Sudah tamat^^
Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.
Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.
Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berakhir Sudah
Alarm berbunyi langsung dimatikan agar tidak menganggu tetangganya. Lima menit sebelumnya, Safira sudah bangun dengan badan yang segar. Mimpinya kali ini sangat menyenangkan, walaupun dari awal menguras energi.
“Kenapa cowok itu bisa ada di sana menolongku? Kebetulan banget ada dia jadi aku masih bisa melanjutkan hidup yang gini-gini aja.”
Safira beranjak dari tempat tidur tanpa membereskan kasurnya lebih dulu. Kali ini Safira memiliki banyak waktu untuk menikmati mandi pagi yang menyegarkan. Tidak lupa keramas biar rambutnya bersih.
Setelah mandi cukup lama, Safira keluar dengan balutan busana kerjanya. Masih punya banyak waktu, Safira mengeringkan rambut serta menatanya agar rapi.
“Kok maskara nggak hilang? Perasaan sebelum tidur selalu bersihin wajah.” Kebingungan yang tengah Safira rasakan seolah mengingat mimpi semalam. “Hey, nggak mungkin nyata, kan? Soalnya aku nggak ingat waktu pulang ke rumah.”
Tanpa membuat pikiran rumit, selesai merias wajah dan rambut, Safira memilih parfum yang dipakai lalu menyemprotkan ke seluruh tubuhnya. Matanya menangkap sesuatu yang janggal, ketika membuka plastik hitam itu ternyata roti.
“Kemarin aku beli roti?” Safira mengambil roti itu memakannya sambil bersiap merapikan tampilannya. Terlihat dengan jelas kiss mark yang dibuat pria itu masih ada.
Safira meneguk saliva kasar, secepatnya menutupi leher menggunakan syal. “Berarti aku benar-benar harus bayar utangnya!”
Tiba-tiba saja ponselnya berdering sehingga dirinya menaruh barang bawaannya di meja. Ketika menempelkan ponselnya di telinga terdengar suara Yohan berteriak.
“Hey, aku tunggu kamu di kantor sekarang!”
“Santai aja, Pak. Memang ada apa?”
“Jangan sok pura-pura nggak tau kejadian semalam!”
Mendengar teriakan itu membuat Safira terdiam. “Jadi, kejadian gila itu bukan mimpi lagi?” Setelah telepon terputus, wanita yang masih memegang roti itu langsung berlari menuju halte tanpa alas kaki karena yang utama adalah pekerjaannya.
Untungnya, bus datang bertepatan dirinya yang baru sampai. Dia masuk lalu duduk seraya makan roti di tangannya. Safira menggoyang-goyangkan kakinya karena gelisah entah yang terjadi nanti. Jangan sampai kena pecat untuk kedua kalinya.
Tinggal menunggu satu halte lagi, Safira memilih berdiri di dekat pintu biar bisa langsung ke luar. Betapa gugupnya saat ini sampai bibirnya dia gigit kencang.
Setelah sampai di halte tujuannya, Safira ke luar lebih dulu tanpa memikirkan orang lain yang buru-buru juga. Safira mempercepat laju kakinya hingga sampai di kantor yang ternyata sudah ditunggu banyak orang.
Mereka menatap Safira dengan tatapan jijik seolah orang yang baru datang itu habis melakukan kejahatan keji. Safira tidak peduli pendapat orang lain tentang dirinya karena dia ingin memberi pelajaran dua orang biang kerok itu yang lagi melihatnya angkuh. Namun, dia tidak bisa melakukan apa pun.
Dada Safira kembang kempis masih berusaha menenangkan dirinya sehabis lari dari halte sampai kantor. Safira mulai merasakan kakinya dingin dan saat melihat ke bawah dirinya tidak memakai alas kaki.
“Apa yang mau kamu sampaikan?”
Safira bingung mulai dari mana ketika pemilik bank turun langsung bersama istrinya dengan raut wajah marah.
Karena tidak ingin didahului Safira, istri Yohan angkat bicara, “Aku nggak terima ada perselingkuhan di tempat kerja! Seharusnya, kalian memecat gadis itu yang gatel sampai mengajak check-in hotel!”
Safira terbelalak dengan ocehan istri Yohan. “Mana ada! Kalau kalian lihat kejadian tadi malam pasti bisa menyimpulkan siapa yang salah!”
“Nggak ada yang lihat. Memang ada yang merekam, ya?” tanya salah satu dari mereka yang buat Safira menelan ludah.
Safira tidak memiliki bukti kuat, ada kemungkinan jika orang itu langsung menghapus rekamannya. “Siapa yang selingkuh? Aku sama sekali nggak tertarik sama Pak Yohan! Jangan asal tuduh, ya!”
