Anna tanpa sengaja menghabiskan malam panas dengan mantan suaminya, Liam. Akibat pil pe-rang-sang membuatnya menghabiskan malam bersama dengan Liam setelah satu tahun mereka bercerai. Anna menganggap jika semua hanya kecelakaan saja begitu pula Liam mencoba menganggap hal yang sama.
Tapi, semua itu hilang disaat mendapati fakta jika Anna hamil setelah satu bulan berlalu. Liam sangat yakin jika anak yang dikandung oleh Anna adalah darah dagingnya. Hingga memaksa untuk menanggung jawabi benih tersebut meskipun Anna sendiri enggan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haasaanaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Liam memejamkan mata beserta menahan rasa amarah yang mendesak didada, ia ingin membantah sang Mama tapi disaat memohon seperti itu membuat Liam sendiri menjadi tidak berdaya. Ia beralih sepenuhnya pada Shopia mulai melangkah perlahan dengan tatapan mata penuh kesedihan. Tapi, Liam tahu kesedihan apapun tidak akan membuat Shopia berhenti menekan setiap keinginannya.
"Mama tahu, setiap kali Mama memaksa ku lagi dan lagi... satu hal yang aku pikirkan adalah, mengapa aku terlahir sebagai anak satu-satunya keluarga Alexander." Liam menghentikan ucapannya sebentar, ia menahan air matanya yang akan jatuh sedikit lagi dengan cara melihat kearah atas.
Liam juga mengigit bibir bagian bawahnya, lalu kembali menatap Shopia yang masih setia dengan rasa keras kepala dan keinginan sepihaknya. "Hidupku selalu saja tertekan, bahkan aku tidak tahu bagian mana yang terjadi atas keinginanku!" sambung Liam penuh emosi.
Bukannya menyesali setiap perbuatan melainkan Shopia malah terlihat berekspresi datar. Ia memukul pelan lengan Liam seolah memberikan kekuatan dan pengertian.
"Mama pernah bukan mengikuti setiap yang kau inginkan? Tanpa Mama membantah atau pun menekan dirimu."
"Tapi apa yang kau pilih? seorang wanita miskin besar dari panti asuhan yang dengan lancangnya kau mengatakannya jika dia adalah cintamu!"
"Katakan pada Mama, Liam. Bagaimana caranya Mama mau percaya lagi dengan pilihan serta keinginan mu itu?" Tanya Shopia setelah lama marah besar pada Liam yang protes.
"Anna tidak pernah menjadi kesalahan, Ma. Kami berpisah karena Mama tidak pernah menganggap kita setara dengannya!" Bantah Liam, ia tidak pernah lupa bagaimana Anna tersiksa hanya untuk beradaptasi dengan seluruh keluarga Alexander.
"Sudahlah.." Shopia tidak ingin berdebat lagi, ia memberikan alamat di tangan Liam. "Temui Emma disana, tidak ada bantahan apapun lagi."
"Tapi, Ma.." Liam ingin protes tapi Shopia sudah berlalu pergi tidak mau mendengar alasan apapun. Rasanya Liam kesal sekali, ia membanting barang di sampingnya. Hingga Vas bunga tersebut hancur tidak terbentuk sebagai bentuk pelampiasan kemarahan Liam pada semua masalah yang ada.
Masih emosi kedua tangan Liam berpegangan erat pada pinggiran meja, kuku setiap jari jemari nya seolah menancap disana. Tatapan mata Liam sangat tajam dan seakan bom yang bisa meledak kapan saja. Liam membuang napas secara kasar, suara ponsel miliknya berdering mengalihkan fokusnya.
"Hem.." Liam kembali berdiri tegak, ia melangkah pergi dengan menginjak pecahan vas bunga tersebut. Tanpa takut mungkin saja bisa melukai telapak kakinya tapi seolah tidak ada lagi yang Liam pikirkan selain rasa amarah dihati.
"Ada apa?" Liam tahu pastinya Emma menghubungi karna apa yang dikatakan Shopia tadi. "Kau tidak puas juga sudah menekan hidupku?!" Teriak Liam, mungkin saja dikejauhan sana telinga Emma bisa pecah karena kemarahannya.
"Kenapa kau marah padaku, Baby? Bukankah sudah aku katakan, belajarlah menerima takdir."
"Diam!"
"Apapun kau tetap menjadi milikku siang ini, segera jemput aku."
"Kau adalah wanita yang tidak tahu malu, Emma!"
"Belajarlah menatapku, Liam. Buang pikiranmu jauh-jauh tentang mantan istrimu itu, lihat... aku sangat bisa memuaskan dirimu melalui hal apapun."
Liam mematikan panggilan sepihak tanpa membiarkan Emma selesai bicara dulu. Berjalan cepat menuju garasi mobil untuk segera pergi menemui Emma lalu menyelesaikan semuanya. Liam tidak ingin waktunya yang sudah terjadwal untuk Anna menjadi berantakan, dan satu hal lagi Liam sangat khawatir pada Anna sekarang.
