'GURUKU ISTRIKU, SURGA DUNIAKU, DAN BIDADARI HATIKU.'
***
Dia adalah gurunya, dia adalah muridnya. Sebuah cinta terlarang yang berakar di antara halaman-halaman buku teks dan derap langkah di koridor sekolah. Empat tahun lebih mereka menyembunyikan cinta yang tak seharusnya, berjuang melawan segala rintangan yang ada. Namun, takdir, dengan segala kejutannya, mempertemukan mereka di pelaminan. Apa yang terjadi selanjutnya? Petualangan cinta mereka yang penuh risiko dan janji baru saja dimulai...
--- INI ADALAH SEASON 2 DARI NOVEL GURUKU ADALAH PACARKU ---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Kemunculan Abigail
Pesanan mereka tiba. Seorang pelayan dengan cekatan meletakkan pesanan di meja, lalu dengan sigap mendorong trolinya menjauh.
Zora menatap makanan di depannya antusias. Dia sudah sedikit lapar.
"Mas, aku ambil duluan ya. Aku udah mulai laper nih," kata Zora, menoleh ke Indra, suaminya.
Indra mengangguk. "Ambil aja, aku juga udah laper nih," ucapnya. "Kae, Yas, kalian pasti capek kan habis olahraga? Makan gih, yang banyak," tambahnya, menoleh ke Kaesang dan Tyas.
Seulas senyum miring bermain di bibirnya, diiringi gerakan satu alis yang naik turun, sengaja menggoda Tyas dan Kaesang.
Tyas yang menyadari itu segera tersenyum malu. Ia melirik Kaesang.
"Apaan sih Pa?! Jangan aneh-aneh deh!" kata Kaesang, suaranya sedikit lebih keras.
Indra dan Zora tertawa melihat ekspresi kesal Kaesang. "Bercanda Kae. Ish, kamu mah serius mulu. Nggak asik!" ujar Indra.
Zora masih tertawa. Lalu menggeleng. "Udah, kita langsung makan aja. Keburu dingin nanti makanannya," katanya.
Mata Zora tak sengaja jatuh pada Lingga yang duduk di dekat Indra. Lingga tampak fokus memakan makanannya tanpa ikut berbincang dengan yang lain. Seperti tidak peduli.
Zora yang ingat janjinya dulu untuk akan bersikap adil pada kedua anaknya segera berkata, "Ling, kamu udah makan aja sih? Gimana makanannya, enak?" tanyanya ramah, mata menyipit simpatik.
Lingga tidak menoleh dan tetap fokus memakan makanannya. Setelah ia menelan makanannya ia menjawab, "Aku laper Ma, tapi kalian malah asik ngobrol. Jadi ya aku makan duluan lah. Ehm, makanannya enak, seperti biasa. Nggak ada bedanya!"
Suara Lingga terdengar agak jengkel, dan wajahnya pun memperlihatkan hal yang sama; alisnya sedikit mengerut, bibirnya terkatup rapat.
Zora menghela napas pelan. "Maaf ya kalau kami kesannya cuekin kamu. Kami terlalu bahagia dengan pernikahan Kakak kamu dan Tyas, jadi lupa kalau ada kamu juga di sini. Maaf ya, nak." Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia merasa telah mengabaikan Lingga karena terlalu larut dalam kebahagiaan pernikahan Kaesang dan Tyas.
Ia hampir lupa dengan janjinya dulu untuk akan berubah dan bersikap adil kepada kedua anaknya.
Indra meletakkan sendoknya di piring. Menelan makanannya, lalu menoleh ke Zora dan Lingga bergantian. Tatapannya tertuju pada Lingga.
"Siapa yang cuekin Lingga? Papa nggak tuh. Lingga aja yang nggak mau nimbrung sama kita. Lain kali kamu ikut nimbrung lah sama kita, Ngga, biar keluarga kita semakin erat dan akrab. Apalagi sekarang sudah hadir Tyas di tengah-tengah kita. Kakak ipar kamu itu sangat baik loh, dia juga cantik. Masa kamu nggak mau sih kenal sama dia?" tanya Indra.
Pujian Papa mertuanya membuat Tyas tersipu malu. Rona merah merekah di pipinya, bak buah persik yang matang di bawah terik matahari.
Kaesang yang melihat Tyas malu-malu segera berucap, "Istri aku itu emang sangat cantik dan baik. Dia juga pintar dan..." Kaesang tidak melanjutkan ucapannya.
