Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa ?
Raga mengikuti langkah Ibu dari belakang, menyusuri jalan setapak semakin samar diterpa senja. Jarum jam tangan baru saja menunjukkan pukul 17.00, namun di dalam hutan ini, waktu berjalan lebih cepat, digulung oleh bayang-bayang merayap keluar dari balik setiap pepohonan rimbun.
Kegelapan mulai merembes, bukan hanya menghitamkan pemandangan, tetapi juga mendinginkan udara menusuk tulang. Untung tadi nalurinya mengatakan membawa lampu senter. Nyala kuning temaram memotong kegelapan semakin pekat, menyisakan kolom cahaya sempit mengais-kais ketidakpastian di depannya.
Tidak lebih dari sepuluh meter mereka meninggalkan pagar makam moyang, tiba-tiba saja telinganya menangkap sumber bunyi, awalnya hanya desis angin berseliweran di antara dedaunan, tetapi secara perlahan berubah menjadi riuh di kedalaman hutan yang gelap.
Raga mencoba memusatkan pendengaran. Itu bukan suara penghuni hutan tetapi seperti keramaian gemuruh samar pasar yang ramai, atau riuh rendah pesta hajatan di tengah rimba. Tetabuhan, riuh percakapan banyak orang, dan gelak tawa cekikikan membuat bulu kuduknya bergidik naik.
Tubuhnya tiba tiba saja terpaku di tanah, tanpa sebab. Seluruh inderanya siaga, menangkap arah dan makna dari suara-suara asing, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanyalah halusinasi, tipuan pendengaran karena kelelahan dan ketegangan. Namun, suara itu bukannya menghilang, malah semakin menjadi, merambat di udara lembab, semakin jelas dan nyata bergerak mendekat. Desing nya mulai menusuk gendang telinga, berbaur dengan denyut nadinya sendiri.
Tubuh Raga gemetar bagai diguncang arus listrik. Dadanya berdebar-debar kencang, suaranya menggema dalam tulang rusuk, menyaingi keriuhan dari dalam hutan. Keringat dingin memancur deras dari setiap pori-pori membasahi kening dan pelipis membuat bajunya basah.
Ia ingin berteriak, memanggil Ibu beberapa langkah di depan. Namun, mulutnya terkunci mati. Bagai tangan tak kasat mata mencekik kerongkongannya, mencegat setiap usaha bibirnya untuk bercakap.
Di tengah kepanikan itu, otaknya berusaha mencari pegangan. Segala macam doa dan zikir yang diajarkan Angku—mantra perlindungan dari dunia lain—berlarian di benaknya.
Ia menjejal kalimat-kalimat suci dalam hati, berulang-ulang, menyebut nama Allah sebagai tameng dari kengerian. Astagfirullahal'azim... La haula wala quwwata illa billah...
Dan kemudian, seperti jawaban dari doa yang terburu-buru, siluet tubuh Ibu terlihat jelas dalam sorot senter mulai berkedip. Itu cukup untuk memecahkan kekakuan yang melanda dan akhirnya keluar dari kerongkongan tercekat.
"Ibu! Tunggu Raga"
Suaranya parau dan kecil, bagai bisikan anak kupu-kupu di tengah badai. Namun perempuan itu hanya diam terus melangkah Apakah suaranya terbawa angin tiba-tiba berhembus kencang? Atau memang bisu oleh kekuatan tak kasat mata?
"Ibu..."
Dia tidak juga berbalik, langkahnya semakin mantap berirama sama, lurus ke depan, menyusuri jalur setapak semaki hilang dalam kegelapan, seakan akan teriakannya hanya angin lalu.
Raga panik berubah menjadi keputusasaan. "IBU!" teriaknya sekali lagi, lebih keras, yaris terkikis menjadi isakan. Hasilnya sama: kesia-siaan. Ibu tetap menjadi sosok menjauh, bagai hantu terseret arus pemandu tak terlihat.
Tidak, ia tidak mau ditinggal di sini sendiri. dengan keramaian mistis alam makhluk ghaib.
Dengan sisa-sisa kekuatan tersisa di tungkai dia mematikan lampu senter—entah mengapa, tindakan bodoh dalam keputusasaan—lalu berlari kecil tidak perduli berlari menyusuri tanah tak terlihat, hampir tersandung akar dan batu. Nafasnya tersengal, jantungnya berdebar kencang meledak dari dada. Sorot matanya hanya tertuju pada satu titik: punggung Ibu yang semakin dekat.
Tangannya terulur, menyentuh pundak dari belakang, menariknya agar berhenti sekedar menengok ke arahnya, menyelamatkannya dari ketakutan ini.
"Bu—!"
Sosok itu berbalik.
Dan segalanya berhenti.
Teriakan Raga tercekik di tenggorokan, berubah menjadi desisan nafas tertahan. Aneh nya sorot senter tanpa disadari hidup kembali, menyinari wajahnya.
Astagfirullahal'azim...Ia mengucap didalam hati Itu... bukan Ibu, melainkan seorang gadis pucat di pahat batu. Kulitnya putih bagai bulan, kontras dengan rambut hitam pekat tergerai di bahu. Bibirnya merah merona, membentuk senyum kecil, dan matanya Itu membuat darah Raga membeku. Matanya hitam, dalam, dan kosong, bagai dua sumur tua menenggelamkan cahaya.
Bibirnya berucap gemerisik dedaunan menusuk hingga ke tulang sumsum.
"Abang Raga, "Apakah Ayah sudah setuju?"
Pertanyaan menggantung di udara dingin, penuh makna dari mimpi buruk. Dunia di sekelilingnya berputar. Keramaian dari dalam hutan tiba-tiba terdengar sangat dekat, berdiri di tepiannya.
laki laki itu terpaku menghantam kesadaran sudah di ujung tanduk. Kegelapan, akhirnya, menyelesaikan tugas merasakan tanah dingin menyambut jatuh laki laki itu.