Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Jangan Terjebak
“Shanum,” ucapnya pelan. “Kalau saya bilang saya akan memundurkan semua rencana pernikahan itu, sampai anak kamu lahir. Apakah kamu bakal percaya?”
Gadis itu mendongak, matanya membulat. “Apa?”
“Saya … akan memberitahukan hari ini pada Meidina.”
Shanum nyaris tidak bisa berkata-kata. “Bapak serius?”
Ervan mengangguk. “Serius.”
“Kenapa?”
Pria itu terdiam sejenak, tampak berpikir. Sedangkan Shanum menatap wajah suaminya dengan sorot mata penasaran.
“Ini orang kena angin apa ya? Dalam semalam bisa berubah begitu. Apakah dia sejenis bunglon yang bisa berubah setiap waktu? Ah, bikin Shanum pusing kalau begini. Shanum tidak mengharapkan apa pun dalam hubungan ini. Sekarang, yang diinginkan Shanum adalah cepat-cepat bercerai saja. Dan tidak mau terlibat lebih dalam lagi dengan keluarga majikan ayah,” pikir batin Shanum.
Belum ada tanggapan dari Ervan, ponsel miliknya berdering. Terpaksa ia melangkah mundur mengambil ponsel di atas meja.
“Mama.” Nama ini tertera jelas di layar ponselnya.
Ervan menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya, dan menerima panggilan telepon dari mamanya.
“Halo, Mah.”
“Ervan, kamu sekarang ada di mana? Mama tadi baru tahu dari pak Wisnu kalau semalam kamu tidak pulang?” cerocos Mama Diba.
“Jangan bilang kamu tinggal sama perempuan itu di rumahnya!” lanjut kata Mama Diba terdengar emosi.
Shanum meski tidak mendengarkan jelas, bisa menebak siapa menelepon suaminya, dan siapa yang dimaksudkan oleh si penelepon.
Sekilas Ervan melirik Shanum yang kini tiba-tiba saja menurunkan kedua kakinya. Ia lantas bergegas mendekat kembali, dan menahan tubuh istrinya untuk tidak turun tanpa permisi.
Gadis itu pun mendongak, menatap kesal pada Ervan. “Aku semalam menginap di apartemenku, Mah. Tidak tinggal di rumahnya. Memangnya ada apa tiba-tiba Mama bertanya seperti itu?” tanya Ervan sembari menatap Shanum lekat-lekat.
“Ya, kali saja kamu mau coba berpaling dari Meidina. Wajar kan kalau Mama khawatir kalau kamu masuk dalam jebakan perempuan miskin itu. Cukup adikmu saja yang pernah terjebak, kamu jangan ikutan terjebak.”
Shanum tergelak tawa sembari memalingkan wajahnya, Ervan terdiam dalam beberapa detik. Apakah aku mulai ikut terjebak? Selintas pertanyaan itu hadir di benaknya.
“Ervan, kamu dengar Mama, kan?”
“Eh, iya Mah.” Pikiran itu langsung buyar.
“Mama nanti siang mungkin akan menjemput perempuan itu. Mungkin ada baiknya dia tinggal di mansion. Dan, kamu tidak perlu khawatir. Ini demi keamanan kamu dan keluarga kita,” lanjut kata Mama Diba dengan tatapan sinisnya di balik telepon.
Ervan terpaksa menarik diri dari depan Shanum, karena sudah mulai merasa suara Mamanya terdengar jelas oleh Shanum.
“Mah, sebaiknya kita bicarakan lagi di mansion. Aku harus bersiap-siap berangkat kerja.” Ervan langsung memutuskan sambungan teleponnya, dan langsung berdiri di hadapan Shanum yang kini telah berdiri.
“Kamu mau ke mana lagi?” Ervan menyentuh lengan Shanum, tapi ditepis olehnya.
“Pak Ervan, tidak perlu sok memberikan perhatian pada Shanum. Sebaiknya dengarkan kata perintah dari mamanya. Jangan sampai terjebak oleh Shanum,” sindirnya sembari menurunkan kantong infusnya.
“Jadi tadi kamu menguping?” tuding Ervan.
“Ck, lebih tepatnya terdengar jelas, bukan menguping. Telinga Shanum masih sehat, tidak tuli. Kalau enggak mau terdengar ... ya terima teleponnya di luar bukan di sini,” jawab Shanum dengan ketusnya. “Minggirlah, Shanum mau lewat!” Gadis itu mendorong tubuh pria tersebut.
“Mau ke mana? Biar saya bantu.” Ervan tidak mau minggir, justru semakin menghadangnya.
Baru saja Shanum mendorong tubuh Ervan agar bisa lewat, suara ketukan lembut terdengar dari pintu. Belum sempat Ervan merespons, pintu itu sudah terbuka perlahan, memperlihatkan seorang perawat muda membawa nampan berisi sarapan dan alat tensi digital di tangannya.
“Permisi, selamat pagi. Saya antar sarapan dulu ya, Bu Shanum,” ucap perawat itu ramah.
Shanum mengalihkan pandangannya ke arah perawat. Wajahnya datar, meski di balik itu ada rasa lega karena perdebatan dengan Ervan bisa sejenak dialihkan.
“Pagi,” gumamnya pendek.
