karya ini murni imajinasi author jika ada kesamaan nama itu hal yang tidak di sengaja
Galang Bhaskara adalah anak yang dibuang oleh ayah kandungnya sendiri waktu masih bayi. Setelah Galang tepat berumur tujuh belas tahun, Galang bermimpi bertemu kakek tua bungkuk yang mengaku sebagai leluhurnya.
Bagaimana perjalanan Galang untuk menjadi pahlawan kota? Dan, akankah Galang menemukan keluarga kandungnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdul Rizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
teratai emas
"Cari tahu siapa itu Surogeni, ajak dia bergabung dengan kita," ucap Tuan Patra.
"Baik, tuan," ucap kesepuluh anggota.
Sementara itu, Alex menggertakan giginya. "Aku harus menghalangi mereka untuk merekrut Galang," ucap Alex dalam hati.
"Kenapa, Lex?" ucap Tuan Patra, yang melihat Alex seperti menahan amarah.
"Tidak, tuan. Aku hanya kembali teringat kejadian di rumah Abimanyu," ucap Alex.
"Kau juga ada disana bersama Jarot. Apa kau tahu siapa Surogeni dan bagaimana kekuatanya?" tanya Tuan Patra.
"Aku tidak melihat Surogeni, tuan, karena waktu itu aku sedang bertarung melawan anak buah Abimanyu di dalam rumah, sedangkan Jarot bertarung di luar," ujar Alex.
"Baiklah, sekarang kalian kembali ke rumah kalian masing-masing."
"Baik, tuan," ucap kesepuluh anggota.
Tuan Patra berpikir dalam hati, "Rencanaku untuk menguasai kota Humarsa harus segera terwujud."
Waktu berlalu begitu cepat. Sudah berbulan-bulan sejak bertemunya Galang dan Ratna. Galang juga sekarang sudah kelas dua belas. Saat ini, Galang sedang santai di atas pohon, menikmati pemandangan sekitar.
"Tuan, ada berita gembira," ucap Singokolo.
"Apa?" tanya Galang.
"Nanti malam, tepat pukul dua belas malam, akan muncul Teratai Emas, tuan."
"Teratai Emas? Memangnya, kenapa?"
"Kalau tuan memakan Teratai Emas, segala jenis teknik kutukan, ilmu hitam, bahkan segala jenis racun tidak akan mempan pada tuan."
"Benarkah? Dari mana kau tahu, Singo?"
"Aku tahu dari prajuritku, tuan. Teratai itu muncul setiap seratus tahun sekali."
"Hmmm, sepertinya teratai itu sangat berguna jika aku melawan musuh yang menggunakan racun. Baiklah, dimana aku mendapatkan teratai itu, Singo?"
"Teratai itu ada di Sungai Bengawan, di luar kota, tuan."
"Jauh juga. Aku harus mendapatkan teratai itu, apapun yang terjadi."
"Teratai itu mungkin sulit didapatkan, tuan, karena pasti banyak orang-orang penganut ilmu hitam yang coba mendapatkannya."
"Pasti mereka akan bertarung, kan, Singo? Aku hanya perlu mengambil teratai itu dan pergi tanpa harus bertarung. Aura ku juga tidak akan terdeteksi karena memakai cincin ini. Hahaha."
"Kau sangat pintar, tuan. Aku yakin mereka, para penganut ilmu hitam, akan sangat marah karena tidak mendapatkan teratai itu."
*****
Malam ini, teratai itu muncul. Aku harus mendapatkannya," ucap kakek tua berjenggot putih dan memakai pakaian serba hitam.
"Aku yakin, guru, pasti bisa mendapatkan Teratai Emas itu," ucap pemuda berpakaian serba hitam.
"Kerahkan semua murid di perguruan ini. Nanti malam, aku harus mendapatkan teratai itu. Aku tidak perduli jika harus bertarung mati-matian dengan Rumi."
"Baik, guru."
"Aku, Sutarjo, harus mendapatkan teratai itu dan menjadi penganut ilmu hitam terkuat. Dengan begini, mungkin aku bisa masuk ke organisasi itu. Hahahaha," bathin Sutarjo.
Berikut teks dengan tanda baca yang telah ditambahkan:
"Ayo, sekarang kita berangkat!" ucap Guru.
"Baik, guru," jawab murid-muridnya.
******
Sementara itu, di depan gubuk di atas gunung, nampak nenek-nenek bungkuk dengan tongkat menatap ribuan Gondoruwo yang sedang berlutut kepadanya.
"Akhirnya, penantian selama seratus tahun, Teratai Emas muncul juga! Hahaha, aku akan mendapatkannya. Tidak ada penganut ilmu hitam sekuat diriku. Aku pasti bisa mendapatkannya," ucap Nenek Rumi dalam hati.
"Ayo, kita berangkat! Sebagian pasukan, jaga rumahku," ucap Nenek Rumi pada pasukan Gondoruwo.
"Baik, ratu," jawab para Gondoruwo.
