Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia yang Bisa Terungkap
Nino tidak pernah berekspektasi akan bertatap muka dengan pria itu lagi. Karena jika terjadi, hanya amarah yang menguasai dirinya. Keinginan menghajar pria bajingan itu sudah Nino tahan sejak dulu. Dan sekarang, ia harus kembali menahannya karena ini bukan tempat yang tepat untuk membuat dia babak belur.
Amarah yang tertahan sudah sangat terlihat di wajah Nino. Namun, orang yang berdiri di hadapannya tampak tenang dan tidak peduli pada Nino yang sudah amat siap untuk menghantamnya walau dengan tangan kosong.
“Kenapa? Lo terkejut melihat gue bebas?” Kevin dengan senangnya memperlihatkan dirinya yang sudah terbebas dari pesakitan. Ia merentangkan tangan seakan menyambut pelukan rindu.
Nino tidak menjawab apa pun. Ia berusaha mengatur napasnya untuk berusaha tetap tenang.
“Bajingan!” Nino mengumpat pelan.
“Apa?” Kevin mencondongkan tubuhnya, mencemooh seolah tidak mendengar umpatan Nino. “Apa lo bilang? Bajingan?” Kevin tertawa terbahak-bahak sampai suaranya menggema di tempat itu. “Asal lo tahu, ya. Gue sama Clarissa itu melakukannya atas dasar suka sama suka. Bukan karena paksaan. Dia gak akan hamil kalau kami cuma melakukannya sekali aja.”
Napas Nino mendadak cepat. Ia mendorong Kevin ke dinding dengan mencengkeram kerah kemejanya dan sudah mengepalkan tangannya, bersiap untuk meninju. Satu pukulan mengenai wajah pria itu. Sudut bibirnya mengeluarkan setetes darah.
“Berhenti bicara omong kosong, Berengsek!” Nino kembali meninju wajah Kevin. Dan Kevin hanya tertawa menerima hantaman di wajahnya.
“Ayo, pukul gue sampai lo puas.” Kevin mencengkeram balik kemeja Nino. “Lo tahu, kita itu sama-sama bajingan! Dan lo,” Kevin menunjuk wajah Nino. “Lo lebih dari sekadar bajingan. Lo itu pengecut! Pemain kotor yang pernah gue temui! Lo itu lebih menjijikan dari yang gue bayangkan.”
“Omong kosong apa lagi yang lo bicarakan, ha?!” Ucapan Nino tertahan karena emosinya.
“Lo pikir gue gak tahu taktik apa yang lo susun untuk mendapatkan Karina? Ha?!”
Mata Nino melebar saat mendengar hal itu. Cengkeramannya di kerah pria itu sedikit melonggar. Wajahnya juga mendadak pucat pasi.
Kevin tertawa dengan nada mencemooh saat mengetahui jika itu memang benar.
“Siapa sangka, sosok suami yang sangat mencintai dan menyayangi istrinya itu adalah penyebab dari kesakitan terbesarnya selama ini. Lo adalah penyebab hancurnya rumah tangga Karina dan Hardi. Lo melibatkan sepupu gue—-Elvira—-untuk melakukan permainan kotor lo itu!”
Tubuh Nino mendadak lemas mendengar hal itu. Cengkeramannya di kerah Kevin benar-benar terlepas. Ia tidak menyangka jika Kevin ternyata bersaudara dengan Elvira.
Kevin mendengkus. Ia mulai menikmati situasi kacaunya sekarang.
“Bayangkan kalau Karina tahu tentang ini.” Kevin menarik kerah kemeja Nino lebih dekat ke arahnya. “Hidup lo akan hancur, sehancur-hancurnya.”
“Lo gak punya bukti tentang itu!” Nino berusaha menyangkal segala tuduhan yang dikatakan oleh Kevin.
“Lo mau bukti?” Kevin melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Kemudian, ia merogoh saku jasnya. “Buktinya ada di sini.” Kevin memperlihatkan ponsel miliknya. “Gue punya rekaman CCTV pertemuan lo bersama Elvira saat itu.”
Nino semakin tertekan dengan situasi itu.
“Kalau rahasia besar ini terbongkar, Karina akan membenci lo seumur hidupnya. Dia akan ninggalin lo sendirian.”
