Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nara Masuk Penjara
Paduka," Namun belum lengkap Arven bicara, Raja Veghour menyelak.
"Panggil aku ayah Nak, jika sedang berdua seperti ini." Sorot mata Veghour melemah.
"Baiklah kalau itu yang Paduka mau. Demi kebenaran tentang ibu cepat terkuak, maka aku lakukan. Ayah, pelaku sebenarnya ingin mengkambinghitamkan Ratu Baily serta Pangeran Raze, karena bukti yang kita temukan sangat mulus mengarah pada Ratu dan Pangeran. Mereka ada dalam Istana, dan tentunya orang-orang tersebut bukan yang mengikuti ayah saat perang, dan juga bukan terlibat dalam perkelahian Pangeran Raze dan Nara."
"Kau benar, Arven, ayah pun merasakan hal yang sama. Maka dari itu, ayah memanggil dirimu kesini untuk memastikan apakah yang kita rasakan sama. Ini sangat membingungkan karena ayah benar-benar tidak bisa menandai pelaku. Setiap petunjuk yang muncul, pasti mengarah ke Baily atau Raze. Bukannya ayah membela istri dan putra, tapi rasanya terlalu janggal jika mereka yang melakukannya. Ayah sudah memeriksa, Baily tidak memiliki kekuasaan apapun. Dia benar-benar dari kalangan orang biasa. Tidak ada koneksi yang bisa mengaitkannya dengan orang berkuasa."
Arven mendengarkan dengan seksama, lalu membuka mulutnya dengan keyakinan. "Aku pun melakukan penyelidikan sendiri, ayah." Pengakuan Arven itu membuat Raja terkejut, mengingat pergerakan mereka yang tak terduga ternyata sejalan.
"Jadi, apa yang kau temukan?" tanya Raja, dengan nada yang hati-hati. Rasa penasaran membuncah di dadanya.
"Tidak sinkron dengan bukti-bukti yang ada," Arven menjawab. "Aku mendengar bahwa ayah diserang oleh komplotan bandit. Namun, senjata yang digunakan tampaknya mengandung simbol yang telah disamarkan. Ini bukan sekadar serangan acak. Semua sudah terorganisir dengan rapi. Artinya, si pelaku berada di dalam istana, seorang petinggi yang memiliki akses untuk merencanakan hal sebesar ini. Ia memiliki kekuatan besar yang tidak kita ketahui."
Raja Veghour memejamkan mata, merenung. Lalu, perlahan ia membuka mata, sorot matanya tajam menatap putranya. "Mungkin kita harus membuat langkah yang lebih berani."
Raja menghela napas, napas berat penuh ketegangan. "Aku akan membuat keputusan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Baily dan juga Raze, meskipun ada banyak hal yang belum jelas. Dengan begitu, kita akan menciptakan kelengahan di pihak mereka. Mereka akan terlena karena menganggap kita masuk dalam alurnya, dan saat itu kita bisa mengamati reaksi dari para menteri dan petinggi istana. Mereka akan terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang mendukung keputusan tersebut, dan juga kubu yang tidak setuju."
Arven menatap ayahnya dengan tatapan serius. "Ayah, menandakan dua kubu pro dan kontra tidak bisa dijadikan acuan. Kita tidak bisa hanya melihat siapa yang terlihat mendukung dan siapa yang melawan. Terkadang, musuh yang sebenarnya adalah yang terlihat baik, yang paling peduli, yang paling berbicara tentang keadilan dan kebaikan. Mereka yang dekat dengan kita bisa jadi yang paling berbahaya."
Raja Veghour terdiam, kemudian mengangguk pelan. "Kau benar, Arven. Terkadang, kita tidak bisa hanya mempercayai apa yang tampak di permukaan. Lalu, apakah kau ada rencana yang lebih bagus?"
"Lakukan rencana ayah yang ingin memberikan hukuman karena aku butuh kelengahan mereka. Selanjutnya...aku yang akan mengatasi."
"Kau tidak memberitahu ayah apakah rencanamu selanjutnya itu?"
Tidak," jawab Arven tanpa ragu. "Mengumbar rencana adalah langkah dekat menuju kekalahan."
Raja mengangguk perlahan, menerima penjelasan itu tanpa merasa tersinggung. Malah, senyum kecil terbit di wajahnya, seakan merasa bangga. "Memang seharusnya seperti itu, Arven."
