Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 5
"Ta–tapi kan--"
"Tapi apa? Itu kan cuma syarat sebagai mas kawin. Cincin milik mendiang ibuku, jadi cepat kembalikan!" pinta, Max lagi dengan tegas.
"Sebaiknya kita solat subuh dulu. Setelah ini baru kita bahas lagi. Nanti akan Arumi jelaskan pengertian tentang mahar," kata Arumi. Perasaannya gusar, karena perempuan muslimah itu tidak pernah solat terlambat. Biasanya Arumi sudah berada di atas sajadah sebelum adzan berkumandang. Karena, memang Arumi terbiasa mengerjakan solat sunnah qobliyah.
"Kau boleh melakukan apa yang kau bilang solat itu setelah mengembalikan cincin milikku!" tegas Max lagi, dan kini berikut dengan tatapan tajamnya.
Arumi menarik nafasnya dalam. Nampaknya ia harus menjelaskan pada sosok pria gagah di hadapannya tentang pengertian mahar atau mas kawin dalam waktu singkat.
"Mahar dalam Islam itu adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan yang di niatkan untuk menjadi istrinya. Karena suami wajib menafkahi wanita yang menjadi pasangannya. Karena itu, mahar menjadi hak mutlak milik istri. Suami tidak boleh bahkan haram untuk memintanya kembali," jelas Arumi, dengan wajah menunduk. Karena ia tak sanggup beradu pandang dengan tatapan Max yang tajam bak mata elang.
"Apa!" kaget Max. Ia terlihat mengusap kasar kemudian berjalan mondar-mandir. Semenjak sang mama meninggal di atas pangkuannya, sejak saat itu cincin tersebut tak pernah lepas dari jarinya.
Dengan cepat, Max berbalik setelah ia menemukan cara agar cincin itu segera kembali padanya. "Dengar. Aku akan mengganti mahar mu dengan perhiasan lain yang lebih bagus dan mahal. Tapi, kembalikan cincin milikku itu sekarang," kata Max, melakukan penawaran pada, Arumi.
Entah kenapa, Arumi tersenyum kecil. Terlihat dia mengusap cincin yang tentu saja kebesaran ketika berada di jempolnya sekali pun. "Kalau Arumi tidak mau, gimana? Arumi sudah terlanjur suka," katanya membuat, Max mengeratkan rahangnya lagi.
"Sebaiknya kau tidak membantahku. Lagipula, cincin itu tidak pas melingkar di jarimu!" ancam, Max kambali menyudutkan tubuh Arumi ke dinding.
"I–iya. Nanti Arumi kembalikan. Sekarang kau menjauhlah. Saya mau solat!" usir Arumi pada pria yang membuat napasnya sesak itu. Arumi kemudian mengalungkan cincin itu pada kalung mas putih yang melingkar di lehernya. Arumi benar-benar berniat menjaga mahar yang jadi sengketa barusan.
Arumi langsung bergegas untuk melaksanakan solat subuh. Meninggalkan Max, yang menolak lantaran tidak tau apa kegiatan yang di namakan ibadahnya umat muslim itu.
Sementara itu di tempat lain.
Anggota mafia Black Hawk yang lain, tengah kelimpungan menunggu ketua mereka yang tidak kunjung kembali.
"Kenapa, Max tidak juga kembali ke markas. Apa mungkin, para intel itu berhasil menangkapnya atau membunuhnya?" tanya Anne. Sahabat Max sejak kecil itu terlihat begitu panik.
"Ketua tidak mungkin tertangkap apalagi terbunuh. Dia pasti sedang bersembunyi di suatu tempat. Aku, mendapatkan sinyal dari ponselnya beberapa jam yang lalu. Mungkin saat ini benda itu kehabisan daya atau rusak," kata Dave Allen, yang merupakan salah satu orang kepercayaan, Max.
Pada saat penyergapan yang sama sekali tidak mereka duga. Kebetulan Dave berpencar atas perintah Max.
"Jika sampai siang, Max belum juga kembali. Kita harus mencarinya. Itu tugasmu untuk melacak keberadaannya, Dave!" tegas Anne.
"Aku pasti akan melakukannya, walau tanpa perintah darimu!" ketus Dave. Ia nampak tidak suka dengan sikap dominan dari wanita maskulin di hadapannya ini. Hanya karena Anne merupakan sahabat masa kecil, Max. Wanita itu terkadang lupa diri dan suka bersikap angkuh pada anak buah Max yang lain. Termasuk dirinya.
