Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benar-Benar Terjadi
Jessy yang masih membaca buku di tempat tidur terkejut ketika pintu kamarnya terbuka begitu saja.
Matanya menatap tajam ke arah suaminya yang baru saja masuk. Penampilan Bram benar-benar berantakan—baju kusut, rambut acak-acakan, dan wajah yang masih tampak sedikit memerah.
"Ah, persis seperti kehidupan pertamaku. Bedanya aku melihatnya ketika di kamar tamu, sekarang aku melihatnya di kamar kita. Cih!"
Jessy menutup bukunya dengan tenang dan mendongak, menatap Bram dengan ekspresi datar.
"Mandi sana. Bau tubuhmu tidak enak."
Bram mengerjapkan matanya, terlihat sedikit terkejut dengan sikap Jessy yang begitu dingin. Biasanya, istrinya akan langsung menghampiri, bertanya dengan penuh perhatian apakah ia ingin teh atau pijatan. Tapi sekarang? Ia bahkan tidak repot-repot berdiri.
"Aku tahu," gumam Bram akhirnya. "Aku memang butuh mandi."
Jessy hanya mengangkat bahu. "Kalau begitu, cepatlah."
Tanpa banyak bicara, Bram berjalan menuju kamar mandi. Ia tidak lagi protes atau mencari perhatian seperti dulu. Mungkin karena ia terlalu lelah setelah ‘aktivitas panasnya’ dengan Fina tadi.
Jessy menatap punggung suaminya dengan ekspresi sinis. "Lucu sekali, bagaimana dulu aku bisa begitu bodoh. Membiarkannya berselingkuh tepat di depan mataku, sementara aku berusaha menjadi istri yang baik. Sungguh menjijikkan."
Ia menghela napas, pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian barusan. "Dulu aku selalu berusaha menyenangkanmu, Bram. Tapi kali ini, kau yang harus menanggung akibat dari semua kebohonganmu."
Jessy tidak menunggu Bram seperti kehidupan pertamanya. Bertanya ini itu, dan tak penasaran dengan apa yang Bram lakukan nanti. Karena CCTV yang ia pasang, selalu merekam otomatis, dan bisa melihat rekaman sebelumnya.
Tanpa menoleh ke arah kamar mandi, ia langsung bersiap untuk tidur. Gaun tidurnya berbahan satin lembut membungkus tubuhnya dengan sempurna, rambutnya dibiarkan tergerai, dan ia berbaring di sisi tempat tidur tanpa rasa peduli pada suaminya.
Ia menutup matanya, mengabaikan suara air yang mengalir dari kamar mandi.
Sementara itu, Bram yang baru selesai mandi keluar dengan handuk melilit pinggangnya. Rambutnya masih basah, tetesan air jatuh di dada bidangnya, tapi pandangannya langsung jatuh pada sosok Jessy yang tampak tenang di tempat tidur.
Ia berhenti di tempatnya, menatap istrinya yang sedang tertidur. Wajahnya terlihat begitu damai, bahkan lebih cantik dari biasanya. Ia tidak mengenakan riasan, tapi kulitnya tetap bersinar.
"Kenapa dia terlihat begitu cantik malam ini?"
Bram mengerutkan kening. Seharusnya, setelah semua yang ia lakukan dengan Fina, hatinya sudah tidak memiliki perasaan pada Jessy. Harusnya ia merasa biasa saja, atau bahkan lega karena sebentar lagi ia akan terbebas dari wanita ini. "Tapi kenapa sekarang aku malah ragu?"
Ia mendekat perlahan, duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan setiap detail wajah istrinya. Ia ingat bagaimana dulu ia begitu tergila-gila pada Jessy. Bagaimana ia dulu berusaha keras mendekatinya, membujuknya untuk menikah dengannya.
Tapi sekarang? Ia bahkan berencana untuk menyingkirkan wanita yang dulu sangat ia cintai.
"Apa aku benar-benar tega membiarkan Jessy mati?"
Bram menggigit bibirnya. Ketika Fina mengusulkan ide itu tadi, ia langsung setuju. Dalam pikirannya, menyingkirkan Jessy berarti ia bisa bebas bersama Fina dan tidak perlu membagi hartanya dengan wanita ini.
Tapi melihat Jessy sekarang, tiba-tiba ada perasaan aneh yang menyelinap ke dalam hatinya.
"Aku masih menginginkannya?"
Tidak, tidak mungkin. Ia mencintai Fina. Ia sudah memilih Fina. Tapi kenapa sekarang ia merasa bersalah?
Matanya menatap bibir merah muda Jessy yang sedikit terbuka saat ia tertidur. Dulu, ia pasti akan mencium bibir itu tanpa ragu. Sekarang, ia hanya bisa menatapnya dari jauh, ragu apakah ia benar-benar sudah kehilangan wanita ini.
