Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Menemui Zahra
Mobil yang ditumpangi oleh Adisti telah sampai di depan sebuah rumah minimalis. Keadaan rumah begitu sepi, dia jadi ragu untuk masuk ke sana. Bukan karena tidak ada orang, tetapi takut bertemu dengan wanita itu dan malah akan semakin menambah luka. Sebagai seorang wanita, Adisti tentu sangat tahu bagaimana perasaannya karena gini dirinya pun merasakan hal yang sama.
"Nyonya, apa Anda tidak jadi turun?" tanya Roni pada Adisti, membuat wanita itu menghela nalas panjang. Dia perlu menyiapkan hati dan mentalnya untuk berhadapan dengan wanita dari masa lalu.
"Kamu tunggu di sini saja, aku akan masuk. Mudah-mudahan saja dia ada di dalam."
Adisti segera turun dari mobil dan berjalan menuju rumah itu. Langkahnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Entah dia siap atau tidak, menghadapi kenyataan yang sebentar lagi akan Adisti dapat dari wanita itu. Yang lebih penting lagi, dia berharap wanita itu mau memaafkannya.
"Assalamualaikum," ucap Adisti sambil mengetuk pintu.
Tidak berapa lama, pintu pun terbuka. Ada seorang wanita yang tampak terkejut saat melihat siapa tamunya. Namun, berusaha tetap tersenyum ke arah Adisti. Senyum palsu yang siapa saja pasti bisa menebaknya. Sungguh rasa bersalah itu semakin membesar.
"Maaf ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu.
"Aku hanya ingin bertemu dengan pemilik rumah, boleh saya meminta waktu sebentar untuk mengobrol," jawab Adisti dengan kaku. Padahal tadinya dia sudah berusaha untuk tersenyum, tapi yang ada malah terlihat aneh karena saat ini perasaannya sedang tidak baik-baik saja.
"Tentu saja, silahkan masuk."
Wanita itu membuka pintu dengan lebar agar tamunya bisa masuk. Adisti pun segera duduk di ruang tamu, sementara wanita tadi masuk ke dalam rumah dan keluar rumah segelas minuman untuk tamunya.
"Silakan diminum, Mbak."
"Terima kasih," sahut Adisti. Mungkin karena terlalu gugup, dia pun meminumnya dengan cepat hingga menyisakan sedikit.
"Mbaknya tadi bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan, memang ada apa, ya?" tanya wanita itu yang kurang nyaman dengan kehadiran tamunya.
Adisti pun mengulurkan tangannya dan berkata, "Perkenalkan, nama saya Adisti."
"Saya Zahra," sahut wanita itu sambil membalas uluran tangan Adisti.
"Dari ekspresi Mbak tadi, sepertinya Mbak sudah mengenal siapa saya jadi, saya juga tidak perlu memperkenalkan diri, kan?" tanya Adisti karena memang sudah dari tadi dia melihat gelagat aneh dari wanita itu. Terlihat seperti gugup dan takut secara bersamaan.
Zahra menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Dia menatap wanita yang ada di depannya. Jujur dirinya masih merasa sakit hati atas apa yang sudah dialaminya dulu. Meskipun itu sudah enam tahun yang lalu, tetapi tetap saja rasanya begitu menyakitkan. Zahra yang tidak pernah tahu apa yang kesalahannya, justru dicampakkan oleh sang suami begitu saja.
Selama ini wanita itu sudah berusaha untuk menjadi istri yang baik, bahkan meninggalkan keluarganya demi sang suami. Namun, karena wanita kaya di depannya Bryan sampai tega mengkhianatinya. Sebagai seseorang wanita tentu saja dia tidak rela dan lebih memilih berpisah. Itu semua juga dilakukan Adisti demi kesehatan mentalnya.
"Kamu sudah mengetahui semuanya, kan? Lalu apa yang kamu inginkan dengan datang ke sini?" tanya Zahra balik, kali ini dia tidak perlu lagi berpura-pura baik pada tamunya.
"Aku hanya ingin meminta maaf. Jujur aku tidak tahu jika dulu Bryan sudah memiliki seorang Istri. Dia tidak pernah mengatakan apa pun padaku, bahkan dia mengaku sebagai perjaka saat ingin menikah denganku."
"Aku tahu, dia juga berkata demikian. Aku juga tidak bisa menyalahkanmu karena memang kamu tidak tahu apa-apa, tetapi bukankah kamu orang kaya? Seharusnya kamu mencari tahu calon suamimu lebih dulu, sebelum memutuskan sesuatu. Apalagi ini menyangkut masa depanmu yang akan kamu jalani nantinya seumur hidup jika Tuhan menghendaki."
"Iya, aku akui aku salah dan aku minta maaf. Sebagai sesama wanita aku sangat tahu apa yang kamu rasakan dulu."
Zahra berdecih sinis, rasanya tidak percaya dengan apa yang dikatakan wanita di depannya. "Aku rasa tidak, kamu tidak akan pernah bisa merasakan apa yang aku rasakan, diduakan oleh suami. Rasanya Bryan tidak akan melakukan hal itu."
"Kamu salah, justru sekarang Bryan sudah melakukannya. Dia telah mengkhianatiku dan telah berselingkuh dengan seorang wanita lain. Bahkan saat ini wanita itu sedang hamil," jawab Adisti dengan tersenyum miris, membuat Zahra terkejut.
Tadinya dia berpikir Bryan akan setia pada istrinya karena memang sejak dulu pria itu menginginkan agar bisa menjadi orang kaya. Siapa sangka jika pria itu tetap menghianati wanita yang sudah menghabiskan waktu bersamanya. Dulu Zahra tidak memiliki apa-apa jadi, wajar jika suaminya pergi, sedangkan Adisti punya segalanya, rasanya sangat sulit dipercaya.
"Kamu sedang tidak bercanda, kan?" tanya Zahra yang tiba-tiba menjadi begitu serius, tentu saja membuat Adisti heran. Namun, dia akhirnya mengerti apa yang sudah terjadi.
"Apa aku terlihat seperti bercanda? Aku bukan anak kecil yang bisa mempermainkan sebuah ikatan rumah tangga. Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu."
"Ya ... bagaimana, ya! Rasanya sangat sulit dipercaya sekali jika Bryan akan menghianatimu, mengingat siapa kamu sebenarnya. Itu sangat tidak mungkin."
"Apa pun bisa terjadi. Yang saat ini sedang aku pikirkan hanya bagaimana agar bisa bebas dari pria itu dan melanjutkan hidupku sendiri. Pastinya lebih menyenangkan hidup sendiri daripada hidup dengan laki-laki yang tidak bertanggung jawab."
Zahra mengangguk, dulu itu juga yang jadi pemikirannya hingga memutuskan untuk bercerai dengan Bryan karena memang, tidak ada lagi yang bisa dipertahankan dari pernikahan mereka.
"Sebagai sesama wanita, aku turut prihatin dengan apa yang sudah terjadi padamu, tapi percayalah bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Hanya saja kita tidak tahu bagaimana caranya."
Adisti dan Zahra pun berbincang, keduanya saling menguatkan satu sama lain. Hingga akhirnya Adisti pamit undur diri. Zahra ternyata orang yang asyik juga diajak ngobrol.