"Kamu serius Jas? Kamu merestui mama pacaran sama Arjuna? Temen kamu?" tanya Cahaya tak percaya. Senyum lebar mengembang di bibirnya.
"Lo nggak bohong kan Jas? Lo beneran bolehin gue pacaran sama nyokap Lo kan?" tanya Arjuna. Meskipun merasa aneh, tapi dia juga cukup senang. Berharap jika Jasmine tidak mengecewakan mereka.
Jasmine melihat sorot kebahagiaan dari mamanya dan Arjuna. Hatinya terasa sesak, benci. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa Mamanya bahagia bersama Arjuna.
*
*
*
Hmm, penasaran dengan kelanjutannya? baca sekarang, dijamin bakal suka deh:)))
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Karena Jasmine
Arjuna menatap Cahaya dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara kesal, heran dan tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran Cahaya. Dia pun menjawab, "Astaga, kayaknya pekerjaan penting banget ya buat kamu sampai harus mengabaikan keluarga seperti itu? Keluarga itu nomor satu loh, harta paling berharga dalam hidup.
Tapi kamu malah mengabaikannya demi materi semata? Aku heran, kamu punya anak dan suami yang sangat menyayangimu, tapi..." Arjuna menggelengkan kepala, menunduk sejenak sebelum kembali menatap Cahaya. "Aku nggak habis pikir."
"Aku tau Jun. Dulu memang aku segila itu sama kerja. Bahkan aku pernah seharian nggak pulang ke rumah hanya demi pekerjaan. Aku mengabaikan semuanya, termasuk anakku yang saat itu masih sangat kecil.
Tapi sekarang aku menyesal Jun. Aku pengen minta maaf dan memperbaiki semuanya. Tapi, apa aku udah telat? Aku pengen banget bisa perbaiki kesalahan aku sama Jasmine. Tolong bantu aku, ya?" Cahaya menatap Arjuna dengan raut wajah penuh harap dan sedih.
Arjuna menganggukkan kepalanya, tersenyum hangat, lalu meraih tangan Cahaya yang ada di atas meja. "Di dunia ini, nggak ada yang terlambat, Yang. Terutama kata maaf. Walaupun Jasmine mungkin masih marah sama kamu, tapi dia tetap membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Aku akan bantu kamu. Nanti setelah kerja, aku langsung ke rumahnya. Sekalian ngasih tau soal pekerjaan di bengkel itu. Kamu masih mau larang Jasmine kerja di bengkel?" tanya Arjuna.
Cahaya dengan tegas mengangguk. "Kan udah aku bilang, Jun, aku nggak setuju kalau Jasmine kerja di bengkel. Dia cewek, lho. Cewek itu harus feminim, bersih, dan rapi.
Kalau cuma karena uang, aku bisa kok ngasih Jasmine uang. Sekarang aja, aku langsung kasih ke kamu biar kamu kasih ke Jasmine. Bentar, aku ambil dulu uangnya," Cahaya merogoh tas selempangnya, mengambil dompetnya lalu mengeluarkannya.
Dia membuka dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang merah, dan meletakkannya di atas meja.
Arjuna tertegun, matanya terpaku pada lembaran-lembaran merah itu. Uang, sesuatu yang terasa begitu sulit didapatkannya. "Kayaknya Jasmine bakal nolak deh kalau aku bilang uang ini dari kamu," kata Arjuna.
Cahaya mengerutkan keningnya, lalu menatap ke arah Arjuna. "Kenapa nolak? Dia kan butuh uang? Sejauh ini nggak ada kan yang ngasih dia uang? Harusnya dia nerima dong kalau aku ngasih dia uang. Kenapa harus nolak?" tanya Cahaya heran.
Arjuna menarik napas panjang, lalu menjawab. "Kamu nggak tau ya kalau Jasmine itu bukan tipe cewek yang gila uang? Dia akan cari sendiri uang itu dengan kerja kerasnya sendiri.
Dia nggak akan mau menerima bantuan uang dari orang lain, apalagi dari kamu. Jasmine nggak akan mau menerima uang dari kamu."
Cahaya, yang tadinya bersemangat ingin memberikan uang kepada Jasmine, mendadak merasa sedikit kecewa. Dia mengira Jasmine akan seperti perempuan-perempuan lain, yang mungkin saja tertarik dengan uang dan menerimanya dengan senang hati.
