Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Awal Pembalasan
Jessy melangkah masuk ke dalam sebuah toko penyedia jasa pemasangan CCTV. Matanya langsung menyapu ruangan, mencari seseorang yang bisa membantunya. Ruangan itu cukup luas, dengan berbagai macam kamera pengawas dipajang di etalase kaca. Ada yang berukuran besar, ada pula yang kecil nyaris tak terlihat.
Ia menarik napas dalam. Hari ini adalah awal dari rencana panjangnya—rencana yang sudah ia susun dengan penuh perhitungan.
Tak lama kemudian, seorang pria dengan seragam teknisi mendekatinya. Pria itu tampak berusia sekitar awal tiga puluhan, dengan raut wajah ramah namun profesional.
"Selamat siang, Mbak. Bisa saya bantu?" tanyanya dengan senyum sopan.
Jessy menatap pria itu sejenak, lalu mengangguk.
"Saya ingin memasang beberapa CCTV di rumah," ucapnya tanpa basa-basi. Suaranya terdengar datar, dingin.
Teknisi itu mengangguk paham. "Baik, kami punya beberapa model yang cocok untuk kebutuhan seperti itu. Apakah Mbak ingin melihat contohnya?"
"Tentu," jawab Jessy, mengikuti pria itu ke salah satu etalase.
Pria tersebut menunjukkan beberapa kamera pengintai yang ukurannya sangat kecil, bahkan ada yang bisa disamarkan sebagai benda dekoratif seperti jam dinding, lampu, atau bahkan colokan listrik.
"Kamera ini memiliki kualitas gambar yang jernih, bisa merekam dalam kondisi minim cahaya, dan bisa disambungkan langsung ke ponsel melalui aplikasi," jelas teknisi itu sambil memperlihatkan sebuah CCTV mini yang bisa ditempel di sudut ruangan tanpa mencolok.
Jessy mengamati beberapa model yang ditunjukkan. Ia perlu memilih dengan hati-hati, karena tujuannya bukan sekadar memantau, tapi juga mengungkap kebenaran tentang apa yang akan terjadi di rumahnya.
"Bersiaplah kalian semua, wahai manusia munafik." ucap Jessy dengan geram di dalam hatinya.
Pikirannya kembali melayang ke malam-malam panjang penuh air mata, saat ia menyadari betapa bodohnya dirinya selama ini. Suaminya, Bram, bukan hanya seorang pengkhianat, tetapi juga seorang pembohong ulung yang lihai memainkan peran sebagai suami yang baik.
Lebih menyakitkan lagi, keluarga Bram selalu meremehkan dan memperlakukannya seperti pembantu tak berguna di rumah mereka sendiri.
Apalagi malam sebelum ia meninggal dunia melihat Bram dan selingkuhannya tertawa di atas penderitaannya di mobil lainnya. Jessy tersenyum getir.
Namun, kali ini Jessy tidak akan tinggal diam. Ia akan membuat keluarga Bram dan selingkuhannya merasakan kesakitan berkali-kali lipat.
"Aku butuh beberapa kamera," kata Jessy akhirnya.
Teknisi itu tidak banyak bertanya. "Baik, berapa banyak totalnya, Mbak?"
Jessy berpikir sejenak. "Delapan. Pastikan semuanya dipasang di tempat yang tidak mencolok."
Teknisi itu mengangguk. "Siap. Pemasangannya bisa dilakukan sekarang?"
"Ya. Sekarang semua orang sedang pergi, jadi ini waktu yang tepat," ucap Jessy mantap.
Teknisi itu mengangguk dan segera memanggil dua rekannya yang lain. Mereka membawa perlengkapan pemasangan, lalu menuju mobil untuk berangkat ke rumah Jessy.
Mobil berhenti di depan rumah besar milik Jessy. Ia turun lebih dulu, membuka pintu pagar dengan cepat, memastikan keadaan rumah benar-benar kosong seperti yang ia ingat dari kehidupan pertamanya.
"Masuklah," katanya kepada para teknisi.
Ketiga pria itu mengangkat perlengkapan mereka dan melangkah masuk ke dalam rumah. Jessy mengarahkan mereka ke tempat-tempat yang sudah ia tentukan sebelumnya.
"Kita mulai dari kamar saya," kata Jessy, berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Begitu sampai di kamar, salah satu teknisi melihat sekeliling dan bertanya, "Mau dipasang di mana, Mbak?"
Jessy menunjuk ke sudut langit-langit yang dekat dengan lemari. "Di sana. Pastikan sudut pandangnya bisa mencakup seluruh ruangan."
Teknisi itu segera bekerja, memasang CCTV mini yang hampir tak terlihat. Jessy memperhatikan dengan saksama, memastikan kamera itu dipasang dengan benar.
Dalam hati, ia bergumam, "Bram, aku ingin melihat bagaimana wajahmu saat tahu semua kebusukanmu telah terekam jelas. Aku ingin melihat ekspresi terkejutmu saat akhirnya kau tahu aku bukan lagi istri bodoh yang bisa kau permainkan sesuka hati."
Setelah selesai di kamar, mereka berpindah ke ruang tamu. Jessy menunjukkan sudut terbaik untuk memasang kamera, memastikan bahwa seluruh ruangan bisa terekam dengan jelas.
"Pastikan kamera ini bisa menangkap suara juga," ujarnya.
Teknisi itu mengangguk. "Tentu, Mbak. Kamera ini dilengkapi dengan fitur audio dua arah, jadi bisa merekam suara dengan jelas."
Jessy tersenyum puas. "Bagus."
Mereka melanjutkan pemasangan di beberapa tempat lain, termasuk ruang makan, lorong menuju kamar, dan terutama ruangan yang sering digunakan Bram bersama Fina.
Ah, Fina… yang kini menjadi selingkuhan suaminya. Jessy mengepalkan tangannya kuat-kuat. Hanya mengingat nama itu saja sudah cukup untuk membuat darahnya mendidih.
"Kalian pikir bisa terus bersenang-senang tanpa ada konsekuensi? Kalian salah besar. Aku akan memastikan semuanya terungkap di hadapan dunia."
"Kita hampir selesai," kata salah satu teknisi setelah beberapa jam bekerja. "Tinggal melakukan uji coba."
Jessy mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi yang sudah diinstal sebelumnya. Ia melihat satu per satu kamera yang sudah dipasang, memastikan semuanya berfungsi dengan baik.
"Gambarnya jernih," gumamnya sambil menggeser layar ke kiri dan kanan. Ia bisa melihat seluruh sudut ruangan dengan jelas.
"Kalau ada yang perlu disesuaikan, kami bisa mengatur ulang posisinya," kata teknisi.
Jessy menggeleng. "Tidak, ini sudah bagus. Terima kasih."
Setelah menyelesaikan pembayaran, para teknisi pamit dan meninggalkan rumah.
Jessy berdiri di ruang tamu, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Ia merasa sedikit lega karena kini ia memiliki mata-mata yang bisa membantunya mengawasi segalanya.
"Dengan ini, aku tidak akan melewatkan apa pun. Dan ini akan menjadi bukti untuk lebih cepat pisah dengannya," gumamnya.
Senyuman tipis terukir di wajahnya. Ini baru permulaan. Masih banyak langkah yang harus ia ambil, dan ia akan memastikan setiap langkah itu membawa Bram dan keluarganya semakin dekat ke kehancuran yang mereka ciptakan sendiri.
klau dah di cerai baru menyesal Bram,,,,,,
tetap semangat terus