Yan Chen yang unik, memiliki roh Wajan dan di putuskan tunangan, tapi siapa yang menyangka ia bukan pemuda biasa.
dari wajah lucu dan sering bersikap bodoh, mencuri perhatian, memiliki rasa yang besar di dalamnya.
dengan itu, satu persatu perubahan mengejutkan semua orang dan pandangan tentangnya semakin baik dan lebih baik.
saya berharap bisa konsisten menulisnya.
selamat membaca, jangan lupa Like, komentar dan favoritnya, supaya penulis tahu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingatan
Zhao Huali memejamkan matanya. Ia seperti melayang-layang dalam alam mimpinya. Rohnya beterbangan seperti seorang peri dengan kedua sayapnya. Ia teringat dengan masa lalunya, bersama ibunya.
Salju di hempasan oleh angin kencang. Deru angin di luar seperti marah, suaranya menakutkan. Pintu beberapa kali di gedor-gedor.
Zhao Huali memandang pintu dan berdoa semoga saja angin cepat berlalu, semoga saja ayahnya pulang dengan selamat.
Angin dingin masuk ke ruangan, membekukan tulang-tulang dan menghamburkan apa yang bisa di jatuhkan.
Stoples gula terjatuh dan membuatnya terkejut.
Gula tumpah dan berserakan di lantai. Sering kali di pegunungan tempatnya tinggal tersapu badai sepanjang tahun. Namun meskipun sering kali terjadi, Zhao Huali selalu merasa takut tinggal di rumah. Ia takut jangan-jangan Rumahnya akan roboh dan menimpa dirinya.
Ia ingin membangun rumah yang lebih kokoh dan tinggal di daerah yang aman dari badai, tetapi selalu saja kendalanya karena modal untuk melakukannya.
Zhao Huali kerap di landa kekhawatiran tinggal, namun jika ia keluar atau setidaknya tinggal di tempat yang aman, selalu saja tidak ada cara untuk melakukannya dan mereka tidak akrab dengan penduduk desa. Dan mereka orang miskin. Selain itu karena ayahnya yang keras kepala, tidak ada yang bisa dilakukannya.
Seorang datang memungut gula yang berjatuhan.
“Ibu, kapan badai akan berhenti?”
“Paling lama besok dan normalnya sore ini.”
“Rumah kita bergoyang-goyang dan akan roboh, bagaimana jika kita tertimpa di dalamnya?”
“Tidak ada yang terjadi. Kamu banyak berpikir.”
Zhao Huali menatap Ibunya. Ia mengambil gula dengan menyatukan kedua tangannya seperti sebuah perahu. Mengambil setiap gula dan memasukkannya kembali.
“Nak, jangan pernah membenci angin.”
Ketika ibunya berkata, ia menutup toples gula kemudian meletakkannya di tempat yang aman.
Rumah mereka kecil dan di penuhi barang-barang. Ada kayu bakar di ujung bersama dengan sapu lidi. Ujung sebelahnya ada beberapa alat-alat masak yang menghitam karena sering di pakai. Di kedua ujung selanjutnya ada dua meja, satu untuk makan bersama dan satunya lagi untuk menaruh barang-barang. Kamu hanya perlu beberapa langkah untuk melakukan banyak hal dalam ruangan itu.
Rak-rak barang ada di sebuah barat di mana Ibunya menjinjit meletakan gula.
Zhao Huali ada di sebelah timur menatap ibunya.
“Mengapa?” Tanya ringan dan penuh keinginan tahu.
Zhao Huali sama halnya dengan anak lainnya, ia tidak akan menuruti apa yang di anggapnya aneh dan tidak masuk akal. Ia juga sering bertanya tentang dunia yang baru dikenalnya dan ada banyak hal aneh yang di temukannya, tapi beberapa pertanyaan bisa di jawab dengan benar, beberapa juga aneh dan tidak masuk akal, bahkan beberapa tidak bisa di jawab.
“Kamu ingat dengan Pendeta kuil?”
“Ya.” Ia menjawab dengan antusias.
Pendeta itu menghadiahinya sebuah kalung yang terbuat dari beberapa benang merah yang di satukan dengan gantungan bunga teratai perak berwarna merah. Itu hadiah karena melewati seribu anak tangga kuil yang berliku-liku.
Itu adalah pencapaian Zhao Huali ketika menginjak awal umur empat tahun.
Ia amat senang di hadiahi sebuah kalung seperti itu dan sering kali menatapnya.
“Kata Pendeta, angin adalah wujud dari kehendak dan tekad dunia, sebab itu kuil teratai di bangun di bukit. Para pendeta dapat merasakan embusan angin yang paling lembut dan kencang di puncak Bukit. Mereka dapat meramalkan apa pun yang akan terjadi. Selalu saja tidak semuanya benar, karena angin punya bahasanya sendiri.”
“Bagaimana dengan peramal di bawah pohon plum itu?”
“Itu bukan ramalan tapi mengundi keberuntungan.”
Ketika ibunya menjawab, ia berjalan mendekati Zhao Huali dan menatapnya.
