SEGERA TERBIT CETAK
"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".
***
Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.
Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.
Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.
Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Bila Waktu Tlah Memanggil
Bila Waktu Tlah Memanggil
-diambil dari lirik lagu berjudul "Bila Waktu Tlah Berakhir" yang dinyanyikan oleh Opick-
***
Jakarta
Pocut
Ia baru selesai menyimpan piring, sendok, dan gelas bekas pakai ke dalam bak cuci piring. Berniat untuk mencucinya besok pagi. Kemudian beralih mengecek pintu dan jendela, apakah semuanya sudah tertutup rapat atau belum. Ketika Icad dengan wajah mengantuk, berjalan menghampirinya di dapur.
"Kenapa, Bang?" tanyanya yang sedang mengunci pintu belakang.
"Mau minta maaf," jawab Icad dengan kepala tertunduk.
"Minta maaf kenapa?" tanyanya tak mengerti.
"Karena hari ini ... Abang bikin Mama susah," jawab Icad dengan kepala yang makin tertunduk.
Ia tersenyum sambil menghela napas dalam-dalam, "Mama enggak susah kok, Bang."
"Bikin Mama repot ... sampai harus datang ke kantor polisi," gumam Icad dengan kepala tetap tertunduk. Masih belum berani menatapnya.
Ia tersenyum sambil meraih bahu Icad yang hampir bidang seraya berujar, "Mama enggak repot, Bang."
Lalu dipeluknya putra sulungnya itu.
"Gara-gara Abang ... Mama jadi harus ketemu sama Om itu lagi," gumam Icad di balik punggungnya.
Ia kembali menghela napas panjang, "Nggak masalah, Abang. Yang penting Abang sehat dan baik-baik saja."
Icad tak berkata apapun. Namun pelukan di tubuhnya terasa semakin erat.
"Abang lihat Kioda ketusuk ...." gumam Icad dengan suara tertahan. "Seragamnya penuh darah."
Ia mengusap punggung Icad perlahan. Berusaha memberi rasa yang menenangkan.
"Boni juga ...." sambung Icad dengan suara tersendat. "Lengan Boni kena gear motor."
Ia menepuk punggung Icad berkali-kali.
"Padahal Boni paling jago nyemesh pakai tangan kanan."
Ia mengangguk mengerti.
"Apa Boni masih bisa main bulutangkis, Ma?"
Ia kembali mengusap punggung Icad sambil berkata, "Kita berdoa sama-sama ... semoga luka Kioda dan Boni cepat ditangani. Bisa sembuh secepatnya."
"Besok ... sepulang Mama dari kantor, kita jenguk Kioda dan Boni di Rumah Sakit ya," imbuhnya.
Dari balik punggung ia tahu, jika Icad sedang menyusut sudut mata.
"Sekarang Abang tidur," bisiknya sambil tersenyum. "Sudah malam. Besok kan harus sekolah."
Perlahan Icad mulai melepas pelukan. Lalu berkata sambil menatap matanya, "Om itu baik. Umay sama Sasa suka. Tapi ... Abang tetap nggak suka."
Ia tertawa, "Kenapa jadi ngomongin ini?"
Icad menatapnya dengan kening mengerut, "Abang dengar semuanya."
Ia mengernyit tak mengerti.
"Abang dengar semua obrolan Mama sama Om."
"Abang ...." Ia menatap Icad dengan penuh penyesalan.
Icad kembali menatapnya dengan wajah mengerut, "Abang sayang sama Mama. Abang nggak rela kalau Mama ...."
Ia tersenyum mengangguk. Berusaha menenangkan Icad.
"Mama nggak akan melakukan apapun ... yang nggak Abang sukai," ia kembali tersenyum.
"Hidup Mama sudah lengkap dengan adanya Abang, Umay, Sasa, Nenek ...." Kini ia menatap Icad dengan sungguh-sungguh.
"Mama nggak butuh orang lain lagi," ujarnya berusaha meyakinkan.
Icad balas tersenyum meski tipis dan kaku. Lalu berucap lirih, "Makasih, Ma."
Ia mengangguk, "Sudah sana tidur. Kasihan Umay, udah nungguin dari tadi."