******
"Bu Galang, mau nginep di rumah temen, boleh, yah, Bu?" tanya Galang pada Bu Sari.
"Kenapa kamu ga betah tinggal di sini, Lang? Ga kok, Galang betah, cuman pengin nginep aja di rumah temen, Bu. Di sana rame, kalo di sini kan cuman ada Ibu, Fatur, juga lagi sibuk, Bu, ngerjain tugas," jawab Galang.
"Ya, udah, sana, jangan mabuk-mabukan," ucap Bu Sari.
Galang memakai pakaian serba hitam dan menyembunyikan topeng di balik jaketnya. Tanpa berlama-lama, Galang langsung menuju Desa Sindang yang berada di luar kota Humarsa.
Berjam-jam perjalanan, akhirnya Galang sampai di Desa Sindang. Galang sampai pada sore hari. Galang menitipkan motornya pada salah satu penduduk desa tersebut.
"Makan dulu, ah," ucap Galang sambil berjalan ke arah warung.
Galang memasuki warung makan tersebut.
"Makan apa, Nang?" tanya Ibu-Ibu pemilik warung.
"Hmmm, ayam aja, bi," jawab Galang.
Galang melihat banyak orang-orang memakai pakaian serba hitam. "Perguruan Iblis Hitam" tulisan di belakang pakaian tersebut.
"Hmmm, jadi ada dari perguruan juga," ucap Galang dalam hati.
"Apa itu, tuan?" ucap Singokolo.
"Apa, Singo?" tanya Galang.
"Itu, tuan, pelindung hitam yang ada di mata orang itu," ucap Singokolo saat melihat orang pria tampan mengenakan kacamata hitam.
"Oh, itu cuman kacamata hitam, Singo," ucap Galang.
"Jadi, nama pusaka itu kacamata, tuan. Itu terlihat sangat keren, aku menginginkannya, tuan," ucap Singokolo.
"Hadeh, ada-ada aja," batin Galang.
"Iya, nanti jika aku dapat Teratai Emas, aku akan membelikan kacamata hitam untukmu, Singo," ucap Galang.
"Kau benar-benar baik, tuan. Aku yakin kau bisa mendapatkan Teratai Emas, tuan," ucap Singokolo.
"Ehhh, tunggu dulu, Singo. Wujudmu saja besar, bagaimana kau bisa memakai kacamata?" tanya Galang.
"Aku bisa merubah wujudku menjadi manusia, tuan," jawab Singokolo.
"Benarkah? Kenapa kau selalu berwujud singa?" tanya Galang.
"Itu agar musuh-musuh yang dihadapi tuan takut melihat wujudku," jawab Singokolo.
"Ini, Nang," ucap Ibu pemilik warung.
"Makasih, Bi," ucap Galang.
Saat Galang makan, Galang mendengar obrolan orang yang ada di sampingnya.
"Mir, kayanya malam ini bakal ada sungai darah," ucap pria paruh baya bertubuh gempal.
"Hah, emangnya ada apa, man?" tanya Amir, teman Mamam.
"Emangnya kamu kaga tau, man? Itu loh, Sungai Bengawan yang ada di belakang desa kita di situ lagi banyak aparat yang ngamanin warga biar tidak ada di situ. nanti malem bakalan rame orang orang penganut ilmu hitam kaya dukun dukun gitu ngerebutin teratai emas."
"Weh, kaya itu emas kalau di jual. Sembarangan itu bukan mau di jual, tapi mau di makan," kata Mamaku. "Orang yang makan Teratai itu kebal ilmu hitam. Pantes banyak yang ngerebutin, man."
"Apa mereka salah satunya, man?" tanya Amir sambil menunjuk para anggota Iblis Hitam.
Murid Perguruan Iblis Hitam yang ditunjuk menatap tajam Amir. "Berani sekali kalian membicarakan kami!" teriak orang yang ditunjuk Amir.
"Maaf, mas," ucap Amir.
"Cepat pergi, kalau ga, kepala lu gue pisahin dari tubuh lu!" ucap salah satu anggota perguruan sambil mengacungkan pedang.
Amir dan Mamam langsung pergi.
"Apa kau lihat-lihat?" ucap anggota perguruan pada Galang.
Galang langsung menunduk, pura-pura takut.
"Bunuh saja orang-orang perguruan ini, tuan. Aku muak melihat mereka. Kemampuan hanya segitu, sudah sok jagoan. Ingin sekali aku tarik lidah orang itu," ucap Singokolo.
"Tenang, Singo. Kita tidak perlu membuat keributan yang tidak berguna," ucap Galang.
Setelah beberapa menit makan, Galang keluar dari warung makan tersebut.
"Lihat itu, tuan. Banyak sekali pusaka kacamata itu. Berikan aku itu, tuan. Aku sangat menginginkannya," ucap Singokolo pada penjual kacamata.
"Kita belum mendapat Teratai itu, Singo," ucap Galang.
"Ayolah, tuan. Anggap saja itu hadiah untukku," ucap Singokolo.
"Baiklah," ucap Galang, manut, dan membeli kacamata hitam.