Jejak Luka Sang Mafia
Di pelataran altar yang dihiasi tirai putih dan kristal, seorang pria berdiri mematung. Jas kerem yang membalut tubuh tegapnya tidak mampu menyembunyikan kegugupan di balik wajah dinginnya. Gavin Alvareza. Pria berusia dua puluh tujuh tahun, tampan dengan sorot mata biru tajam yang biasanya tak tergoyahkan, kini menatap nanar ke pintu masuk.
Tangan Gavin berulang kali menggenggam ponsel. Sudah lebih dari lima belas kali dia mencoba menghubungi Vanesa—tunangan sekaligus wanita yang dicintainya. Namun tidak ada jawaban. Sama sekali tidak ada kabar.
“Gavin…” suara Felix, sahabat sekaligus orang kepercayaannya, terdengar pelan, hampir tak terdengar.
Gavin tidak menoleh. “Dia bilang akan datang jam satu,” gumamnya, nyaris pada dirinya sendiri.
“Vanesa tidak ada di rumahnya. Semua keluarganya juga pergi dari pagi,” ucap Felix akhirnya, dengan napas berat.
Darah Gavin berdesir dingin. Jemarinya mengeras menggenggam buket mawar putih yang seharusnya menghiasi dada Vanesa. Para tamu mulai berbisik, pembuka agama pun sudah tiga kali menanyakan kapan acara dimulai.
Hampir dua jam berlalu. Tak ada jejak Vanesa. Tak ada kabar. Tak ada permintaan maaf. Hanya diam, hanya ketidakhadiran yang menyiksa. Wajah Gavin yang biasanya datar kini mengeras. Mata birunya membeku, menyimpan badai yang akan segera meledak.
Dengan satu gerakan tegas, Gavin mencabut bunga dari saku jasnya, melemparnya ke lantai. Dentuman sepatunya bergema di lorong ketika ia meninggalkan gedung, menapaki marmer putih seperti seorang eksekutor yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.
“Kita pulang,” ucapnya tanpa menoleh.
Felix hanya bisa menganguk patuh , lalu mengikuti Gavin. Ia seolah tidak percaya kalau Vanesa aka meninggalkannya di hari pernikahan mereka. Tadi malam sebelum pernikahan mereka saling berjanji akan bahagia di pernikahan.
“Pak, kita ke mana?” tanya Raga, menahan napas.
“Kita ke rumah Vanesa, saya ingin memastikan apa alasan dia tidak datang ke pernikahan kami.”
Tanpa bertanya dan tanpa berpikir panjang mobil mewah berwarna hitam melaju ke kediaman keluarga Vanesa. Walau sebenarnya anak buahnya sudah tahu kalau rumah itu sudah kosong. Tapi mereka membiakan Gavin melihat dengan mata sendiri.
Melihat rumah itu kosong Gavin mengepal tangannya dengan marah. Terus menelpon Vanesa dan keluarganya namun tidak ada jawaban.
**
Di tempat lain, sekitar dua jam sebelum acara dimulai...
Vanesa Darmawan, gadis anggun berusia dua puluh lima tahun, sedang duduk di kursi belakang sebuah mobil klasik, mengenakan gaun pengantin putih berenda. Wajahnya cantik, lembut, namun matanya menyiratkan kegelisahan yang dalam. Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela.
“Kita akan menikah hari ini, Gavin,” bisiknya pada dirinya sendiri, senyum gugup terbit di wajahnya.
Namun, sebelum sempat mobil itu tiba di tempat acara, kendaraan mereka diadang di jalan tol oleh dua SUV hitam. Tiga pria bertopeng menyerbu keluar, menghampiri mobilnya.
“Apa-apaan ini?!” teriak supirnya, namun sebelum sempat bertindak, dia sudah dipukul hingga pingsan.
Pintu belakang dibuka dengan kasar. Vanesa menjerit saat seseorang menariknya keluar.
“Lepaskan aku! Siapa kalian?!”
Satu suara menjawab dari balik topeng, tapi suara itu tidak asing.
“Vanesa, ini aku.”
Vanesa membeku. “Kak Angga?”
Angga membuka topengnya. Wajah kakaknya dipenuhi amarah.
“Kamu tidak bisa menikah dengan Gavin!”
“Apa?! Kenapa, Kak?” Vanesa meronta, berusaha melepas cengkeraman Angga.
“Karena dia musuh keluarga kita, dan bukan cuma itu…” napas Angga terengah. “Hari ini… Mami dan Ayah Gavin juga menikah.”
Vanesa tercengang. “Apa maksud Kak?”
“Ya. Soraya... Mami kita... menikah dengan Hendra Mahesa. Mereka sudah menjalin hubungan lama di belakang kita semua. Dan sekarang, mereka resmi jadi suami istri. Kamu mau jadi istri anak tirinya, Vanes?”