"Abaaaaang!" tiba-tiba saja terdengar teriakan Umay dari arah ruang tamu. "Buruan tidur! Aku ngantuk nih!"
Begitu Icad berbalik pergi, ia langsung mengembuskan napas panjang dengan hati yang lelah.
Kini ia telah beranjak mengecek pintu depan. Diiringi suara Mamak yang sedang mengaji di bilik. Sementara Icad dan Umay terdengar masih berbisik-bisik di balik bantal.
"Om itu keren ya, Bang?" bisik Umay dengan rasa kagum yang jelas terpancar.
"Biasa aja," jawab Icad acuh.
"Tadi aku dipanggil bos sama Om," bisik Umay lagi dengan hidung terkembang. "Memang anak kecil bisa jadi bos ya, Bang?"
"Ih! Berisik!" sungut Icad sambil menjauh.
"Umay!" tegurnya. "Kalau besok kesiangan nggak akan Mama bangunin."
Umay tak menjawab. Begitupun Icad. Dua putranya itu sama-sama terdiam di balik bantal. Pastinya berpura-pura telah tertidur.
Setelah mematikan lampu ruang tamu. Menggantinya dengan pijaran bohlam ber watt paling rendah. Ia segera masuk ke dalam kamar. Dan mendapat Sasa telah terlelap.
Dirapikannya beberapa helai anak rambut Sasa yang menutupi kening. Lalu diciumnya kening Sasa. Sembari membisikkan doa-doa terbaik. Seperti yang sering diajarkan oleh Mamak.
"Sasa sayang, semoga Allah jadikan Sasa anak yang salihah. Cahaya mata hati Ayah dan Mama dunia akhirat ...."
Ia masih membisikkan doa terbaik lainnya. Ketika Sasa tiba-tiba mengubah posisi tidur sambil bergumam pelan.
"Boleh pinjam Mama, Om ..."
"Boleh ...."
Ia hanya bisa menatap Sasa sambil mendesah tak percaya. Kemudian beranjak ke arah meja. Mengambil buku catatan terakhir Bang Is, yang semalam sempat dibacanya.
Namun saat menarik selimut, yang terbayang justru kejadian beberapa saat lalu di dapur.
"Saya tertarik sama kamu."
"Ish," ia mendesah sambil berusaha memejamkan mata.
"Kita harus sering ketemu dan mengobrol."
Keningnya semakin mengerut. Sementara kedua tangannya kian erat mendekapkan buku catatan milik Bang Is ke dalam dada.
"Kita perjelas semuanya biar nggak ada salah paham lagi."
Ia menggelengkan kepala. Berusaha keras membayangkan wajah Bang Is. Berharap Bang Is kembali menemuinya di dalam mimpi.
Tapi yang muncul justru seseorang berkemeja batik lengan panjang. Yang wajahnya nampak terkejut ketika ia berjalan mendekat.
"Siapa dulu? Saya? Atau Sada?" tanya pria berkemeja batik itu. Sembari menunjuk ke arah Sada yang sedang berbisik-bisik dengan Dara.
Tidak.
Bang Is, bisiknya dengan penuh harap.
Loen rindu keu gata (aku merindukanmu).
***
Anja
"Besok kita jalan?" pertanyaan papa yang begitu tiba-tiba membuatnya tertawa.
"Jalan ke mana, Pa?" tanyanya tak mengerti.
"Hari Sabtu ... biasa ... kita ke Planetarium?"
Ia tertawa, "Ya ampun, Papa. Kirain mau ke mana."
"Jadi ... besok kita pergi jam berapa?"
Tapi ia menggeleng, "Besok Anja mau ngerjain tugas, Pa. Buat presentasi hari Senin."
"Lagian juga ... Anja bulan lalu udah ke Planetarium sama Abang. Enggak ah," gelengnya.
Papa menatapnya kecewa. Namun sejurus kemudian berteriak memanggil Mama.
"Ada apa?" tanya Mama yang tergopoh-gopoh datang menghampiri.
"Besok kita ke Jogja," jawab Papa cepat. "Papa mau ketemu sama Sada."