Perawat itu mendekat, meletakkan nampan sarapan di meja kecil di samping ranjang Shanum. Aroma roti panggang, bubur sum sum, dan telur rebus menguar lembut, sedikit menggugah selera meski Shanum tak terlalu lapar. Sementara itu, Ervan hanya bergeming di tempatnya berdiri, matanya terus mengikuti perawat yang kini mulai menyiapkan alat tensi.
“Maaf, Bu Shanum. Sebelum makan, saya ingin cek tekanan darah dulu ya,” kata perawat itu, tersenyum sambil menarik lengan Shanum dengan hati-hati.
Namun Shanum tiba-tiba menahan tangan perawat itu. “Saya mau ke kamar mandi dulu, Sus,” ucapnya lirih tapi tegas.
“Oh … baik, Bu. Tapi… maaf sebelumnya, sesuai catatan dokter Karina, Ibu belum boleh turun dari ranjang sendiri sampai ada pemeriksaan lebih lanjut. Mohon maaf, ini demi keselamatan Ibu dan janinnya,” jelas perawat dengan hati-hati.
Shanum mengernyit, tampak kesal. “Tapi saya benar-benar harus buang air besar. Enggak mungkin saya tahan, Sus.”
Perawat itu terlihat bingung, melirik ke arah Ervan yang masih berada di dekat tempat tidur.
“Kalau boleh tahu, ini suami Ibu?” tanyanya hati-hati.
Shanum refleks ingin membantah, tapi suaranya tercekat. Ervan langsung menanggapi.
“Bukan. Saya Ervan, kakak suaminya Shanum.”
Perawat mengangguk lega. “Kalau begitu … Pak Ervan, bisa bantu Ibu Shanum ke kamar mandi? Mohon maaf, saya tidak bisa bantu langsung mengangkat karena keterbatasan petugas perempuan pagi ini. Tapi Bapak bisa bantu gendong. Setelah itu, saya bantu jaga pintu kamar mandinya dari luar.”
Shanum menoleh cepat, wajahnya memerah. “Enggak usah. Saya bisa sendiri.”
“Shanum,” potong Ervan pelan, nada suaranya lebih sabar. “Enggak usah maksa. Ini bukan masalah bisa atau enggak, tapi aman atau enggak.”
Perawat mengangguk menegaskan. “Benar, Bu. Kami cuma ingin menjaga agar tidak terjadi kontraksi atau pendarahan mendadak.”
Shanum menggertakkan gigi. Rasanya harga dirinya diinjak-injak. Tapi di sisi lain, tubuhnya memang terasa berat, tulang pinggulnya nyeri, dan kaki kirinya terasa seperti kesemutan sejak semalam.
Ia akhirnya diam. Tidak menyanggupi, tidak juga membantah.
Ervan menatap perawat dan mengangguk. “Saya bantu.”
Dengan perlahan, Ervan mendekat, lalu mengulurkan kedua tangannya. “Saya cuma mau bantu.”
Shanum tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, tapi tubuhnya tetap diam di tempat. Isyarat setuju tanpa kata.
Ervan membungkuk, satu tangan menyelip di bawah punggung Shanum, dan satu lagi di bawah lututnya. Dengan gerakan hati-hati, ia mengangkat perempuan itu ke dalam pelukannya.
Tubuh Shanum ringan, tapi ada ketegangan yang jelas terasa. Bukan karena beban tubuhnya, tapi karena jarak yang terlalu dekat di antara mereka.
Wajah Shanum nyaris bersandar di bahu Ervan, namun ia menegakkan leher, menolak untuk terlihat lemah. Sementara itu, dada Ervan terasa sesak oleh banyak hal—waktu, penyesalan, dan rasa yang tidak bisa ia beri nama.
Perawat membukakan pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar rawat itu, lalu menunggu di depan pintu sambil tetap menjaga privasi.
Begitu berada di dalam, Ervan dengan pelan menurunkan Shanum ke atas dudukan kloset, memastikan tubuhnya tidak oleng. “Kamu aman?” bisiknya lembut. Dan, tanpa sengaja bibir Ervan menyentuh pipi Shanum, seakan mengecupnya saat menegakkan punggungnya.
Degh!!
Bersambung ... ✍️
ternyata papa Wijat lebih bijak menyikapi permasalahan Shanum terlepas dr kesalahan Reinaldi d banding anda pa Aiman!!!
hidup tersakiti bahkan sama dua orang kaka beradik skaligus,,begitu miris hidup Shanum d lecehkan oleh Reinaldi,,d tekan oleh Ervan, d hina ma Meidina dn d caci maki ma bu Diba..bahkan orangtua sendiri mengusir nya,,,tp TIDAK dengan papa Wijat..dengan penuh kasih sayang papa Wijat merangkul Shanum jangan sampe terpuruk lebih jauh,,dengan penuh kasih papa Wijat memberikan ketenangan..bahkan papa Wijat pasang badan utk Shanum jika ada yg berani menyakiti nya 🥺...kasih sayang papa Wijat melebihi kasih sayang orangtua kandung 😥
bangkitlah Nuuum,,jangan kecewakan papa Wijat yg begitu sayang ma kamu layak nya puteri sendiri..tunjukan pada orang2 yg telah menyakiti muuu 🥺💪💪