Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minta di mandiin
Devan tidak sadar kapan matanya tertutup. Yang ia tahu, tubuhnya sudah terlalu letih, mulai dari perjalanan panjang, rombongan alumni yang ribut terus, hingga menjaga Gauri yang tidak pernah berhenti bertanya sejak mereka mendarat. Suasana kamar suite yang tenang, angin laut yang masuk dari celah balkon, dan berat tubuh Gauri yang terlelap di dadanya akhirnya membuatnya ikut tenggelam dalam kantuk.
Ia tertidur sambil tetap memeluk Gauri agar gadis itu tidak terjatuh.
Dua jam kemudian, Devan terbangun dengan kepala berat.
Ia mengerjapkan mata pelan.
Ruang tamu samar-samar diterangi sinar jingga matahari senja yang masuk dari balkon. Ia butuh beberapa detik untuk menyadari posisi tubuhnya, setengah berbaring, satu tangan memeluk, satu lagi menopang tubuh Gauri.
Namun …
Bahunya terasa kosong. Devan langsung terbangun sepenuhnya.
"Gauri?" panggilnya cepat.
Tidak ada jawaban.
Ia langsung menegakkan badan, menatap seluruh ruangan. Sofa kosong. Karpet kosong. Boneka beruang Gauri tergeletak di lantai, tapi gadis itu tidak ada.
Jantung Devan langsung berdebar keras.
"Gauri!"
Ia bangkit berdiri, setengah berlari, setengah terseok, mencari ke seluruh ruangan. Bilik dapur kecil? Kosong. Balkon?
Tidak ada.
Rasa paniknya melonjak. Gauri tidak bisa dibiarkan sendirian, apalagi di tempat asing seperti hotel. Gadis itu bisa kesasar, bisa ketakutan, bisa jatuh … bisa tantrum, apa saja.
Devan menegakkan kepala secepat mungkin.
Kamar.
Ia bergegas masuk ke kamar samping kiri, kosong. Di kamar yang satunya pun kosong.
"Kamu di mana, hm?" Devan mengusap wajahnya, napas mulai tidak teratur.
Tinggal satu tempat.bKamar mandi. Ia mengetuk pelan.
"Gauri? Kamu di dalam?"
Masih tidak ada balasan. Devan menghela napas dalam-dalam, mendorong pintu yang tidak terkunci. Pintu terbuka perlahan.
Dan ...
Devan membeku di ambang pintu. Gauri ada di bak mandi besar, duduk dengan tenang di sana, tubuhnya terendam busa sabun tebal sampai bahu. Rambutnya diikat sembarangan, wajahnya menghadap ke arah pintu dengan ekspresi polos sekali. Bak mandi dipenuhi busa putih keperakan, sepertinya Gauri menuangkan hampir seluruh isi botol sabun hotel.
"Kak Devaaan," ucapnya riang, seperti baru melihat matahari,
"Gauri mandi!"
Devan menutup mata sekuat mungkin sambil langsung memutar badan menghadap ke belakang.
"Ya Tuhan… Gauri ..." suara Devan serak, panik, canggung, semua jadi satu.
"Kamu harus bilang dulu kalau mau mandi! Kakak kira kamu hilang!"
"Enggak hilang," jawab Gauri ceria.
"Gauri cuma mandi. Kak Devan, sini. Gosokin Gauri sabun."
"A-apa?"
"Gosokin sabunnya," ulang Gauri, mengangkat tangan penuh busa.
"Suster di rumah sakit suka bantuin Gauri gosokin sabun."
Devan menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Ini mimpi buruk. Ini bencana besar. Ini jenis masalah yang tidak pernah dia bayangkan akan terjadi dalam hidupnya.
"Gauri, kalau yang itu kakak nggak bisa bantu." ucap Devan cepat, suaranya merendah karena terlalu gugup.
"Kakak laki-laki. Kamu perempuan. Kita nggak boleh seperti itu. Itu … nggak sopan. Nggak boleh."
"Tapi kenapa?" Gauri mengernyit, terlihat tidak mengerti sama sekali. Ia menggoyang-goyangkan kaki dalam air, membuat busa berhamburan.
"Karena …" Devan mencengkeram rambutnya, hampir putus asa. Dia tidak pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya.
"Karena itu cuma boleh dilakukan suami atau istri. Atau perawat perempuan. Atau kamu sendiri."
Gauri memasang bibir manyun.