Ia menatap papa bingung. Mama juga menatap papa tak mengerti. Hingga akhirnya ia dan mama saling menatap sambil menggelengkan kepala.
"Kok mendadak begini, Pa?" tanya mama heran. "Sada nelepon?"
Papa menggeleng, "Papa cuma mau ketemu sama mereka. Sudah kangen cucu-cucu."
"Dua hari cukup," sambung papa lagi. "Senin kita pulang ke Jakarta."
Ia dan mama kembali saling berpandangan tak mengerti.
Dan keesokan paginya, papa mama benar-benar terbang menuju ke Jogja untuk mengunjungi keluarga Mas Sada.
"Papa aneh banget deh, Bang," keluhnya saat melakukan video call dengan Cakra. Sambil memangku Aran yang tengah asyik menggigiti baby book miliknya.
"Tiba-tiba ngajak aku jalan ke Planetarium."
Cakra tertawa, "Oya? Kapan? Asyik nih ... daddys lil girl mau jalan sama papa."
"Ngajaknya sih kemarin. Tapi aku nggak mau."
"Lho, kenapa?"
"Mau ngerjain tugas yang segambreng," jawabnya cepat. "Bahan buat presentasi hari Senin besok."
"Padahal mau aja, Neng," Cakra terlihat menyayangkan keputusannya. "Kapan lagi coba bisa jalan sama papa."
"Ya udah," ia mengalah. "Minggu depan deh ... gantian aku yang ajak jalan papa."
"Kenapa mesti nunggu minggu depan? Sekarang aja."
"Ih!" ia mencibir. "Tadi pagi papa sama mama udah berangkat ke Jogja."
"Jogja?"
"Ke rumah Mas Sada."
"Oh ...." Cakra ber oh panjang. Lalu tersenyum ke arahnya, "Ya udah ... minggu depan giliran Neng cantik yang ajak papa jalan duluan."
Ia mengangguk. Lalu melambai-lambaikan tangan kanan Aran yang masih memegangi baby book ke arah layar ponsel.
Tapi minggu depannya yaitu sekarang, ia benar-benar lupa tentang janji untuk mengajak papa jalan. Ia kembali disibukkan oleh setumpuk tugas yang telah menunggu. Sementara keesokan harinya, adalah jadwal Aran mendapatkan vaksin.
"Papa ke mana, Ma?" tanyanya ketika mendapati rumah sepi dan papa sama sekali tak terlihat.
"Tadi minta diantar ke rumah Tama."
"Oh ...." Ia manggut-manggut.
Rencana jalan berdua dengan papa hampir saja terlupakan. Sampai akhirnya suatu malam, saat papa sedang bermain dan bercanda dengan Aran. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja papa sudah berlinang air mata.
"Kenapa, Pa?" tanyanya cemas.
Tapi papa tak menjawab. Sibuk menyusut air mata sambil sesekali mengusap kepala Aran.
"Baik-baik ya, Aran. Jadi anak yang berguna ...." Gumam papa dengan suara tersendat.
Membuatnya berkata tanpa berpikir terlebih dahulu, "Kita jalan yuk, Pa."
Papa menatapnya tak percaya, "Memangnya kamu libur?"
Ia menggeleng, "Sepulang Anja kuliah gimana, Pa? Jalan ke Mall yang deket aja. Sama Mama sama Aran."
Papa mengangguk setuju.
Dan petang ini, saat mereka jalan ke Mall, entah mengapa ia melihat ada sesuatu yang berbeda dengan papa. Namun tak mampu untuk mendefinisikannya.
Papa terlihat seperti bukan papa. Seolah jauh tak tersentuh. Padahal jarak begitu dekat. Mereka seakan dibatasi oleh tabir tak kasat mata yang panjang membentang.
Dan wajah papa juga terlihat begitu bercahaya. Namun pias. Teramat berbahagia. Tapi fana.
Entahlah.
Sampai akhirnya tadi pagi, papa yang hendak meminum ramuan herbal buatan mama. Tak kuasa menahan berat cangkir. Hingga barang pecah belah itu jatuh berkeping-keping.