Namun, ternyata Jasmine berbeda. Cahaya kagum dengan semangat kerja keras Jasmine, tapi juga sedikit sedih karena Jasmine tidak mau menerima uang darinya.
Dengan mata berkaca-kaca, Cahaya berkata lagi. "Terus aku harus gimana Jun? Aku mau bantuin Jasmine. Aku tau dia lagi butuh uang sekarang. Tapi kalau nggak mau nerima uang dariku, apa yang harus aku lakukan agar dia mau menerima bantuanku?" tanya Cahaya.
Sejenak Arjuna berpikir. Lalu dia menjawab, "Hmm, gampang kok. Kamu tinggal ijinin Jasmine buat kerja di bengkel," jawab Arjuna sambil tersenyum.
Cahaya menatap Arjuna tajam, sorot matanya berubah seketika dari berkaca-kaca menjadi tajam seperti elang yang mengintai mangsa. "Kalau kamu tetap maksa aku buat ngijinin Jasmine kerja di bengkel, aku akan beneran marah sama kamu Jun!" Ancamnya.
Arjuna terkekeh, "Tenang, aku tau kok kamu nggak gampang berubah pikiran. Tapi, aku punya ide. Gimana kalau Jasmine kerja di kantor kamu?" tanyanya sambil tersenyum, menawarkan idenya.
"Hmm, Jasmine kan anakku, masa anakku kerja di kantorku sendiri sih? Aku itu punya rencana buat jadiin Jasmine CEO nanti setelah aku. Penerusku gitu. Bukan kerja kayak kamu gini." Tolak Cahaya, matanya berkilat tajam.
Arjuna menghela nafas mendengar penolakan Cahaya. "Astaga, biarin lah Jasmine kerja di kantor kamu. Sekalian biar dia belajar gimana rasanya dunia perkantoran. Kalau tiba-tiba kamu jadiin dia CEO dan dia nggak tau apa-apa, bukannya akan merepotkan ya?
Lebih baik kalau kamu memperkerjakan Jasmine di kantor kamu, biar dia belajar. Nanti aku akan bilang sama Jasmine dan bujukin dia," kata Arjuna menyarankan.
Cahaya terdiam sejenak, memikirkan ucapan Arjuna. Lalu dia menimpali, "Yaudah deh nanti kamu bilang sama Jasmine soal pekerjaan ini. Sebenarnya sih di kantor lagi nggak membuka lowongan.
Cuma bagian asisten pribadi itu yang masih kosong dan aku mau jadiin kamu sebagai asisten pribadi aku. Tapi kalau untuk belajar nanti aku bisa menempatkan Jasmine sebagai karyawan biasa.
Nanti aku akan ajarin dia dan nyuruh karyawan-karyawan lainnya buat ngajarin dia. Tapi Jun, Jasmine... Emangnya mau kerja di kantor aku?" tanya Cahaya kemudian.
Arjuna tampak terdiam, berpikir, lalu dia menjawab, "Ehm, sebenarnya sih Jasmine pernah ngomong sama aku kalau dia nggak bakal mau jadi CEO dan kerja di kantor kamu. Dia akan mencari pekerjaannya sendiri, yang sesuai dengan keinginannya.
Tapi kamu nggak usah khawatir, nanti aku akan bujukin dia. Aku akan terus rayu dia sampai dia mau," janji Arjuna. Meskipun membujuk Jasmine adalah sesuatu yang sulit, termasuk bagi dirinya. Tapi dia akan mencoba.
Lalu Cahaya mendekatkan wajahnya pada Arjuna. Yang setelah melihat Cahaya mendekat Arjuna pun turut mendekat. "Nanti, setelah jam kantor selesai kita main ya? Di ruangan aku. Kamu masih perj4ka ting-ting kan?" Cahaya tersenyum manis, berbisik pelan. Matanya berkedip genit ke arah Arjuna.
Arjuna terkesiap. Wajahnya memerah, "Kamu beneran mau kita main sekarang? Nggak nunggu legal aja? Aku...aku masing perjaka kok. Aku bukan cowok nakal yang suka main wanita. Pacar aja aku nggak punya dari dulu. Baru kamu loh pacar aku," jawab Arjuna, suaranya sedikit bergetar karena gugup.