"Tapi Gauri mau Kak Devan yang gosokin …"
Nada manja itu membuat Devan menggigit bibir sendiri keras-keras.
"Tidak boleh," ulangnya hampir seperti mantra.
Gauri meletakkan kedua tangan di tepi bak mandi dan menatapnya dengan wajah yang mulai berkaca-kaca.
"Kalau gitu Gauri nggak mau mandi! Gauri mau kak Devan! Gauri mau yang biasa di rumah sakit! Gauri mauuu!"
Suara gadis itu mulai meninggi. Bahunya naik-turun, napasnya memburu. Devan melihat tanda-tanda awal yang dia takuti, gejala tantrum. Tanda ketika Gauri merasa panik, bingung, atau tidak dimengerti.
"Gauri… jangan menangis, hey." Devan menengok sedikit sambil tetap membelakangi bak mandi.
"Denger kakak sebentar ya. Kakak bukan suster. Kakak bukan perempuan. Kakak nggak boleh nyentuh kamu waktu kamu mandi."
"Tapi Gauri mau!"
Suara itu pecah. Air matanya menggenang. Dan Devan langsung panik.
Bukan karena situasinya yang memalukan, tetapi karena ia tahu betul, sekali Gauri tantrum, dia bisa shock, bisa sesak napas, atau bahkan kehilangan kendali diri seperti saat-saat traumatiknya muncul. Itu yang Agam cerita dan dia juga pernah lihat sendiri.
Devan tidak boleh membiarkan itu terjadi. Ia menarik napas dalam-dalam, berpikir cepat. Kepalanya berputar.
Opsi pertama, memanggil housekeeping perempuan.
Opsi kedua, menyuruh Gauri memakai handuk dulu.
Opsi ketiga, menenangkan dulu dengan suara lembut.
Tapi Gauri sudah mulai terisak kecil. Bahunya bergetar.
"Kaak Deveeen… Gauri mau kak Devaan mandiin!"
Devan menutup mata dengan wajah frustasi. Oke. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang selain mengiyakan permintaan Gauri karena gadis itu sudah tantrum.
"Oke Gauri, oke. Kak Devan mandiin, jangan teriak lagi ya. Jangan teriak."
Akhirnya Gauri diam. Mata bulatnya kembali cerah. Deburan jantung Devan semakin kencang saat dia berbalik lagi, matanya sengaja terarah ke langit-langit kamar mandi. Bak mandi yang besar penuh dengan buih sabun putih, dan Gauri duduk di tengahnya dengan wajah polos yang menunggu. Badannya ditutupi sebagian oleh buih, tapi Devan masih bisa merasakan denyutan darahnya membanjiri kepalanya
"Gunakan handuk dulu ya, Gauri?" katanya dengan suara yang sempat bergoyang, mencoba mencari jalan tengah. Bisa-bisanya seorang Devan kalah dengan gadis 18 tahun.
Tapi Gauri menggeleng cepat, matanya mulai memerah seperti akan menangis.
"Nggak mau! Suster juga gak pake handuk. Kak Devan Gauri juga gak mau pakee ..."
Devan menghela napas dalam, kepalanya berputar. Akhirnya ia mengambil sabun cair dari meja samping, tangannya sedikit gemetar, lalu berjalan perlahan mendekati bak.
"Baik, baik… tapi kakak cuma gosok bagian yang bisa aja ya? Punggung, lengan, kaki…" katanya pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Gauri tersenyum bahagia, lalu memutar badannya sehingga punggungnya menghadap Devan. Kulitnya putih dan lembut, ditutupi buih yang melimpah. Devan mengambil kain lap kecil yang ada di samping bak, mengoleskannya dengan sabun, lalu menggosok punggung Gauri dengan gerakan yang sangat hati-hati. Setiap sentuhan membuatnya merasakan panas yang tidak biasa, tapi dia tetap fokus, tidak boleh berpikiran yang aneh-aneh.
"Enak… kayak disapu sama kucing lembut," gumam Gauri dengan nada senang.
Devan hanya bisa mengangguk tanpa mengucap kata. Setelah selesai dengan punggung dan lengan, dia minta Gauri memutar badan lagi, tapi segera menutupi mata dengan satu tangan ketika melihat payudara gadis itu yang tiba-tiba terekspos keluar dari dalam air.
Astaga godaan macam apa ini.
"Kak Devan kok tutup mata?"
Dan pertanyaan polos itu makin Devan merasa mau gila rasanya.
semoga imbron nya kuat ...😜🤭