"Dan apa Kae?" tanya Indra, penasaran. Tyas dan yang lain pun ikut penasaran, semua mata tertuju pada Kaesang, menunggu kelanjutan ceritanya.
Seulas senyum tipis mengembang di bibir Kaesang—senyum yang belum pernah dilihat Papanya, Mamanya, maupun Lingga sebelumnya. Tapi kali ini, mereka melihatnya.
Senyum itu manis sekali, walau hanya tipis dan singkat. Dan semua itu, berkat Tyas.
Kaesang menoleh ke Tyas, senyum lebar terkembang di wajahnya. Seulas rencana nakal tampak mengintip dari balik sorot matanya.
"Dan s3ksi. Kalian nggak tau aja gimana Tyas waktu di ranjang," kata Kaesang terkesan frontal.
Wajah Tyas memerah. Malunya bukan main mendengar itu. Cepat-cepat ia mencubit pinggang Kaesang, tatapannya tajam menvsuk.
"Aduhh, sakit Dear!" seru Kaesang, memegang pinggangnya yang baru saja dicubit Tyas.
"Rasain tuh! Makanya jadi orang itu jangan frontal banget kalau ngomong!" kesal Tyas.
Ia tak pernah menyangka jika Kaesang akan sejujur ini sekarang. Lucu, tapi kata-katanya membuatnya sangat malu.
Zora dan yang lain saling berpandangan. Mereka tersenyum manis, lalu mengangguk dan kembali menoleh ke Tyas dan Kaesang.
"Mama senang deh lihat kalian seromantis ini. Tyas, terima kasih ya," ucap Zora, senyumnya merekah, memancarkan rasa syukur dan terima kasih yang tulus untuk Tyas.
Tyas tersentak, lalu mengangguk malu-malu. "Sama-sama Ma. Ehm, aku nggak ngelakuin apapun kok. Kita cuma berhubungan biasa aja sampai akhirnya Tuhan membawa kita berjodoh dan menikah," ujarnya lembut, kata-katanya tulus dan manis sekali.
Rasa bahagia langsung membuncah di hati Zora. Ia merasa sangat gembira.
"Ini emang karena kamu Tyas. Karena kehadiran kamu di hidup Kaesang, Kaesang bisa berubah dan mau memaafkan kita. Terima kasih ya sudah hadir di hidup anak saya." Ucapan terima kasih kali ini datang dari Indra.
Tyas semakin salah tingkah mendengarnya. Ia merasa tak melakukan apa pun yang pantas dihargai. Tapi, jika Kaesang bisa berubah dan memaafkan keluarganya karena dirinya, tentu ia merasa senang.
Dengan masih malu-malu Tyas mengangguk. "kalau emang begitu ya udah sama-sama," katanya singkat.
Tak lama setelah itu ada seorang perempuan muda yang datang ke meja mereka.
"Kaesang!" seru perempuan itu, matanya berbinar melihat Kaesang dan keluarganya.
Kaesang menoleh, matanya melebar tak percaya. Ia segera berdiri, memeluk hangat perempuan itu, lalu bercipika-cipiki dengannya.
"Gimana kabar kamu? Kok baru datang sih? Kita semua kangen tau sama kamu," ujar Kaesang.
Tyas terkesiap. Melihat Kaesang berpelukan dan bercipika-cipiki dengan wanita itu, dadanya terasa sesak. Tatapannya tajam, dingin, mencurahkan ketidaksukaannya. Tangannya yang menggenggam sendok tampak menegang, jari-jari membentuk kepalan.
"Kaesang memeluk wanita itu? Siapa? Kenapa dia memeluknya?" batin Tyas cemburu setengah ma-ti. Melihat suaminya berpelukan dan bercipika-cipiki dengan wanita lain—masih muda, mungkin seumuran Kaesang, dan cantik sekali—membuat hatinya bergemuruh.
Wanita itu bahkan jauh lebih cantik daripada Reina, perempuan yang dulu hampir dijodohkan dengan Kaesang.
Senyum merekah di wajah Zora saat perempuan itu muncul. Ia menoleh ke Tyas, mendapati tatapan tajam Tyas tertuju pada Kaesang dan perempuan tersebut. Zora menyikut pelan lengan Indra, berbisik, "Mas, lihat deh Tyas. Dia kayaknya nggak suka gitu ya lihat Abigail datang."
Ya, perempuan yang datang itu bernama Abigail.
