Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Spin Off #2 : Diantara Rak Buku dan Papan Catur
Perpustakaan sunyi, hanya diiringi gemerisik halaman yang dibalik dan ketukan pelan pena di atas kertas. Cahaya matahari menyelinap melalui jendela-jendela lengkung yang tinggi, memandikan deretan rak buku dalam sinar keemasan. Zahard dan Elara duduk di meja mereka seperti biasa—sebuah kesepakatan tak terucapkan setelah berhari-hari sesi belajar yang setengah hati.
Elara sibuk menulis catatan di lembaran bergaris, sesekali mendorong kacamatanya lebih tinggi ke pangkal hidung. Di seberangnya, Zahard bersandar sedikit ke kursinya, jari-jarinya saling bertaut dalam diam. Rambut perak-putihnya memantulkan cahaya, dan mata birunya yang tajam melirik sekilas ke kertas Elara sebelum kembali berpaling.
Selama seminggu terakhir, diskusi mereka lebih mirip duel, masing-masing mengukur kekuatan lawan. Zahard, dengan sinisme khasnya, menyusun argumen dengan ketelitian yang kejam. Elara, si idealis pendiam, melawan dengan keteguhan yang tak tergoyahkan. Mereka jarang sepakat, tapi setidaknya, debat mereka mulai terasa... bisa ditoleransi.
Tetap saja, keheningan sering menggantung di antara mereka, sebuah ketegangan samar yang tak ada di antara siswa lain.
Elara berhenti menulis, tepat saat Zahard tampak memperhatikan sesuatu di belakangnya. Mengikuti arah pandangannya, dia menoleh dan melihat sebuah papan catur kayu kecil di dekat jendela perpustakaan. Bidak hitam dan putih masih tertata di tengah permainan, ditinggalkan oleh seseorang yang belum sempat menyelesaikannya.
Penasaran, Elara memiringkan kepalanya. “Kau bisa main?”
Zahard akhirnya menatapnya. “Jelas.”
Elara mendesah menghadapi kepelikan khasnya. “Maukah kau—” Dia ragu sejenak, menggenggam penanya lebih erat. “Maukah kau bermain denganku?”
Ekspresinya tetap datar. “Kau memang tahu cara mainnya?”
Pipinya memanas. “Aku tahu dasarnya.”
Zahard menatapnya sejenak, seakan menimbang apakah dia layak diladeni. Lalu, tanpa berkata apa-apa, dia bangkit dan berjalan menuju papan catur. Mengambil itu sebagai persetujuan, Elara mengikuti, dengan gugup membetulkan kacamatanya.
Mereka duduk berhadapan. Zahard merapikan bidak-bidak dengan gerakan yang tampak begitu alami.
“Putih jalan dulu,” katanya, memberi isyarat agar Elara memulai.
Elara ragu, lalu mendorong pionnya dua langkah ke depan.
Zahard langsung membalas tanpa berpikir lama. Gerakannya teratur, mulus, tak terganggu sedikit pun. Seiring permainan berjalan, Elara dengan cepat menyadari bahwa dia berada dalam masalah.
Setiap langkah yang ia ambil, Zahard membalasnya seketika, sembari menjelaskan logika di balik strateginya dengan suara tenang seperti biasa.
“Catur itu soal strategi, bukan perasaan,” katanya, menggerakkan kuda. “Emosi yang salah tempat bisa sama berbahayanya dengan bidak yang salah langkah.”
Elara mengernyit sambil mempertimbangkan langkah berikutnya. “Tapi bahkan bidak terlemah pun bisa jadi kuat jika dimainkan dengan benar,” balasnya, menggeser gajahnya ke depan.
Zahard menatapnya—sesuatu di antara rasa terhibur dan ketertarikan. “Sudut pandang yang optimis.”
Menit demi menit berlalu, papan catur mereka menjadi medan pertempuran hitam dan putih. Elara berusaha mengikuti, menggigit bibirnya saat matanya menelusuri bidak-bidak, mencoba menebak langkah Zahard selanjutnya.
Lalu, dengan gerakan tajam dan pasti, ratu Zahard meluncur ke depan.
“Skakmat.”
Elara berkedip. “Tunggu… sudah?”
Zahard bersandar sedikit, menyilangkan tangan. “Sudah kubilang, strategi mengalahkan perasaan.”
Elara menatap papan catur dengan tak percaya. Kekalahannya memang bisa ditebak, tapi dia tak menyangka Zahard bisa menang dengan begitu mudah.
Namun saat dia mendongak, dia menangkap sesuatu yang berbeda.
Zahard tampak… hampir terhibur. Bukan sombong, bukan angkuh—hanya sedikit terkesan, seolah permainan itu lebih menarik dari yang ia duga.
Elara, meski kalah, tersenyum.
“Mau main lagi?” tanyanya.
Zahard mengangkat alis. Lalu, setelah jeda singkat, dia merapikan papan catur.
Untuk pertama kalinya sejak kerja sama mereka dimulai, keheningan di antara mereka terasa berbeda. Bukan tegang. Bukan enggan.
Hanya… sesuatu yang lain.