“Hanya sedikit orang-orang yang di anugerahi tangan-tangan berbakat. Tangan peramal itu memilikinya dan dapat melakukannya. Tidak ada yang bisa melakukannya selain dia.”
“kupikir dia penipu.”
“Ada banyak orang seperti itu untuk mencapai keuntungan, mereka adalah orang-orang kelas rendah yang suka menipu.”
“Apa ibu mengetahuinya?”
“Ibu tidak terlalu memahaminya tapi ibu belajar banyak wajah di seluruh dunia.”
“Wajah, ah mengapa aku lupa dengan itu?” Zhao Huali kemudian teringat beberapa hari yang lalu di gang dan ia bertanya, “Bagaimana dengan peri abadi dan tekad angin? Peramal itu mengatakan aku akan menjadi peri abadi dengan elemen angin, yaitu kehendak yang kuat. Menjadi seorang peri yang di perhitungkan di masa depan, apa itu benar?”
“Tentu,” jawabnya ringan. “kamu akan menjadi seperti itu. Kamu tentu bertanya mengapa kita tidak pindah rumah, mengapa kita harus berhemat meski penghasilan kita meningkat dan mengapa terus saja kita di landa musibah badai seperti ini. Itu tidak lain karena ramalan itu dan ayahmu percaya dengan itu sehingga bekerja lebih giat untuk mengumpulkan uang agar kamu dapat memasuki sekte bergengsi.”
“Aku lebih baik di sini bersama kalian. Menjadi peri dan masuk ke Sekte bukan keinginanku. Bagiku masuk ke sana seperti masuk ke perkumpulan pembunuhan.”
“Tidak anakku. Kamu harus terbiasa dengan itu. Mereka membunuh demi kehidupan mereka. Ibu dengar, para peri abadi dapat menghidupi orang yang sudah mati dan dapat memperpanjang umur mereka. Ayahmu benar-benar ingin hidup lama di Dunia ini, sebab itu menaruh harapannya padamu. Dia juga mencarikanmu tunangan yang tampan, siapa itu ya, ibu lupa, ah ya... Yan Chen, keluarga Yan yang terkenal di kota. Tuan muda pertama yang meski katanya agak aneh tapi sangat kuat.”
“Yan Chen?”
Zhao Huali teringat enam hari yang lalu di gang bertemu seorang pemuda yang banyak tingkah. Ia banyak bicara dan benar-benar menyebalkan. Dan akhirnya menarik tangan Zhao Huali kemudian meletakkannya sebuah pil. Katanya itu adalah pil berharga yang harus di simpan baik-baik dan orang itu mencurinya dengan susah payah di toko obat.
Ibunya mengangguk. “Kata ayahmu, pemuda itu memiliki bulan dan matahari di dalam tubuhnya. Dengan itu, kamu dapat berkembang. Matahari untuk menyemangatimu, sementara bulan untuk menyejukkanmu. Bersamanya, kamu akan mendapatkan banyak pencerahan.”
Zhao Huali tidak terlalu memikirkan tentang pertunangan, hal itu terlalu jauh baginya dan satu pertanyaan yang sering muncul dalam benaknya, angin, tekad dunia, kehendak dunia.
Ia penasaran dan mencarinya tahu tentang itu. Hingga sekarang ia belum menemukannya. Tapi, ia mendapatkan pencerahan.
*******
Angin bersiul di udara, melewati kedua telinganya. Angin itu berbicara, tapi Zhao Huali tidak mengerti, namun ia menebak apa yang ingin di sampaikannya.
Membuka matanya dan menatap Bai Yin, ia perlahan-lahan bangkit, ketika penguji ingin mengumumkan kemenangan Bai Yin.
Zhao Huali mengeluarkan pil putih. pil dari masa kecilnya. Jika itu benar-benar obat yang baik seperti yang di katakan Yan Chen, maka ini adalah keberuntungannya.
Meneguknya.
Ada rasa sakit ketika melewati kerongkongannya.
Ia teringat dengan angin. Tiba-tiba asap ungu menyelimuti tubuhnya. Ia merasa tubuhnya ringan dan menyenangkan. Semakin lebih baik dan membaik. Wajahnya berangsur-angsur pulih dan kekuatannya bertambah.
Tidak ada yang melarang menggunakan pil dalam ujian, meskipun itu terlihat curang.
Ujian ini proyeksi dari pertarungan sebenarnya. Seseorang harus menggunakan segala cara untuk menang meskipun dengan cara tercela sekali pun.
Zhao Huali mengeluarkan pedangnya dan pedang itu melayang-layang kemudian berputar-putar di atas telapak tangannya.
“Sekarang giliranku,” katanya.
Pedang itu terus berputar-putar dan angin di sekitar terhisap ke dalamnya. Orang-orang dapat melihat aliran angin dari segala penjuru menyatu ke dalam Pedang dan membuatnya berputar semakin cepat.
Pedang itu seperti gangsing merah yang terus berputar-putar dan semakin bertambah cepat lagi.
Tidak lama kelopak-kelopak bunga bermekaran dan sebuah teratai merah muncul dari tangan Zhao Huali, mengejutkan semua orang.