Mata Cahaya melebar, terkejut. Ia menjauhkan wajahnya dari Arjuna, lalu duduk kembali di kursinya. "Seriusan, kamu nggak pernah punya pacar? Dari dulu? Yakin nih? Kamu ganteng banget, masa iya nggak ada yang naksir? Bohong ah," Cahaya tak percaya, keningnya mengerut. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Aku nggak bohong sama kamu. Aku emang dari dulu nggak pernah pacaran. Cuma pernah beberapa kali deket sama cewek, tapi nggak sampai jadian," jelas Arjuna.
"Kenapa? Kamu nggak percaya sama cewek yang deket sama kamu itu?" Tanya Cahaya penasaran.
Arjuna menggeleng. "Nggak. Aku percaya kok sama mereka. Bukan itu alasanku nggak pacaran sama mereka."
Cahaya bertanya lagi, "Terus Kenapa kamu nggak pacaran sama mereka?"
Arjuna menatap Cahaya dengan intens, sorot matanya seakan menyimpan beban. Setelah menarik napas panjang, ia berkata, "Jasmine. Aku nggak pacaran sama siapapun karena Jasmine." Jawab Arjuna. Matanya terlihat berapi-api.
"Jas-Jasmine?! Maksudmu?" Cahaya bertanya dengan gugup, suaranya terbata. Keheranan terpancar di wajahnya. Dia benar-benar terkejut, tak mengerti maksud Arjuna.
"Jasmine ... Jasmine selalu nempel sama aku, ke mana-mana pergi sama aku, jadi setiap cewek yang mau deketin aku, langsung mikir aku udah punya pacar. Mereka jadi nggak berani deh.
Jasmine juga suka ngomong ke mereka buat hadapin dia dulu sebelum pacaran sama aku. Aku nggak ngerti apa maksudnya. Semua cewek jadi ilfil sama aku ya gara-gara Jasmine!" Arjuna menghela napas panjang, matanya tajam dan kesal.
"Jas-Jasmine ... kenapa dia selalu sama kamu? Temen-temennya yang lain mana?" Cahaya balik bertanya, matanya melotot terkejut. Suaranya bergetar, sepertinya dia tidak mempercayai apa yang didengarnya.
**********
Jasmine tersentak bangun, mimpi yang baru saja dialaminya masih terasa nyata. Suara Papa yang berteriak keras di telinganya masih bergema, membuat napasnya tersengal-sengal.
Keringat dingin membasahi dahinya, jantungnya berdebar kencang. Ia duduk tegak, punggung bersandar pada kepala tempat tidur. Pandangannya kosong, tertuju pada bingkai foto Papa yang tergantung di dinding.
"Papa..." Bisikan lirihnya, matanya berkaca-kaca. Air mata menetes, dengan cepat ia seka dengan punggung tangan.
Ia meraih ponsel di nakas, menekan tombol power. Layar menyala terang, menampilkan deretan pesan dan panggilan tak terjawab.
Jasmine menggesek layar, memasukkan kode sandi, lalu membuka aplikasi pesan. Pesan dari Bibi Kate, Elin, Arjuna, dan satu nomor asing memenuhi layar.
Jasmine membuka pesan dari Bibi Kate terlebih dahulu.
(Jas, maaf kepencet. Nggak sengaja nekan tombol telepon.)
(Kamu lagi apa? nanti sore bibi kesana. Bawain kamu bahan-bahan masakan.)
(Sekarang bibi udah di rumah. Capek banget habis dari pasar. Kamu tidur ya? Yaudah deh mimpi indah sayang.)
Ternyata bibinya hanya salah memencet. Bukan dalam maksud ingin menelepon. Lalu Jasmine pun memencet tombol panah putih yang ada di pojok kiri atas. Dia membuka pesan-pesan lainnya. Salah satunya pesan yang datang dari nomor asing.
Nomor itu tidak memakai foto profil, username nya pun tidak ada. Jasmine sedikit ragu, tapi dia penasaran dan akhirnya membaca pesannya.
(Ini Jasmine kan? Aku Daisy, anaknya Mama Kate.)
(Salam kenal ya.)
Jasmine langsung mengerutkan keningnya setelah membaca pesan yang masuk dari nomor asing itu. "Daisy? Anaknya Bibi Kate? Hmmm, aku lupa siapa aja anak-anaknya Bibi Kate, berapa jumlahnya juga lupa. Ah, ya udahlah, nanti aku tanya ke Bibi Kate aja."
Jasmine lantas menutup ponselnya. Tanpa melihat pesan dari Elin dan Arjuna. Ia lalu meletakkan ponselnya kembali di samping bantal. Turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar.
Bersambung ...