Deg.
Dunia Vanesa runtuh. Gaun putih yang ia kenakan terasa seperti kain duka. Air mata mengalir pelan di pipinya.
“Tidak mungkin… Mami... Dia tahu aku mencintai Gavin…”
“Dia tidak peduli. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri,” ujar Angga dingin. “Ayo ikut kami. Jangan rusak harga diri keluarga ini hanya demi cinta.”
Meski hatinya remuk, Vanesa tak mampu melawan. Ia tahu ayahnya, Krito Darmawan, juga menunggu di mobil lain bersama Zein. Wajah laki-laki itu sedih dan suram s etelah tahu kalau istri dan sahabatnya menghianatinya. Vanesa berlari menghampiri sang ayah.
“Papi … katakan sesuatu itu tidak benar kan? Mami tidak mungkin melakukan hal gila seperti itu,” ucap Vanesa dengan napas tercekat dadanya terasa di remas.
“Kita pergi dari sini Nak, kamu tidak boleh melakukan itu,” ucap Krito dengan tatapan kosong.
“Katakan padaku. Apa itu benar?”
Adik laki-lakinya memperlihatkan sebuah video dari ponselnya. Akhinya semuanya sudah jelas dan sudah terjadi.
‘Bagaimana ini? Bagaimana dengan Gavin?’ tanya Vanesa dalam hati.
Mereka membawanya pergi dari kota, jauh dari Gavin, jauh dari pelaminan, dan jauh dari impiannya.
**
Tiga hari berlalu. Hujan deras mengguyur atap rumah keluarga Mahesa di kawasan elit Jakarta Selatan. Di ruang kerja yang luas dan gelap, Hendra Mahesa duduk santai dengan setelan pernikahan yang masih tersampir di kursi. Di tangannya, selembar surat cerai.
Laura, istri sahnya, berdiri kaku di hadapannya.
“Kau serius ingin cerai, Hendra?” suaranya bergetar.
Hendra tak menatapnya. “Aku sudah menikah dengan Soraya.”
Laura terisak. Tangan gemetar meremas surat itu. Ia keluar dari rumah, menaiki mobil, dan dalam pelariannya, menelepon Gavin.
“Gavin…”
“Iya, Bu?”
“Kamu bilang kamu akan menikahi Vanesa… kamu bilang akan memberiku cucu… Tapi sekarang… sekarang Soraya merebut suamiku!” Tangisnya meledak.
Gavin memejamkan mata, tubuhnya bergetar.
“Maafkan aku, Bu… Aku janji... suatu saat nanti aku akan menikahinya... dia akan melahirkan anakku.”
Namun saat telepon ditutup, Gavin tak tahu kalau ibunya sedang berada di atas atap sebuah gedung apartemen. Dunia terasa terlalu berat bagi Laura. Dikhianati sahabat sendiri, ditinggal suami, dan kehilangan harapan satu-satunya pada pernikahan anaknya.
Laura melangkah ke tepi… dan melompat.
Keesokan harinya, tubuhnya ditemukan hancur. Gavin tiba di lokasi dan jatuh berlutut di atas aspal basah. Matanya merah, rahangnya mengeras.
“Vanesa…” bisiknya, penuh luka.
Bibirnya gemetar, tangan mengepal.
“Kau penyebabnya…”
Felix mencoba menahannya. “ Pak Gavin, sabar. Kita nggak tahu alasan Vanesa—”
“Dia lari. Dia tinggalkan aku. Ibuku mati karena itu.”
Gavin bangkit perlahan. Dingin. Sorot matanya berubah. Sorot mata seorang pria yang baru saja kehilangan cinta dan ibu dalam waktu bersamaan.
“Aku akan balas. Bukan hanya pada Vanesa... tapi pada semua keluarganya.”
**
Dari langit yang tadinya cerah, kini awan mendung mulai menggulung. Masa depan yang semula diwarnai harapan kini berubah menjadi medan dendam.
Gavin Alvareza bukan lagi calon pengantin yang patah hati. Dia telah kembali menjadi Gavin yang dikenal dunia mafia: pria bermata biru yang dingin, tak kenal belas kasihan, dan tidak akan pernah membiarkan siapa pun lolos dari luka yang ditorehkan padanya.
Dan di tempat jauh, Vanesa duduk termenung di loteng sebuah rumah tua di kota kecil. Gaun pengantin yang belum sempat ia kenakan di altar, masih tergantung di sudut lemari. Hatinya kosong. Ia belum tahu. Belum tahu bahwa kehilangan yang lebih besar sedang menantinya.
Dan bahwa cinta yang dulu hangat, kini membara dalam api dendam.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Bella syaf
awal cerita yang bagus, kasihan Gavin dan vanesha 🥲
2025-06-12
0
Mamanya Raja
lanjut Thor sepertinya ceritanya bagus
2025-06-09
0