabnya jujur. "Untuk usaha kecil-kecilan."
"Usaha apa?"
"Laundry kiloan. Khusus mahasiswa. Murah, jujur, berkualitas."
Mata Amara berbinar. "Itu ide bagus! Emang banyak mahasiswa yang butuh jasa kayak gitu."
"Iya. Makanya aku harus kumpulin modal dulu. Target aku dua juta lima ratus ribu. Dalam empat bulan."
"Dan kamu hidup super hemat untuk itu?"
Fajar mengangguk.
Amara terdiam lama. Kemudian ia berkata dengan suara pelan tapi tegas: "Aku respect keputusanmu. Tapi jangan sampai sakit. Kalau kamu sakit, semua usahamu sia-sia."
"Aku akan hati-hati," janji Fajar.
Tapi janji itu sulit ditepati.
Minggu-minggu berikutnya adalah minggu terberatnya.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.