NovelToon NovelToon
Dosa Dibalik Kebangkitan

Dosa Dibalik Kebangkitan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Kutukan / Fantasi Wanita / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Wati Atmaja

Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keberangkatan Rea ke Desa Elden

Pagi itu, udara Rivendale terasa sejuk. Kabut tipis masih menyelimuti jalan-jalan kota, tetapi suasana di halaman benteng sudah sibuk. Kereta besar yang akan membawa Rea dan rombongannya ke Desa Elden tengah dipersiapkan. Tabib-tabib dari Rivendale berdiri dengan ramuan obat dan peralatan medis mereka, sementara prajurit dari Rivendale dan anggota Orde Bulan Biru berjaga di sekitar kereta, siap untuk perjalanan panjang yang penuh tantangan.

Rea akan ditemani oleh beberapa anggota terlatih dari Orde Bulan Biru, sebuah organisasi elit yang dikenal karena keahlian mereka dalam melindungi dan melayani pemimpin Rivendale. Di antara mereka, seorang wanita muda bernama Isolde berdiri dengan tegas di samping kereta. Isolde adalah pelayan pribadi Rea selama perjalanan ini, tetapi keahliannya lebih dari sekadar melayani. Sebagai anggota Orde Bulan Biru, ia juga terlatih dalam seni bertarung dan bertahan hidup.

“Lady Rea,” kata Isolde dengan nada hormat sambil membantu memeriksa barang-barang yang dimuat ke dalam kereta. “Segala sesuatu sudah disiapkan. Apakah ada hal lain yang ingin Anda tambahkan sebelum kita berangkat?”

Rea menggeleng dengan senyum tipis. “Terima kasih, Isolde. Pastikan semua tabib merasa nyaman selama perjalanan. Perjalanan ini tidak akan mudah, dan aku ingin mereka berada dalam kondisi terbaik saat kita tiba di Elden.”

Di sisi lain, seorang prajurit muda dari Orde Bulan Biru, Gwen, berdiri dengan sikap waspada di dekat pintu gerbang benteng. Gwen adalah pengawal utama Rea selama perjalanan ini. Meskipun usianya masih muda, keahliannya dengan pedang dan naluri perlindungannya membuatnya menjadi pilihan yang sempurna untuk misi ini.

“Lady Rea, perjalanan ini berbahaya,” ujar Gwen dengan nada serius. “Kami akan melindungi Anda dengan segala cara. Jangan ragu untuk memberi perintah jika merasa ada ancaman.”

Rea menatap Gwen dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku tahu kalian akan melakukan tugas kalian dengan baik, Gwen. Aku percaya pada kalian.”

Selain anggota Orde Bulan Biru, beberapa prajurit dari pasukan kota Rivendale juga turut serta dalam rombongan ini. Mereka bertanggung jawab menjaga kereta dan memastikan bahan makanan serta obat-obatan sampai dengan selamat di Desa Elden. Dipimpin oleh seorang kapten bernama Thorne, prajurit-prajurit ini telah terbiasa menghadapi situasi sulit, termasuk wabah yang baru saja melanda Rivendale.

Kapten Thorne, seorang pria dengan rambut abu-abu dan sorot mata tajam, mendekati Rea sebelum keberangkatan. “Lady Rea, para prajurit saya sudah siap. Kami akan memastikan perjalanan ini aman sampai ke tujuan.”

“Terima kasih, Kapten Thorne,” balas Rea dengan sopan. “Kehadiran kalian sangat berarti bagi misi ini.”

Thorne memberikan hormat, lalu kembali ke barisan prajuritnya untuk memberikan arahan terakhir.

Di tengah kesibukan itu, Kaelan berdiri dengan tatapan serius, mengawasi setiap detail persiapan. Ia memeriksa roda kereta, memastikan semuanya dalam kondisi baik. Meski tidak ikut dalam perjalanan ini, perhatiannya tetap tertuju pada keselamatan Rea.

“Rea,” katanya pelan saat mendekati kereta. “Aku tidak suka melihatmu pergi tanpa aku. Tapi aku tahu ini sesuatu yang harus kau lakukan.”

