Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Keesokan harinya, Alvin terbangun lebih pagi dari biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak semalam. Ia meraih ponsel di atas meja dan tanpa ragu mengetik pesan kepada Baim.
"Kita perlu bicara. Aku ingin bertemu."
Tak lama, ponselnya bergetar. Baim membalas singkat dengan lokasi dan waktu pertemuan. Sebuah restoran di sudut kota, tempat yang cukup sepi pada pagi hari.
Alvin menghela napas panjang. Ia menahan amarahnya hingga saatnya tiba. Setelah mengatur napas, Alvin mengirimkan pesan kepada Marcel, sekretarisnya.
"Marcel, aku tidak ke kantor hari ini. Tolong urus semua jadwalku. Jika ada hal mendesak, hubungi aku."
Marcel langsung membalas dengan konfirmasi singkat. Alvin meletakkan ponselnya dan bersiap untuk pertemuan itu.
________________________________________
Restoran itu sepi seperti dugaannya. Alvin masuk dan langsung melihat Baim duduk di sudut ruangan, tersenyum sinis saat melihatnya. Alvin berjalan mendekat dan duduk di kursi berhadapan dengan Baim.
"Apa maksudmu menghubungi Meyra lagi?" Alvin membuka percakapan dengan nada tegas.
Baim menyeringai. "Kau takut dia kembali padaku? Atau kau takut aku memberitahu dia soal uang yang kau berikan padaku untuk melepaskan Meyra?"
Alvin mengepalkan tangan di bawah meja. "Dasar bajingan kau. Apa maumu sekarang? Kau harusnya bersyukur tidak kupenjarakan karena kematian Sarah."
Baim tertawa pelan, mengaduk kopinya dengan santai. "Kalau aku dipenjara saat itu, kau tidak akan mendapatkan Meyra. Cukup ironis, bukan?"
"Baiklah, kalau kau ingin dipenjara, aku bisa menghubungi polisi sekarang." Alvin meraih ponselnya, bersiap menekan nomor kontak polisi.
Wajah Baim langsung pucat. Ia tahu Alvin tidak main-main.
"Baiklah, Pak. Aku minta maaf. Mulai sekarang aku tidak akan mengganggu Meyra lagi. Aku janji."
Saat itu, dua teman Alvin memasuki restoran dan menghampiri mereka. Salah satu dari mereka, Reza, menatap Baim tajam.
"Ada masalah di sini?" tanya Reza.
Alvin melirik Baim. "Tolong urus orang ini. Dia mulai mengganggu kehidupan kami."
Reza mengangguk. "Apakah Anda ingin kami jebloskan dia ke penjara sekarang?"
Baim langsung mengangkat tangan. "Jangan, Pak. Saya mohon. Saya berjanji tidak akan muncul di hadapan Meyra dan keluarga Bapak lagi. Saya akan pergi dari kota ini."
Alvin menatap Baim tajam. "Aku pegang kata-katamu."
"Tapi, Pak... Saya sudah tidak punya uang untuk pulang kampung. Bisakah Bapak berikan sedikit untuk ongkos?"
Alvin mendengus. "Dasar pecundang. Aku heran kenapa Meyra bisa menikah denganmu."
"Kami dijodohkan, Pak. Meyra adalah perempuan yang baik. Itu saja yang bisa saya katakan."
Alvin terdiam sejenak. "Ya, aku tahu Meyra itu baik. Karena itu, biarkan dia bahagia."
Baim mengangguk. "Sekali lagi saya minta maaf. Saya akan pulang kampung."
Alvin merogoh dompet dan meletakkan sejumlah uang di atas meja. "Ini untuk perjalananmu. Pergi sekarang."
"Terima kasih, Pak."
Reza menatap Baim tajam. "Awas kalau macam-macam lagi."
Baim menunduk ketakutan. Alvin dan teman-temannya meninggalkan restoran, sementara Baim bergegas pergi dari kehidupan Meyra.
________________________________________
Setelah pertemuan itu, Alvin langsung menuju rumah sakit tempat Meyra dirawat. Begitu memasuki kamar inap, Meyra tersenyum menyambutnya.
"Pagi, sayang," sapa Alvin, mencium pipi istrinya.
"Pagi juga. Sepertinya papi sedang senang?"
Alvin tertawa kecil. "Mungkin."
Di sudut kamar, Rey, Rheana, dan Cessa yang menginap di rumah sakit terbangun karena mendengar suara orang tua mereka.
"Papi dari mana?" tanya Meyra.
"Dari luar. Menyelesaikan sesuatu. Sekarang sudah beres."
Meyra mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Ia tahu jika Alvin tak ingin berbagi, berarti hal itu tidak perlu ia ketahui.
