“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM32
Nadia duduk di samping ranjang Melodi, menatap sahabatnya yang masih belum juga sadarkan diri. Monitor di samping ranjang itu berbunyi stabil. Tapi, entah kenapa hati Nadia terasa sesak.
Beberapa kenangan kembali berputar di dalam kepala wanita bertubuh gempal itu. Bibirnya tersenyum tipis kala mengingat kenangan saat mendaki gunung bersama Melodi.
Saat itu, Nadia menatap kaki Melodi yang bergetar hebat akibat lelah mendaki. “Mel, angkat dulu kaki lo, kayaknya ada telpon masuk, geternya kuat amat!”
Melodi mendelik, lalu melirik ke arah kaki Nadia yang juga turut bergetar hebat. “Emang boleh naik gunung bawa mesin jahit?” Ledeknya sambil tersenyum miring. “Gini nih, kalau kaum rebahan kayak kita berlagak naik gunung segala. Kaki langsung wer kewer kewer!”
“Lo nggak denger, ‘tuh? Kaki gue ngomong : eak eak eak!” Nadia terkikik sambil menepuk lututnya yang lemas. Wanita itu sudah ber-selonjor lebih dulu. “Supra bapak gue kalah geter ini mah!”
Mereka tertawa bersama, sambil mengenang motor legend milik Almarhum Ayah Nadia, yang harus di lepas jok nya ketika sedang mengisi bensin.
Setelah lelah mereka sedikit teratasi, dua sahabat karib itu kembali merayap menuju puncak dengan sisa tenaga yang ada. Begitu sampai di atas, mereka berdua langsung ambruk, napas mereka terengah-engah.
“Naik gunung, katanya seru!” Nadia mengeluh. “Katanya penuh kenangan indah.”
“Terus?” Melodi mengangkat sebelah alisnya, lalu menyeka bulir-bulir keringat yang sudah bercucuran.
“Kenangan indahnya mana? Ini mah kenangan betis nyut-nyutan!”
“Kayaknya kita emang cuma cocok jadi kaum rebahan sambil nyecroll tok-tok-tok sampe gigi kering dah, Nad.”
Mereka kembali tertawa, sambil menikmati pemandangan dari puncak yang akhirnya berhasil mereka capai setelah bersusah payah.
“Lo nggak ada niatan buat nikah sama Aldrick, Mel?” tanya Nadia tiba-tiba.
Melodi menghela napas panjang. “Gue pengen sih, nikah. Tapi, gue takut banget harus ada adegan malam pertama segala.”
Nadia memutar matanya jengah. “Nikah aja sama psikopat, biar langsung malam terakhir luuuuuu!” Bibir Nadia memanjang.
Melodi terpingkal-pingkal. “Sialan, lo! —Eh, terus gimana? Katanya Ibu Lo mau nge-jodohin Lo sama juragan ayam. Ada kelanjutan?” tanya Melodi.
“Gue tolak mentah-mentah!” sahut Nadia cepat.
“Dih, kenapa?” Melodi mengulum senyum.
“Kagak tahan gueeee, bau minyak uruuuuut!” Sungut Nadia sambil melempar bebatuan kecil ke udara hampa.
Melodi kembali tertawa, jawaban Nadia yang di luar nurul terkadang berhasil mengocok perutnya.
Sore itu, mereka mendirikan tenda sebelum gelap malam melahap senja. Mereka menghabiskan hari itu dengan mengobrol tentang mimpi-mimpi mereka.
“Buuu, jangan bengong! Nanti kecambet cetan!” Teguran Olive menarik paksa Nadia kembali masuk ke masa kini.
Nadia tersenyum lembut. Mengelus kepala Olive dengan penuh kasih, kemudian kembali menatap Melodi.
“Mel, lo inget nggak, kita pernah naik gunung bareng? Niatnya mau healing, eh yang ada malah hampir pingsan di puncak.”
Ia tertawa kecil, tetapi, matanya basah. “Tapi kita janji lho, bakal naik lagi kalau udah tua, terus pamer ke anak-anak kita. Lo … nggak boleh lupa janji itu, ya.”
Setelah berucap demikian, tiba-tiba, Nadia terpaku. Maniknya membulat ketika melihat jari Melodi yang sedikit bergerak.
“Mel?!”
Detik berikutnya, dia meloncat dari kursi, setengah berlari keluar ruangan.
“Dokter! Perawat! Jari Melodi gerak! Dia sadar!”
Tim medis langsung bergegas masuk. Dokter Andra dengan sigap memeriksa kondisi Melodi. Setelah beberapa menit pemeriksaan, ia tersenyum tipis.
“Melodi sudah siuman. Keadaannya stabil. Harap segera untuk menghubungi Pak Aldrick."
Nadia mengangguk cepat, buru-buru mengambil ponselnya dan menekan nomor Aldrick.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aldrick hampir menerobos pintu rumah sakit, wajahnya penuh dengan campuran cemas dan harapan. Begitu melihat Melodi yang sudah membuka mata, kedua kakinya langsung jatuh berlutut.
