Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Ibu Mertua Yang Datang Tiba-Tiba (revised)
Kalila nyaris kehilangan jantungnya ketika dia baru saja melangkah keluar gerbang kedai, mobil Arlen melaju dan langsung berhenti di depan gerbang.
"Huft, nyaris saja aku terlambat." ujar pria itu begitu keluar dari dalam mobil untuk membukakan pintu mobil untuk Kalila.
Kalila terpaku di tempatnya, masih tak percaya kalau Arlen tak hanya mengantarnya ke kedai pagi ini, tapi juga menjemputnya. Padahal jarak dari kantor ke kedai lumayan jauh apa lagi dengan rute yang lumayan langganan macet. Anehnya dia merasa senang, meskipun dia juga merasa bingung.
"Kamu datang untuk menjemputku?" Kalila bertanya.
"Iya, lah, Mbak. Masa untuk jemput aku." Celetuk Asri di sebelahnya.
Arlen mengacungkan ibu jarinya kepada Asri dengan ekspresi bangga seperti seorang ayah yang bangga anaknya dapat menjawab soal lomba cerdas cermat dengan benar.
"Ayo." kata Arlen kepada Kalila. "Kamu juga sekalian aja kita antar, Sri."
"Eh, ga usah, ga usah, Mas." Asri menggoyangkan kedua telapak tangannya. "Rumah saya di belakang kedai, masuk ke gang, mobil ga muat. Motor aja kadang senggol-senggolan sama tembok bangunan."
"Oh gitu, tapi ini udah malam, Sri. Ga apa-apa sendirian?"
"Ga apa-apa, Mas."
"Bener kamu ga kita antar aja, Sri?" Kali ini Kalila yang bertanya.
"Iya, Mbak. Lagian, kan, Mbak Lila tau rumah saya dekat banget dari sini dan ga bisa juga dianter pake mobil." Asri terkekeh.
Akhirnya setelah Asri berhasil meyakinkan Kalila dan Arlen bahwa memang dirinya tidak perlu diantar dan Asri yang cukup peka untuk tidak berada diantara pasangan yang sedang manis-manisnya, Arlen dan Kalila pun meninggalkan lokasi kedai.
"Sebenarnya, aku ingin bilang 'terima kasih' karena sudah menjemputku. Tapi aku juga ingin tanya, 'kenapa repot-repot menjemputku?' jarak kantormu dan kedai berlawanan arah dan jauh."
Arlen menyunggingkan senyumannya. "Ini ga sebanding dengan ketulusanmu, La."
Jawaban itu membuat suasana di dalam mobil mendadak hening. Ada kecanggungan yang sangat pekat mengisi kekosongan di dalam mobil itu. Kalila semakin merasakan sesuatu mengoyak pertahanannya.
"Memang sedekat apa sih rumahnya Asri?" tanya Arlen memecah keheningan kemudian.
"Kamu lihat ada gang, kan, ga jauh dari kedai?"
Arlen mengangguk.
"Rumahnya Asri masuk ke dalam gang itu."
Arlen pun terkekeh. "Pantas aja dia ga mau kita antar, ya."
"Iya, karena memang sedekat itu."
"Kalo kamu memang udah tau, kenapa tadi kamu juga ikut tanya ke Asri."
"Eh, iya juga ya." Kalila tertawa.
"Ah, akhirnya." ucap Arlen dengan senyuman.
"Akhirnya apa?"
"Akhirnya aku bisa lihat kamu tertawa lagi, La."
Kenapa sekarang Kalila jadi merasa ingin sekali tersenyum lebar?
"Aku pernah membuatmu takut sampai trauma kepadaku, dan jujur saja, membayangkan kamu ga mau berdekatan denganku itu membuatku juga takut." ucap Arlen.
"Takut kenapa?" tanya Kalila dengan nada yang dia buat santai, padahal hatinya berdebar.
Arlen mengeratkan cengkraman tangannya pada kemudi, dan menarik napas dalam seolah mengumpulkan keberanian.
"Aku takut kamu benar-benar pergi dari hidupku dan aku akan tersesat." ucapnya dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan.
"Kamu...berlebihan." Kalila merasa debaran jantungnya meronta kali ini.
"Aku janji, La. Aku akan akan berusaha membuat trauma itu hilang, suatu hari nanti, tapi ga tau hari apa."
Kalila pun kembali terkekeh.
Terkekeh untuk menutupi debaran jantungnya yang semakin brutal.