Bram menghela napas dalam.
Jika aku membunuhnya, maka dia akan benar-benar hilang.
"Apakah aku siap kehilangan Jessy untuk selamanya?"
Ia mengepalkan tangannya, lalu menoleh ke arah lain, berusaha mengusir keraguan dalam pikirannya.
"Aku sudah memilih jalanku. Tidak ada jalan kembali."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bram akhirnya berbaring di sisi ranjangnya. Namun, meskipun matanya terpejam, pikirannya tetap kacau. Rencana jahatnya yang tadi terasa begitu mudah, kini terasa lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Belum lama Bram memejamkan mata, tiba-tiba suara jeritan keras menggema di dalam rumah.
"Aaaakh! Perutku! Sakit!" Suara Mama Ella terdengar dari kamar sebelah, disusul dengan jeritan Molly.
Jessy yang masih setengah sadar langsung membuka matanya. Baru saja ia ingin duduk, terdengar geraman tertahan dari sebelahnya.
"Akh… sial!" Bram mengerang sambil memegangi perutnya. Wajahnya memucat, tubuhnya melengkung menahan rasa sakit yang jelas menyerangnya secara tiba-tiba.
Jessy menatapnya dalam diam.
"Jadi ini benar-benar terjadi lagi?"
Dalam kehidupan pertamanya, ia merasakan rasa sakit yang sama seperti ini setelah meminum susu coklat pemberian Fina. Sakitnya luar biasa, seperti ada ribuan jarum yang menusuk perutnya, membuatnya nyaris tak sadarkan diri.
Jessy mengepalkan tangannya. "Pasti teh itu juga mengandung racun yang sama!"
Namun, ada satu perbedaan besar di kehidupan ini, ia tidak meminum apapun yang diberikan Fina.
Dengan cepat, Jessy turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Dari lantai atas, ia bisa melihat Bi Tuti yang tergesa-gesa berlari ke arah kamar Mama Ella dan Molly. Wajahnya panik, jelas tidak tahu harus berbuat apa.
"Neng Jessy!" Bi Tuti melihatnya dan tampak lega. "Neng, Nyonya dan Neng Molly sedang kesakitan! Saya harus memanggil dokter, tapi—"
Jessy menatap ke arah ruang tamu. Fina tidak terlihat di mana pun.
Tentu saja, dia tidak akan muncul. Dia pasti sedang berpura-pura tidur atau malah mencari alasan agar tidak di salahkan.
Bram, yang masih menahan sakit, berjalan terseok-seok keluar kamar. Jessy melihat wajahnya yang pucat dan keringat dingin yang mulai membasahi dahinya.
"Mungkin… makanan yang kita makan tadi ada yang salah," gumam Bram di sela-sela napasnya yang berat.
Jessy tersenyum sinis. "Atau mungkin… teh yang diberikan oleh seseorang yang 'baik hati' itu memang sudah bercampur racun?"
Bram menatap Jessy dengan ekspresi terkejut dan penuh kebingungan. Tubuhnya masih meringkuk menahan sakit, tetapi pikirannya kini mulai dipenuhi tanda tanya.
"Jika teh itu memang beracun, kenapa hanya aku, Mama dan Molly, yang merasakan sakit?
"Bukankah kau juga meminumnya?" tanya Bram dengan suara serak. Keringat dingin menetes dari pelipisnya, rasa sakit di perutnya semakin menjadi-jadi.
Jessy berjalan mendekat dengan langkah santai. Matanya penuh ketenangan, kontras dengan keadaan Bram yang tengah tersiksa.
"Aku tidak meminumnya," jawabnya dengan nada dingin. "Aku hanya mencium aromanya saja."
Bram mengerutkan kening. "Apa?"
Jessy menatapnya penuh arti. "Aku tidak suka teh hijau. Aku alergi terhadap teh hijau."
Bram membelalakkan mata. "Alergi?"
Jessy mengangguk. "Ya, kau tidak tahu? Ah… tentu saja, kau tidak pernah benar-benar memperhatikanku, bukan?"
Bram terdiam. Dalam keadaan normal, mungkin ia akan membantah. Namun, sakit yang menyiksanya membuat pikirannya sedikit berkabut, dan di saat yang sama, ia mulai menyadari sesuatu.
Fina yang dengan gigih menyuruh Jessy minum teh itu…
Jessy yang selalu menolak meminum lebih dulu…
Dan sekarang, semua orang yang meminumnya jatuh sakit, dan Jessy ternyata tidak meminumnya…
"Apa ini benar-benar hanya kebetulan? Kenapa ia Tidak mengatakan apapun kepadaku? Apa dia juga merencanakan membunuhku juga?"
Sementara itu, dari kamar sebelah, jeritan Mama Ella dan Molly semakin memilukan. Bram mulai panik, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak cepat.