"Ya Tuhan ...," suaranya bergetar hebat. Bulir-bulir bening mengalir deras. "Terima kasih ... terima kasih ...."
Ia bersujud syukur di lantai. Pria yang se-kaku kanebo kering itu, kini tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.
Melodi yang masih lemah mencoba tersenyum. "Aku ... kangen ...."
Aldrick menatapnya dengan mata memerah. “Aku lebih kangen. Kamu bikin aku hampir mati berdiri, tau nggak?”
Nadia mendekat, menepuk bahu Aldrick. “Udah, bro, jangan mellow. Kasian yang jomblo di sini.”
Melodi dan Aldrick menanggapinya dengan senyuman tipis. Begitupun para tim medis.
"Makanyaaa, cali jodoh dong, kan Olip juga pengen punya Ayah," celetuk Olive tiba-tiba. Membuat seisi ruangan tertawa.
'Mulai lagi ini bocah.' Batin Nadia seraya tersenyum hambar, sambil menatap langit-langit ruangan. Tanpa ia tahu, Andra menatapnya dengan senyuman hangat sejak tadi.
Ajeng berdiri di luar pintu ruang inap Melodi, tubuhnya kaku, tangan gemetar. Matanya membengkak karena menangis sejak Nadia mengabarkan bahwa Melodi sadar. Namun, entah kenapa, kakinya terasa berat untuk melangkah masuk.
Matanya menatap wajah menantunya dari balik jendela—perempuan yang dulu ia anggap tidak pantas untuk putranya. Kini, perempuan itu terbaring lemah, dengan tubuh yang lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Matanya berkaca-kaca, penuh kehangatan meski tubuhnya dihantam penderitaan.
Ajeng meremas dadanya. 'Tuhan … apa yang telah kulakukan padanya?'
Dengan langkah ragu, ia memberanikan diri untuk masuk ke ruangan. Langkah kakinya mendekat. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti menapaki bara api penyesalan. Begitu sampai di tepi ranjang, ia tak kuasa menahan tangis. Lututnya mendadak lemas.
BRUGH!
Ajeng jatuh berlutut di samping tempat tidur Melodi. Tangisnya pecah.
"Melodi … maafkan Ibu ...," suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Melodi yang masih lemah mencoba mengangkat tangannya, tapi gerakannya terbatas. "Bu ...," suaranya lirih.
Ajeng menutup wajahnya, menangis tersedu-sedu. "Ibu … Ibu selama ini sangat kejam sama kamu, Mel. Ibu menghakimi mu tanpa tau yang sebenarnya. Ibu udah menyakiti kamu, Mel. Ibu ... udah lancang karena nggak pernah menganggap mu cukup baik untuk Aldrick. Padahal … padahal ...," ia tersedak air matanya sendiri. Ajeng tak sanggup lagi melanjutkan perkataan nya.
Nadia yang melihat itu berusaha menahan tangis, mengusap wajahnya dengan lengan baju. Bahkan Aldrick pun menundukkan kepala, rahangnya mengeras menahan emosi.
Ajeng merogoh sakunya dengan tangan gemetar, lalu mengeluarkan sesuatu—sebuah kotak kecil berwarna merah tua. Ia lekas berdiri, lalu membukanya dengan gerakan terbata-bata. Di dalamnya, ada cincin emas dengan ukiran kecil di bagian dalamnya.
"Ini ...," suaranya hampir tak keluar. "Ini Ibu beli untukmu, Mel. Sudah lama … waktu kamu mengandung dulu. Ibu … Ibu ingin memberikannya sejak dulu, tapi, Ibu terlalu egois, terlalu buta dengan kebencian sendiri. Ibu pikir kamu sudah membuat Aldrick menderita. Tapi, kenyataannya … Ibu lah yang membuatmu sangat menderita."
Air matanya jatuh ke tangan Melodi yang lemah, namun berusaha mengangkat jemarinya. Ia menyentuh tangan Ajeng, meski sentuhannya nyaris tak terasa.
"Bu …," Melodi tersenyum samar, meski bibirnya pucat. "Aku … aku nggak pernah membenci Ibu. Aku tau, Ibu hanya sedang tersesat. Tapi, aku sangat tau, Ibu pasti kembali."
Ajeng tersentak, menatap Melodi dengan mata yang semakin basah.
"Mel …," suaranya bergetar hebat.
Melodi menarik napas lemah. "Aku hanya ingin Ibu percaya, bahwa aku sangat mencintai Mas Aldrick. Aku ingin Ibu, bisa menerima semua kekurangan ku saat ini. Aku ingin Ibu ... menjadi Ibuku ...."
Ajeng menangis sejadi-jadinya, menunduk di samping ranjang, menggenggam tangan Melodi dengan erat.
Aldrick yang sejak tadi diam akhirnya mengusap wajahnya sendiri, lalu merangkul ibunya, memeluknya erat. Suasana ruangan penuh dengan isakan dan haru.
*
*
*
itu rumah makan menyediakan saksang,yg dari daging *bebi* kan?