***
Mama
Meski tak pernah terucap, tapi ia tahu jika Mas Setyo kecewa dengan pilihan yang diambil Tama. Tentang perpisahannya dengan Kinanti.
Matanya bahkan bisa menangkap dengan jelas, perubahan air muka Mas Setyo saat Tama dan Kinan datang menemui mereka. Meminta ijin untuk berpisah.
"Ikhlaskan saja, Pa," ia berusaha menentramkan. "Mungkin memang ini jalan yang terbaik."
"Seharusnya Tama bisa jadi contoh untuk adik-adiknya," ujar Mas Setyo dengan nada penuh kekecewaan. "Malah begini."
Tapi selepas putusan resmi cerai Tama dan Kinan keluar, Mas Setyo justru berbalik mengkhawatirkan keadaan Tama. Bahkan memikirkannya sampai gelisah selama berhari-hari.
"Tama punya masa depan cerah," ucap Mas Setyo. "Dia akan muncul dan bersinar."
"Sudah sewajarnya mempunyai pendamping yang mendukung," sambung Mas Setyo dengan wajah penuh penyesalan.
"Nanti juga akan datang jodohnya Tama," ia berusaha terus menentramkan. "Tinggal tunggu waktu yang tepat."
Tapi rupanya Mas Setyo terus memikirkan keadaan Tama hingga berlarut-larut. Sampai sering termenung. Kemudian menangis seorang diri.
"Sada dan Anja sudah bahagia dengan pasangannya masing-masing," gumam Mas Setyo seringkali. "Tinggal Tama."
Ia berusaha mengalihkan perhatian Mas Setyo dengan menyibukkannya pada banyak hal. Berupaya mencari cara, agar Mas Setyo tak terlalu mengkhawatirkan Tama lagi. Tapi sayangnya, keberhasilan melupakan masalah yang menaungi Tama justru mengundang masalah lainnya.
Yaitu kebiasaan baru Mas Setyo yang sering menangis tanpa sebab. Bahkan tak kenal waktu dan tempat.
Terkadang saat mereka berdua sedang mengobrol. Atau bermain-main dengan Aran. Atau bahkan ketika menerima tamu yang berkunjung.
Puncak keanehan perilaku Mas Setyo adalah saat tiba-tiba mengajaknya pergi ke Jogja. Dengan dalih menengok Sada. Namun begitu sampai di Jogja, hanya diisi dengan bersedih dan menangis.
"Titip Masmu," ucap papa kepada Sada. "Cari istri yang bisa jadi pendamping."
"Siap, Pa," jawab Sada cepat.
Dan ketika ia bertanya dengan curiga, Sada justru berseloroh.
"Kalau yang ini sudah pasti cocok jadi calon ibu number one, Ma. Tenang aja ...."
"Masmu sudah punya calon?" selidiknya bertambah curiga.
Tapi Sada malah cengengesan, "Belum, Ma. Masih on the way. Dikirim langsung dari Allah."
"Kamu ini ... senengnya bercanda terus," ucapnya memperingatkan Sada.
Dan malam ini, usai rutinitas mereka membaca Al Qur'an bersama sebelum tidur. Mas Setyo menatapnya dengan wajah yang terlihat bercahaya.
"Terima kasih sudah mendampingiku selama ini."
Ia hanya tersenyum, "Ngomong apa, Mas?"
"Sudah melahirkan anak-anak yang sehat dan membanggakan."
Ia balas menatap Mas Setyo sambil tetap tersenyum.
Sampai akhirnya mereka sama-sama terlelap.
***
Tama
Ia langsung memutar balik laju kendaraan. Sebab nama rumah sakit yang Anja sebut, berlawanan arah dengan rute yang sedang dilaluinya.
"Papa lagi tidur. Terus anfal ...." Isak Anja melalui sambungan ponsel.
"Tunggu Tama, Pa ...." gumamnya sembari melesatkan kemudi dengan kecepatan tinggi. Mendahului hampir semua kendaraan yang melaju di depannya.
"Tama punya berita bagus untuk Papa ...." gumamnya lagi lebih kepada diri sendiri.
"Bertahan, Pa ...."
***
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