"Iya, Ayah," jawab Arven. "Dan tentang kebenaran hukuman yang ayah jatuhkan, hanya kita berdua yang tahu. Apabila nantinya ada kebocoran, atau gebrakan lain yang berhubungan dengan itu, maka pengkhianatnya hanya bisa antara ayah dan aku. Ayah pasti paham maksudku."
Raja Veghour menatap putranya dalam diam. Berat tanggung jawab di pundak mereka terasa begitu nyata. "Benar, Arven. Ayah pastikan, ayahmu ini benar-benar ada di pihakmu. Tapi, di atas semua itu, ayah hanya ingin satu hal..." Suara Veghour melemah, sorot matanya menggelap oleh kerinduan yang dalam. "Ayah ingin sekali bertemu dengan ibumu, entah apa pun keadaannya."
Setelah pembicaraan serius mereka selesai, Arven berdiri dan bersiap meninggalkan kamar ayahnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ada aba-aba dari penjaga pintu bahwa Kasim akan masuk. Arx membawa setumpuk buku yang tampak berat di atas nampan perak.
"Yang Mulia, buku-buku yang Anda minta," kata Kasim Arx sambil membungkuk hormat.
"Terima kasih, Arx," jawab Raja Veghour. Ia melirik tumpukan buku di nampan dan tersenyum tipis. "Kau selalu tahu apa yang kubutuhkan."
Arx tersenyum sopan. "Hanya menjalankan tugas saya, Yang Mulia."
Raja mengambil salah satu buku dari tumpukan, kemudian mengalihkan pandangannya pada Arven yang masih berdiri di sisi ranjang. "Arven, apakah kau tidak ada rencana menikah dekat-dekat ini? Sayembara yang aku berikan sepertinya tidak ada yang menarik putra-putra ku. Kalian tidak ada usaha memperebutkan tahta Raja sepertinya."
Kasim Arx ikut bicara, nadanya lembut tapi mengarah. "Yang Mulia benar, Paduka Pangeran. Pernikahan adalah salah satu cara untuk memperkuat posisi. Seorang istri bisa menjadi sekutu terbesar Anda."
Arven menatap keduanya dengan datar. "Lihatlah, untuk sayembara, aku pasti akan menang dari Raze." Jawab Arven yang membuat Kasim sekilas tersenyum senang. Arx memang condong berada di pihak Arven ketimbang Raze. Hanya saja ia pandai menutup keberpihakannya tersebut, dan akan menunjukkannya lewat gestur yang sangat kilat.
Arven tanpa sadar sangat disayangi oleh Kasim tersebut.
...***...
Nara melangkah dengan hati-hati di koridor penjara bawah tanah yang suram. Suara langkah kakinya bergema, menyatu dengan aroma lembab yang menyelimuti tempat itu. Wajahnya tetap tenang, meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan yang mendesak. Dia akhirnya berhenti di depan sel yang dijaga dua orang penjaga. Di dalamnya, Raze duduk di bangku kayu dengan tangan terborgol. Tatapannya kosong, tetapi sorot matanya berubah begitu melihat Nara.
"Aku mau bicara sama Pangeran Raze," ujar Nara tegas kepada dua orang penjaga di depan sel.
"Tak ada yang boleh masuk. Perintah Raja tidak bisa diganggu gugat."
"Aku hanya ingin bicara dengannya. Hanya sebentar. Apakah itu terlalu sulit?" ucapnya masih dengan nada lembut.
"Maaf, Nona. Tapi tidak ada yang diijinkan untuk menemui tahanan ini tanpa perintah langsung dari raja." Katanya tegas. Mata menatap lurus ke arah Nara tanpa keraguan.
"Justru aku kesini atas perintah Raja." Bohongnya, membuat sang penjaga saling pandang satu sama lain. Dan dikesempatan yang kecil ini, Nara memukul tengkuk mereka hingga pingsan.
Lemah sekali.
Tanpa Nara ketahui, penjaga tersebut pura-pura kalah dan mencekal kaki Nara saat wanita itu melangkah. Nara terjerembab lalu tubuhnya di seret ke dalam sel kosong di sebelah Raze. Raze yang menyaksikan Nara terdzolimi berteriak keras, mengutuk serta memerintahkan penjaga tersebut untuk melepaskan Nara. Dasarnya status sebagai tahanan, titel Pangeran pun tidak bisa menghentikan perlakuan penjaga itu. Seorang tahanan tidak bisa memerintah.
Situasi makin tegang ketika teriakan Nara tak lagi terdengar. Penjaga itu pergi tak peduli. Tak disangka, di dalam sel sana, Nara malah mendengar suara aneh.
.
.
Bersambung.