* * *
Setelah perdebatan receh tentang makan malam, akhirnya Kalila mengalah untuk mengikuti kemauan Arlen agar mereka makan di restoran saja dari pada Kalila yang harus memasak makan malam untuk mereka, dengan syarat restoran yang dipilih adalah pilihan Kalila. Dan Kalila memilih sebuah rumah makan Padang yang serba dua belas ribuan.
"La, ada loh rumah makan Sederhana yang lebih enak." ucap Arlen sebelum mereka keluar dari dalam mobil.
"Memang ada, tapi kenapa harus yang mahal kalo yang di depan mata sekarang rasanya ga kalah jauh."
"Kamu udah pernah makan di sini?" tanya Arlen.
"Udah."
"Sendiri?"
"Sama Rafa. Sama Miska juga, waktu itu nungguin Miska yang lagi acara bedah buku di gedung serba guna di seberang itu." Kalila menjelaskan.
Tapi kenapa ya, mendengar Kalila pernah makan di tempat ini berdua dengan Rafa meski dengan alasan menunggu Miska, tetap saja Kalila hanya makan berdua dengan Rafa, hal itu menimbulkan reaksi kimia yang membuat desiran darah Arlen tiba-tiba saja seperti meletup-letup.
Seperti puding yang tengah diaduk dan mulai meletup-letup permukaannya sebelum akhirnya mendidih.
Tiba-tiba saja Arlen menarik Kalila yang hampir membuka pintu untuk kembali memakaikan seat belt.
"Eh, kenapa?" tanya Kalila bingung.
"Aku ga suka."
"Apanya yang ga suka?"
Tempatnya. Arlen menjawabnya dalam hati. "Aku ga suka aja." jawab Arlen sembari menyalakan mesin mobil dan mulai bergerak mundur ke luar dari pelataran tempat makan itu.
"Ih kok gitu. Trus mau makan apa? Padahal di situ rasanya enak."
"Terserah kamu, tapi jangan yang tadi." Mendadak mood Arlen menjadi suram, Kalila dapat merasakannya.
"Kalo gitu, kita makan pecel ayam aja, ya. Ada tempat yang enak juga."
"Kamu pernah makan disana sama siapa?"
"Sama Miska."
"Sama Miska aja?"
"Iya. Kenapa?"
"Oke! Kita ke sana. Dimana tempatnya?" Nah, sekarang mendadak mood pria itu kembali baik.
Warung tendaan itu cukup penuh, beruntungnya ada dua pembeli yang baru selesai, tempat itu pun langsung ditempati oleh Kalila dan Arlen. Mereka memesan menu yang sama, pecel ayam dengan lalapan sederhana, sambal tomat merah dan sepiring nasi uduk hangat.
Arlen sudah meninggalkan jas nya di dalam mobil, dia longgarkan sedikit ikatan dasinya, lalu menggulung lengan kemejanya. Aroma gurih dari nasi uduk itu sungguh menggugah selera.
Arlen mencelupkan jemarinya pada semangkuk air dengan irisan jeruk limo lalu mulai menyantap nasi uduk pecel ayam itu dengan kedua matanya yang berbinar.
Kalila tersenyum melihat Arlen mencolek sambal dengan potongan daging ayam beserta daun kemangi dan irisan kol.
"Bagaimana rasanya makan nasi uduk pecel tujuh belas ribuan?" tanya Kalila menggoda.
Arlen melihat Kalila cukup lama dengan mulutnya yang bergerak mengunyah untuk kemudian menelan apa yang dilumatnya, lalu menjawab,
"Rasanya...seperti pulang ke rumah."
* * *
Kalila tidak mengerti dengan perubahan mood Arlen yang berubah-ubah seperti ABG yang sedang labil. Dia awalnya sangat bersemangat untuk mengajak Kalila makan di restoran, setelah sampai di tempat makan pilihan pertama, tiba-tiba saja mood pria itu anjlok tanpa alasan. Tapi malah begitu bersemangat ketika diajak makan di tenda kaki lima. Arlen bahkan sampai nambah porsi.
Hingga mereka kini tiba di apartemen, senyum pada wajah Arlen masih saja tercetak pada wajahnya yang tetap terlihat bersih padahal makan di tenda kaki lima tadi cukup gerah.
"Kamu kelihatan senang sekali dari tadi." ujar Kalila dan perjalanan mereka menuju lift.
"Iya dong!" sahut Arlen.