Rea tersenyum, menepuk lengan Kaelan. “Jangan khawatir, Kaelan. Aku tidak akan sendirian. Dengan Isolde, Gwen, dan Kapten Thorne, aku tahu aku akan aman.”

Kaelan mengangguk, meskipun ada keraguan di matanya. “Kembalilah dengan selamat. Rivendale membutuhkanmu.”

Rea naik ke kereta, diiringi tatapan penuh harap dari Kaelan dan Lord Adric. Ketika kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan benteng, Isolde dan Gwen mengapitnya dari kiri dan kanan, sementara prajurit Rivendale berjaga di depan dan belakang kereta. Warga Rivendale yang melihat keberangkatan rombongan itu melambaikan tangan, berharap perjalanan ini membawa solusi untuk Elden.

Di dalam kereta, Rea menarik napas panjang, menyadari bahwa misi ini bukan hanya tentang menyelamatkan Elden, tetapi juga tentang membuktikan bahwa Rivendale adalah kota yang kuat, peduli, dan tak akan meninggalkan sekutu-sekutunya.

Kaelan berdiri di samping Lord Adric di pintu gerbang benteng, mengawasi persiapan dengan mata tajam. Meski terlihat tenang, kekhawatiran terpancar di wajahnya. Ia tahu Elden sedang dalam kondisi buruk, dan Rea mengambil peran penting dalam misi ini.

''Jaga Rea dengan baik.'' Kata Kaelan berbisik pada Sir Gareth. Sir Gareth menundukkan kepala. “Tentu, Tuan Kaelan. Kami akan menjaga mereka.”

Lord Adric melangkah maju dengan gulungan surat yang disegel. “Ini surat untuk kepala desa Elden. Sampaikan bahwa Rivendale tidak akan meninggalkan mereka. Jika mereka membutuhkan lebih banyak bantuan, katakan padanya bahwa kami siap mengirimkan.”

Rea menerima surat itu dengan anggukan tegas. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku akan memastikan surat ini sampai.”

Sebelum naik ke kereta, Kaelan mendekat untuk terakhir kalinya. Ia memegang pintu kereta dan menatap Rea dalam-dalam. “Ingat, Rea. Jaga dirimu baik-baik.”

Rea menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Kau terlalu khawatir. Aku akan kembali dengan kabar baik.”

Kaelan akhirnya mundur, memberi isyarat kepada pengemudi kereta untuk bergerak. Kereta mulai meninggalkan benteng, diiringi tatapan penuh harap dari para warga Rivendale.

Kereta melaju perlahan di jalan berbatu yang mulai berlumpur karena hujan semalam. Sepanjang perjalanan, Rea memperhatikan pemandangan ladang kecil di pinggiran Rivendale. Beberapa petani yang selamat dari wabah melambaikan tangan dengan penuh harapan, menyadari bahwa rombongan ini membawa bantuan untuk desa tetangga.

Di dalam kereta, Rea duduk bersama Magnus, tabib utama Rivendale, dan beberapa tabib lainnya. Mereka memeriksa kembali persediaan obat dan bahan makanan yang dibawa.

“Magnus,” kata Rea, memecah keheningan. “Apakah ramuan yang kita bawa cukup untuk mengatasi wabah di Elden?”

Magnus mengangguk, meski wajahnya tetap serius. “Ramuan ini cukup untuk meredakan gejala dan menetralisir sebagian kecil air yang terkontaminasi. Tetapi prosesnya akan memakan waktu. Kita perlu menutup irigasi untuk sementara waktu.”

“Kalau begitu, kita harus memastikan tidak ada warga yang menggunakan air itu lagi,” jawab Rea. “Ini akan sulit.”

Perjalanan itu berlangsung selama beberapa jam, melewati hutan dan sungai kecil. Mereka juga bertemu beberapa pengungsi dari Elden yang berjalan kaki menuju Rivendale, wajah mereka penuh kecemasan. Rea berhenti untuk mendengar cerita mereka, semakin memahami betapa parahnya situasi di Elden.