"Baguslah, Papi." Meyra tersenyum lalu menatap Rey. "Enak ya, nggak sekolah hari ini. Bebas rasanya."
Rey terkekeh. "Papi tahu aja."
Alvin menyentuh kepala Rey. "Pergi cari sarapan, ya."
"Siap, Papi."
Meyra menatap Alvin. "Papi nggak ke kantor hari ini?"
"Nggak, sayang. Semua sudah kuserahkan pada Marcel."
Meyra tertawa kecil. "Nggak sia-sia ya ganti sekretaris. Kalau masih Rina, pasti papi kelabakan. Sekarang nggak ada bonus service, ya? Marcel kan laki-laki."
Alvin tergelak. "Kalau soal bonus service, Marcel bisa mencarikan."
Meyra melipat tangan di dada. "Oh ya? Marcel jadi semacam agen bonus service sekarang?"
Alvin tergagap. "Bukan begitu maksudnya. Maksudku, kalau ada keperluan mendadak, Marcel yang urus semua."
Meyra pura-pura cemberut. "Keperluan mendadak atau keperluan khusus, Papi?"
Alvin tertawa gugup. "Sayang, aku serius. Marcel itu profesional. Dia nggak mungkin nyari yang aneh-aneh."
Meyra membelakangi Alvin, pura-pura tidur.
"Sayang, maaf. Jangan diam gini dong." Alvin mulai panik.
Tak lama, Rey masuk membawa sarapan. "Ada apa, Papi?"
"Mommy marah karena becandaan Papi."
Rey tertawa. "Papi tanggung jawab sendiri, ya."
Meyra tersenyum, duduk, dan mulai sarapan bersama mereka.
"Kalian pulang setelah sarapan, ya. Besok sekolah," ujar Meyra.
"Besok papi antar," Alvin menimpali.
Rey tersenyum. "Siap, Papi."
Setelah selesai sarapan, Rey, Rheana, dan Cessa bersiap pulang.
"Kami pulang dulu ya, My," kata Rey sambil mencium pipi Meyra. "Cepat sembuh ya, My."
Rey kemudian mendekat ke Alvin dan berbisik, "Hati-hati, Pi. Kalau Mommy marah, serem banget."
Alvin tertawa kecil dan mengacak rambut Rey. "Iya, Papi tahu.
Rheana dan Cessa juga memeluk Meyra dan Alvin. "Kami pulang dulu ya, My. Papi, jangan lupa beli es krim buat kami nanti," ujar Cessa ceria.
"Pasti, Nak. Hati-hati di jalan ya," kata Alvin.
"Nanti kalau sudah sampai rumah kabari Mommy ya," pesan Meyra.
"Iya, My," jawab mereka serentak sambil melambaikan tangan dan keluar dari ruangan. Meyra dan Alvin menatap mereka dengan penuh kasih sayang.
Setelah anak-anak pulang, Alvin duduk di sisi ranjang Meyra, memegang tangannya dengan lembut. Keduanya menikmati keheningan yang nyaman di kamar rawat inap.
"Sayang, maafkan papi ya. Papi hanya bercanda tadi. Lagian kan nggak mungkin papi kembali ke jalan yang salah lagi. Papi sudah punya istri yang sempurna, anak-anak yang hangat, dan rumah yang ceria. Mommy tahu, perjuangan papi untuk sampai di titik ini berat, kan? Nggak mungkin papi buang semuanya karena wanita lain. Maafkan papi ya, sayang."
Meyra menatap Alvin sebentar lalu tersenyum tipis. "Iya, papi."
Alvin mengernyit, bingung dengan jawaban singkat itu. "Cuma itu aja jawabannya, sayang?"
Meyra mengangkat bahu. "Jadi mau jawaban apa lagi?"
Alvin mendekat, mengelus pipi Meyra. "Ya banyak lah, sayang. Bilang aku percaya padamu, aku mencintaimu."
Meyra memutar bola matanya, menatap Alvin dengan jengah. "Sudahlah, Pi. Itu aja jadi masalah."
Alvin tertawa kecil, mengangkat tangan tanda menyerah. "Baiklah, sayang. Kamu memang selalu menang."
Tiba-tiba Alvin mencuri ciuman di pipi Meyra. Meyra melotot. "Ih, papi ngambil kesempatan dalam kesempitan."
Alvin terkekeh. "Tapi pemanasan membuat adonan roti kita nanti."
Meyra tertawa pelan dan meninju pelan lengan Alvin. "Dasar, Papi ini."
Alvin mengedipkan mata menggoda. "Kan biar nanti rotinya mengembang sempurna, Sayang."