Masuk kedalam bangku pengemudi, sebelum menyalakan mesin mobil Liam membuka dasbor mobil. Terlihat disana ada secarik kertas hasil pemeriksaan jika Anna dinyatakan hamil, tangan Liam terus mengelus surat tersebut.
"Anehnya, disaat aku mengetahui kau hamil anakku... aku tidak benci melainkan bahagia." Gumam Liam, ia meremas kuat kertas tersebut hingga tidak terbentuk lagi.
"Ntah perasaan cinta atau keinginan menjadi seorang ayah, tetap saja sesuatu yang berasal dari tubuhmu sangat tidak bisa aku abaikan." Ucap Liam pelan, ia menghela napas berat lalu mulai menyalakan mesin mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
Sementara itu Anna sudah sampai di Boutique miliknya, ia masih berdiri didepan pintu menatap kagum pada hasil jerih payahnya sendiri. Anna sangat rindu beraktivitas seperti biasa, karna Liam banyak hal yang Anna tinggalkan.
"Huh, hanya karna melahirkan anak pria itu, banyak sekali hal yang harus aku tinggalkan." Gumam Anna pelan, disaat mengingat itu ntah kenapa Anna jadi kesal sendiri dengan Liam dan berbagai aturan pria itu.
"Anna!" Teriakan itu membuat Anna terkejut, ia menoleh kebelakang ternyata Nora yang berlari dengan wajah bahagia kearahnya.
"Nora!" Anna tidak kalah antusias, ia langsung memeluk sahabat yang sangat ia rindukan. Keduanya saling menumpahkan rindu satu sama lain apa lagi Nora terus tertawa bahagia karena bisa bertemu dengan Anna lagi.
"Ku kira tidak akan bertemu lagi, An. Karna kau membesarkan anak mantan_"
"Hustt! Jaga bicaramu, Ra!"
"Astaga, maafkan aku.." Nora cengegesan saja, ia menarik tangan Anna untuk masuk kedalam Boutique. Sebagai orang yang paling mengenal Anna tentu saja Nora yakin pastinya tidak mudah untuk Anna bisa keluar bebas seperti ini.
Banyak para karyawan yang bahagia melihat Anna datang kembali, semuanya menunduk hormat pada Anna yang sudah lama tidak terlihat setelah kejadian pingsan itu. Tangan Nora terus menarik paksa Anna menuju ruang kerja, ia juga memastikan pintu tertutup dengan sangat rapat.
"Katakan, kenapa kau bisa keluar bebas seperti ini? Bagaimanapun aku masih ingat Liam mengancam dirimu, An." Nora terlihat khawatir tapi juga bahagia sulit mendeskripsikan ekspresi wajahnya saat ini.
Anna tersenyum simpul. "Itu kau tau, jelas saja aku kabur dari Liam." Jawab Anna santai saja tapi ekspresi wajahnya tidak merasa bersalah.
"Apa?!" Nora yang panik, ia memukul pelan lengan sahabatnya itu. Nora merasa jika Anna telah mengambil suatu tindakan yang sangat bahaya untuk apapun, tidak hanya untuk Anna sendiri melainkan untuk karir wanita itu sendiri. "Udah seribu nyawamu?" Spontan pertanyaan itu keluar dari mulut Nora begitu saja.
Anna tertawa kecil, tidak heran sedari dulu Nora adalah orang yang paling heboh jika Anna sudah berani melawan keluarga Alexander.
"Tenang aja, Ra. Aku hanya ingin bebas sebentar, dia juga bakal ngerti." Anna menenangkan meskipun sangat diragukan oleh Nora.
"Ah iya, kita kedatangan Emma lagi. Model songong itu, mungkin saja sebentar lagi dia sampai." Ucap Nora mengalihkan pembicaraan, membahas Liam hanya membuat sakit kepala saja.
"Emma?" Ntah kenapa Anna menjadi teringat dengan Liam jika sudah membahas wanita itu. "Dia kembali ke Boutique kita?"
"Dia tertarik dan suka dengan semua hasil karyamu, bagus dong.. karna dia omset kita naik drastis."
Anna mengangguk setuju, ia memperhatikan Nora yang sibuk menata desain di patung yang belum selesai.
"An, kau selesaikan dulu gaun ini. Emma ingin sekarang juga ia melihat hasilnya, hanya kau yang bisa menyelesaikannya." Pinta Nora.
"Baiklah.."
Nora berlalu pergi, dan Anna termenung menatap patung dan busana yang belum ia selesaikan. Pikiran Anna melayang jauh, ia juga mengelus perutnya memikirkan posisi yang ia alami.
aaiiss..dn sampai d bab 30 ..gini2 aja jln cerita nya...