*
*
Olivir Caspian atau biasa di kenal dengan panggilan Mr. O. Pria berwajah garang itu merupakan ketua mafia Wolfgang. Oliver memerintahkan putranya yang bernama Evander agar segera menyebar anak buahnya untuk melacak keberadaan, Max hidup ataupun mati. Oliver yakin jika jebakannya malam tadi berhasil melumpuhkan saingan bisnisnya itu.
"Kelompok ini suatu saat nanti akan ku warisi padamu. Bergeraklah lebih gesit!" tegas Oliver pada putranya yang pecinta wanita dan juga sex itu. Evander, adalah satu-satunya penerus dari Oliver.
Dengan malas, Evander menoleh pada sang ayah. "Dia pasti sudah tamat, Dad. Orang suruhanku tidak mungkin gagal kali ini," jawab Evander asal. Ia kembali membuka mulutnya yang sedang di suapi salad buah oleh wanitanya.
Melihat tanggapan putranya yang tanpa antusias. Oliver langsung menendang meja di depan Evander. Dimana ada banyak botol dan gelas minuman di atasnya.
Brakk!
Prank!!
Sontak Evander dan beberapa wanita di dalam ruangan itu terlonjak kaget. "Tinggalkan wanita-wanita pemuas napsumu itu, dan segera lakukan perintahku! Atau, akan ku buat senjatamu tidak mampu berfungsi lagi!" ancam Oliver dengan senjata yang diarahkan ke bawah perut putranya itu. Kecaman dari Oliver nyatanya berhasil membuat Evander bergerak. Evander sempat berdecak karena sang ayah telah merusak acaranya.
Evander, menurunkan anak buahnya ke lokasi di mana terakhir kali, Max terlihat menurut informannya. Di sanalah Evander menemukan mobil yang terbakar dan juga bercak darah. "Dia pasti sudah tertangkap tangan lalu tertembak. Dia tidak akan selamat kali ini." Evander, bergumam dengan seringai sinisnya.
Tak lama para anak buah yang tersebar menghampirinya tergopoh-gopoh. "Kami tidak menemukan jasadnya. Bercak darah berakhir di tepi jalan itu," lapor salah satunya, seraya menunjuk tepi jalan yang mana seberangnya terdapat sebuah kampung.
*
*
Max tertidur di dalam kamar Arumi. Mustafa dan sang keponakan sepakat tidak membangunkannya. Karena Arumi menduga kalau pria asing yang mendadak jadi suaminya itu tengah terlibat masalah besar. Arumi dan Mustafa sempat berbicara mengenai segala kemungkinan tentang, Max.
"Bagaimana kalau dia orang jahat, Pakde?" tanya Arumi dengan tatapan matanya yang sendu mengarah pada sosok paruh baya di hadapannya. Arumi telah menceritakan semua yang ia lihat pada sosok, Max.
"Nduk. Kita memang harus waspada terhadap segala kemungkinan terburuk. Walau pun begitu, alangkah baiknya kita tetap berprasangka baik terhadap rencana Allah. Apa yang terjadi padamu sekarang sudah tertulis di dalam Lauhul Mahfudz," jawab Mustafa, dengan cara bicaranya yang lembut dan penjelasannya yang masuk akal.
"Pakde benar. Arumi harus bisa menerima ini semua dengan pikiran dan hati yang bersih."
"Bersabarlah, dalam menerima takdir ini, Nduk. Pakde hanya bisa memberi nasihat serta mendoakanmu. Semoga ada hikmah yang indah di balik ini semua. Kamu, sudah terlalu banyak bersedih dan terluka," ucap Mustafa lagi seraya mengusap punggung tangan sang keponakan yang telah ia anggap putrinya sendiri itu.
"Syukron, Pakde. Arumi bersyukur karena Pakde masih panjang umur sampai sekarang. Bisa menemani dan membimbing Arumi menjalani setiap langkah kehidupan. Arumi, tidak tau akan seperti apa kalau tidak ada, Pakde," lirih Arumi yang tiba-tiba kembali merasakan sesak di dalam dadanya. Bahkan ucapan terakhirnya sempat tercekat di tenggorokan.
Ternyata, di dalam kamar Max mendengar apa yang di bicarakan oleh kedua orang di ruang tamu. Max, memutuskan akan membawa Arumi ke kediamannya setelah keadaan kondusif. Max, mencari cara untuk bisa menghidupkan kembali ponselnya agar Dave Allen bisa melacak keberadaannya.