Indra menoleh ke Tyas, lalu kembali ke Zora. Ia pun berbisik, "Mungkin dia cemburu lihat Abigail dan Kaesang pelukan. Hmm, kamu panggil Kaesang gih, suruh dia kenalin Abigail ke Tyas biar dia nggak salah paham lagi," usulnya.
Zora mengangguk, lalu menoleh ke Kaesang dan Abigail yang masih asyik berbincang.
"Kae, kamu kenalin Abigail ke Tyas gih," pinta Zora.
Kaesang tersentak, lalu sedikit mundur ke belakang. Ia menoleh ke Tyas. Dilihatnya Tyas menatap tajam ke arahnya. Tatapan tajam yang jarang sekali, bahkan tidak pernah ia lihat dari Tyas sebelumnya.
Hmm?
Kaesang menjadi ragu. Tapi akhirnya ia tersenyum dan membuka suaranya, "Dear, ehm, kenalin ini Abigail. Sepupu aku. Dulu waktu SD dia pernah hampir tiga bulanan tinggal di rumah aku dan pindah sekolah ke sekolah aku. Kita sering main bareng dan jadi akrab dari sana. Ehm, Bi, ini Tyas, istri aku," kata Kaesang mengenalkan Abigail ke Tyas begitupun sebaliknya.
Abigail mengangguk, senyum mengembang di wajahnya saat ia menoleh pada Tyas. "Aku Abigail, salam kenal ya!" sapa Abigail dengan semangat.
Tyas menoleh, senyumnya agak kaku. "Aku Tyas, salam kenal," jawabnya singkat, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Ia meneguk minumannya dengan tergesa.
Zora berdiri, menghampiri Kaesang, lalu berbisik lirih di telinganya.
Kaesang mengangguk, lalu menghela napas pelan. "Duduk Bi," ujarnya, menunjuk kursi kosong di samping mama Zora.
Kaesang kembali duduk di kursinya, lalu menoleh ke Tyas. Ekspresi kesal masih terpancar jelas dari wajah Tyas, yang sama sekali tak menatapnya. Dengan lembut, Kaesang meraih tangan Tyas. Tyas menoleh, namun kesalnya belum hilang. Tatapan matanya masih tajam.
"Ikut aku yuk. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ajak Kaesang lirih.
Tyas mengerutkan kening. "Kenapa nggak di sini aja?" tanyanya.
"Nggak enak Dear ngomong di sini. Terlalu rame. Yuk, ikut aku," kata Kaesang. Ia berdiri, lalu menarik lembut tangan Tyas hingga wanita itu ikut berdiri.
"Semuanya, ehm kita tinggal dulu ya. Aku mau ada sesuatu sama Tyas. Yuk, Dear," kata Kaesang, lalu pergi bersama Tyas setelah berpamitan pada keluarganya yang lain.
Setelah Kaesang dan Tyas pergi...
"Kamu apa kabar Bi, kok nggak pernah kelihatan? Tante kira kamu udah lupa sama kami," ujar Zora.
Abigail tersenyum sedikit kikuk. "Ah, maaf Tante, om. Aku...di sibukkan sama kuliah dan kerja di kantor papa di Sidney," jawab Abigail lirih, sorot matanya agak sayu.
"Oh iya kabar papa dan mama kamu gimana sekarang? Lama nggak dengar kabar mereka," tanya Indra menginterupsi.
"Mereka baik Om. Ehm, katanya papa dan mama mau kesini bulan depan. Mau silaturahmi sama kalian," jawab Abigail ramah.
Indra terkesiap, matanya membulat. "Wah beneran? Syukur deh kalo mau datang!" serunya, lalu meneguk minumannya.
Abigail menoleh ke Zora. "Tante Zora," panggilnya. Zora yang tengah asyik mengobrol dengan Lingga, langsung menoleh. "Iya Bi," jawabnya.
"Ehm," Abigail tampak ragu. "Mas Daniel...gimana kabarnya ya Tante? Lama aku nggak denger kabar dia," lanjutnya.
Jujur Abigail rindu dengan adik dari papa Kaesang itu, Daniel.
Dulu ia dan Daniel sangat akrab, layaknya sepasang kekasih. Mengingat mereka sama-sama tinggal di Australia dan sering bertemu di kala senggang.
Daniel lama lost contact, membuat Abigail sedikit khawatir.
Zora diam sebentar, lalu menatap Indra, suaminya. Indra hanya mengangguk, tak bicara apa pun. Zora kembali menatap Abigail, menarik napas panjang. Tatapannya begitu intens.
"Ehm, Daniel..."
Bersambung ...