Ketika rombongan akhirnya tiba di Elden, pemandangan yang menyedihkan menyambut mereka. Ladang gandum yang luas kini berubah menjadi ladang tandus dengan tanaman menguning dan bercak hitam. Di sudut-sudut ladang, ternak mati tergeletak, membusuk di bawah matahari yang redup. Di jalan utama desa, suasana penuh ketegangan. Warga berkumpul dengan wajah cemas, berharap kedatangan rombongan ini membawa kabar baik.

Kepala desa, Alden, seorang pria tua dengan rambut putih lebat, berjalan terburu-buru ke arah mereka. “Lady Rea,” katanya dengan suara gemetar, menundukkan kepala. “Terima kasih telah datang. Kami benar-benar membutuhkan bantuan Anda.”

Rea turun dari kereta, menatap Alden dengan serius. “Kami di sini untuk membantu, Kepala Desa. Tapi pertama-tama, tunjukkan kepada kami sumber air yang kalian gunakan.”

Alden memimpin mereka ke saluran irigasi utama. Magnus dan para tabib segera memeriksa air yang mengalir di sana. Dengan alat sederhana, Magnus mengambil sampel air dan mencium aromanya.

“Ini buruk,” gumamnya. “Air ini sangat terkontaminasi. Spora jamur yang ada di dalamnya bisa meresap ke tanaman dan menyebabkan gejala pada manusia.”

Rea mengerutkan dahi. “Kita harus segera menutup irigasi. Tapi apa yang akan mereka gunakan untuk minum dan memasak?”

Magnus menatap Rea. “Kita harus mendistribusikan air bersih dari Rivendale. Tidak ada pilihan lain.”

Di balai desa, warga yang masih sehat berkumpul untuk mendengar pengumuman Rea. Wajah mereka dipenuhi kecemasan dan kelelahan.

“Kami membawa obat dan makanan untuk membantu kalian,” kata Rea, berdiri di depan mereka. “Tapi untuk sementara waktu, kalian tidak boleh menggunakan air dari irigasi. Kami akan menyediakan air bersih dari Rivendale.”

Seorang pria muda berdiri di tengah kerumunan, suaranya penuh dengan amarah. “Bagaimana kami bisa bertahan tanpa air irigasi? Ladang kami sudah hancur, dan sekarang kalian ingin mengambil sumber air kami juga?”

Sir Gareth melangkah maju, menenangkan warga. “Ini demi keselamatan kalian. Kami tidak ingin lebih banyak orang yang jatuh sakit.”

“Dan bagaimana dengan ternak kami?” seru seorang wanita tua. “Tanpa air, mereka juga akan mati!”

Rea mengangkat tangannya, meminta semua orang tenang. “Kami tahu ini sulit, tapi ini adalah langkah pertama untuk memulihkan desa ini. Kami akan bekerja secepat mungkin untuk membersihkan air irigasi. Sementara itu, kami akan memastikan semua kebutuhan kalian terpenuhi.”

Malam itu, Rea dan Magnus memulai proses pembersihan air dengan ramuan herbal. Para prajurit membantu menjaga keamanan, sementara Sir Gareth mengatur distribusi bahan makanan dan air bersih. Meski situasi masih sulit, kerja keras dan kerja sama memberikan harapan baru bagi Desa Elden.

1
seftiningseh@gmail.com
menurut aku episode satu di novel ini sangat bagus aku tarik baru baca sedikit menurut aku pribadi novel ini memiliki sedikit nuansa fantasi
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih
Wati Atmaja: terima kasih ya komentarnya.Aku makin semangat.
total 1 replies
Subaru Sumeragi
Begitu terobsesi sama cerita ini, sampai lahap ngelusin buku dari layar!
Wati Atmaja: makasih kaka. tambah semangat nulis cerita ya
total 1 replies
naruto🍓
Penulis berhasil menghadirkan dunia yang hidup dan nyata.
Wati Atmaja: terima kasih atas komentarnya /Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!