Sampai mereka masuk ke dalam lift, Arlen dan Kalila berdiri saling berseberangan. Kalila memeluk tote bag di depan dadanya, mungkin bagi yang tidak tahu, apa yang dilakukan Kalila adalah hal yang normal-normal saja, tapi bagi Arlen yang cukup peka, dia menyadari apa yang dilakukan Kalila adalah salah satu bentuk defensif terhadap seseorang yang masih membuatnya ketakutan.
Ah, rasanya dada Arlen masih merasakan nyeri membayangkan bagaimana malam itu dia sangat membuat Kalila ketakutan.
Pintu lift yang mulai bergerak tertutup tiba-tiba saja dihalangi oleh sebuah lengan panjang seorang pria yang mengenakan jas. Pintu besi itu pun kembali bergerak terbuka.
"Lho!" Kedua mata Kalila melebar.
"Mama?!" Arlen juga ikut berseru saking tak menyangka akan melihat sosok Mama Erina yang berdiri di depan lift.
"Kalilaaaa!" Erina dan asistennya pun langsung masuk ke dalam lift, wanita paruh baya yang masih terlihat modis itu langsung menghambur memeluk Kalila dan menciumi wajah Kalila. "Ah, Mama rindu sekali!"
"Eh, iya, Ma, Lila juga." ucap Kalila merasa begitu canggung.
"Mama kok ada disini?" Arlen bertanya.
"Kenapa? Kamu ga suka Mama ada disini?" Erina balas bertanya dengan nada sebal.
"Bukan begitu, tapi kapan Mama datang? Kenapa masih bawa koper? Mama dari bandara langsung ke sini?" Arlen bertanya karena melihat bagaimana asisten Erina yang membawa dua buah koper dan berkantong-kantong tas belanja.
"Mama baru landing tadi jam tiga, karena masih jetlag, jadi tadi Mama belanja dulu di mall, ternyata banyak sekali baju, tas, sepatu yang lucu-lucu untuk Kalila, jadi Mama beli banyak."
"Eh, u-untuk Lila, Ma?" Kalila sampai tak percaya mendengarnya.
"Orang normal biasanya istirahat kalau jetlag, bukannya malah belanja." ujar Arlen dengan nada sarkas.
"Eh, orang, kan, beda-beda ya, jangan disama-samain dong!" Sahut Erina dengan nadanya yang cuek.
Erina kemudian memperhatikan penampilan Kalila yang masih selalu sederhana. Sepatu teplek, blouse sederhana, celana kulot dan tote bag murahan tanpa merek.
"Apa kamu ga membelikan pakaian yang bagus untuk istrimu?" tanya Erina dengan nada menghakimi.
"Aku-"
"Aku yang ga mau, Ma." Kalila mengambil alih jawaban. "Arlen sudah beberapa kali membawaku ke mall untuk beli pakaian, sepatu, tas, tapi aku yang ga mau." Sedikit berbohong untuk menyelamatkan semua.
"Lho kenapa? Kamu punya suami super kaya begini harus dimanfaatkan, La." kata Erina mengajarkan.
Arlen bukannya menggeleng, tapi malah menganggukkan kepalanya, setuju dengan perkataan mamanya kali ini.
"Aku...eh...harganya terlalu mahal, Ma." kata Kalila.
"Ih, kamu ini. Kalo Mama jadi kamu, Mama akan minta berlian, emas, mobil, rumah, kapal pesiar."
"Arlen bisa bangkrut kalo aku seperti itu, Ma." Kalila terkekeh kikuk. "Lagian, Lila juga ga terlalu suka pakai perhiasan. Lila juga takut berada di tengah laut. Mobil dan rumah juga sudah cukup ada yang sekarang. Jadi..."
"Jadi, kamu tetap harus banyak minta sama Arlen." Erina menyela. "Sepertinya Mama harus sering-sering pulang dan menginap di tempat kalian untuk mengajarimu bagaimana memanfaatkan uang suami yang adalah sebenarnya uangmu juga."
Ting!
Pintu lift terbuka, Erina langsung merangkul Kalila dan berjalan keluar lift tanpa menghiraukan keberadaan Arlen lagi di sana sembari tetap mengisi telinga Kalila dengan mengajari Kalila untuk minta banyak-banyak pada suami.
"Mama akan menginap?" tanya Arlen pada asisten Erina.
"Benar, Tuan. Nyonya bilang akan menginap satu minggu." jawab Roy.
"Apa? Satu minggu?!"
.
.
.
Bersambung
lanjut Thor,, smangat💪
ayo Thor semangat 💪💪