Yohan pun menunjuk Safira. “Kamu yang mulai dulu mengajak makan siang biar bisa menutupi kesalahan kamu, kan?”
“Itu Bapak yang menawarkan lebih dulu untuk menyelesaikan masalahku sama Pak Halim, kan? Lagi pula Bapak yang nggak sopan memegang pantatku tanpa ijin!” adu Safira setelah emosinya terpancing.
Istri Halim pemilik kosmetik tempat Safira bekerja hanya bisa geleng-geleng kepala seraya menutup mulutnya.
Yohan langsung mengelak. “Kamu menggodaku untuk memegangnya! Dia suruh meremasnya sebagai imbalan tanda terima kasih!”
“Hey! Jaga bicara kamu, mata keranjang! Silakan kamu mau buat cerita apa pun untuk melindungi diri kamu sendiri, tapi ingat sama rahasia kalian berdua yang pasti akan terbongkar! Kesalahanku hanya satu dan kalian jangan sangkut pautkan sama perselingkuhan yang kalian buat sendiri demi menutupi rahasia itu!” teriak Safira yang tidak terima disudutkan terus.
Istri Yohan tidak mau kalah. “Seperti ini nih contoh anak muda jaman sekarang kurang didikan orang tua! Pergaulan bebas sampai merebut suami orang demi uang!”
“Memang seperti apa hasil didikan orang tua? Aku sama sekali belum merasakan hal itu dari lahir sampai saat ini. Aku cuma tau kalau bunuh orang itu kejahatan yang kejam,” sindir Safira seraya menyunggingkan bibirnya. “Amira, berapa sih hukuman orang yang merencanakan pembunuhan sampai menyembunyikan jejak?”
Amira yang tidak tahu apa-apa diseret juga, tetapi dia menjawab, “Seumur hidup, ada juga sampai mati dan paling dikit 20 tahun.”
“Tapi, belum termasuk menghilangkan jejak, kan?”
“Bisa jadi tambah berat lagi kena pasal berlapis-lapis,” balas Amira yang langsung bingung mereka bahas apa. “Memang siapa yang bunuh orang?”
“Kamu fitnah aku membunuh orang?” selidik istri Yohan yang hampir naik pitam, tetapi Yohan menyuruhnya diam.
“Aku nggak fitnah. Aku cuma kasih tau kalau bunuh orang itu suatu kejahatan, apa lagi menyembunyikan jejaknya, gitu.” Safira menjelaskan dengan nada sepelan mungkin.
“Hey!
Karena telinganya pusing mendengar teriakan mereka, istri Halim angkat bicara agar masalah selesai karena mengulur waktu berharganya. “Kalian bahas hal tabu di depanku? Bukannya Yohan ingin menyampaikan kesalahan Safira yang nggak jujur? Katanya, Safira menyelundupkan barang dagangan setiap harinya, ya?”
Safira tertawa. “Begitu kata Pak Yohan, Bu?”
Wanita berkaca mata yang duduk di samping Halim mengangguk. “Setiap hari menyelundupkan 5 paket kamu jual sendiri demi membeli barang branded yang kamu pakai.”
“Enggak, Bu! Aku sama sekali nggak melakukan hal yang dikatakan Pak Yohan. Justru, aku mengalami kecelakaan kecil waktu di pinggir jembatan sungai, tiba-tiba aja ada motor yang lewat pejalan kaki jadinya aku kaget dan sisa barang penjualan jatuh ke sungai beserta dompetnya,” jelas Safira lalu menatap atasannya. “Maaf membuat kerugian yang nggak bisa aku bayar, Bu.”
“Nggak papa kalau ada kecelakaan kerja kamu bisa bicara jujur. Kita punya asuransi dan kalau kerugian tipis nggak masalah asalkan jujur dari awal. Karena kamu nggak jujur dari awal dan membuat keributan, aku nggak bisa menerima kamu lagi karena masih banyak orang jujur yang membutuhkan pekerjaan kamu.” Ucapan dari atasannya membuat Safira merasa bersalah.
“Tapi, Bu, aku masih butuh pekerjaan itu. Aku minta maaf nggak bisa jujur diawal karena takut, terus Pak Yohan menawarkan diri mau bicara sama Pak Halim katanya dia bisa membantuku menyelesaikan ganti rugi,” terang Safira yang memohon suaranya didengar.
Namun, kepercayaan istri Yohan sudah hilang padahal dirinya yakin dengan kinerja Safira yang bisa menaikkan penjualan bisnisnya, kini kecewa karena pilihannya salah. “Aku pikir nggak ada masalah yang harus diselesaikan lagi. Safira, kamu boleh pulang karena udah nggak kerja di tempatku lagi dan juga di kantor ini. Nanti ada orang yang datang ke rumah kamu ambil sisa barang penjualan.”
"Tapi, Bu...?"