Tangan Nino kembali mengepal dengan penuh amarah. Ia memejamkan mata sejenak. Berusaha untuk mencari jalan keluar agar semuanya tidak sampai pada Karina.
“Apa yang lo mau sebenarnya? Kenapa lo tiba-tiba muncul dengan membawa hal yang bahkan udah gue lupakan sejak lama.” Nino berusaha tenang walau dadanya bergemuruh.
“Singkatnya, gue mau balas dendam sama lo.” Kevin menatap Nino dengan acuh tak acuh. “Lo melakukan hal yang sama ke gue dan Clarissa dulu. Lo memanfaatkan mantan gue yang memang masih mengharapkan gue saat itu.”
Nino menarik napas dalam. Ia kembali memejamkan mata.
“Lo itu licik! Yah, gue akui, gue juga berengsek karena mau tergoda sama rayuan mantan gue saat itu. Tapi gue gak pernah menyangka, kalau ternyata di balik itu semua, lo merupakan dalangnya. Otak busuk lo yang menyebabkan Clarissa ninggalin gue.” Suara Kevin meninggi. “Lo hancurin semuanya dengan seketika!” Kevin menunjuk Nino tepat di wajahnya. “Lo itu pecundang!” Kevin mendorong tubuh pria itu sampai menabrak tiang tangga.
Nino membuang napas kasar. Tidak ada kelegaan sama sekali di dadanya. “Lalu apa yang lo mau sekarang?”
“Tinggalin Karina! Lo gak berhak bahagia sama dia. Pecundang kayak lo, gak pantas bahagia bersama siapa pun!”
Nino terkejut dengan ucapan Kevin. “Lo gila, bagaimana bisa—-”
“Tentu saja bisa!” Kevin memotong ucapan Nino. “Lo hanya perlu melakukan itu agar rahasianya tetap aman dan Karina gak akan membenci lo. Katakan alasan apa pun yang membuat lo harus ninggalin dia.”
Nino menggeleng kuat. “Gue gak bisa dan gak akan pernah ninggalin Karina sampai kapan pun.”
Kevin tertawa terbahak-bahak. “Ingat, Nino. Gue memegang kartu AS-nya. Dan kalau lo gak mau menuruti itu, gue bisa kapan aja hancurin hidup lo. Gue akan merasa puas, karena mungkin setelah ini lo akan mendekam di rumah sakit jiwa atau mati karena bunuh diri!”
Nino merasa semuanya buntu. Kesalahannya di masa lalu menjadi bom waktu sekarang. Mimpinya kemarin tidak akan menjadi kenyataan, bukan? Karina tidak akan meninggalkannya, bukan?
***
Karina melirik jam tangan berkali-kali. Sudah hampir setengah jam Nino belum juga kembali. Kristin sudah mengakhiri percakapan dengannya karena harus menerima tamu dari kolega suaminya. Akhirnya, Karina duduk sendirian dengan gelisah.
Ia juga jadi pusat perhatian sejak tadi. Itu sangat membuatnya tidak nyaman. Menghubungi Nino juga tidak ada gunanya, karena ponselnya ada di tas Karina. Akhirnya, ia beranjak untuk menyusul Nino.
Sementara itu, Nino masih berada di toilet. Ia menumpukan kedua tangannya di wastafel. Ia menatap air yang menetes dari keran. Lalu, mengangkat wajah, beralih menatap pantulan dirinya di cermin.
Lo itu pecundang!
Pengecut!
Lo gak pantas bahagia dengan siapa pun!
Ucapan Kevin terus terngiang di telinganya. Tangannya mengepal erat. Bagaimana bisa semuanya terungkap oleh bajingan sialan itu? Nino menarik napas dalam berkali-kali. Ia harus kembali, sudah terlalu lama ia berdiam diri di sana. Karina pasti khawatir.
Ketika Nino keluar dari toilet, tatapannya bertemu dengan wanita yang tengah berjalan ke arahnya.
Tinggalin Karina!
Ucapan itu kembali berputar di kepalanya. Nino melangkah pelan ke arah Karina yang masih menatapnya.
Lo gak berhak bahagia sama dia!
Nino mempercepat langkahnya dan ketika sudah sampai di hadapan wanita itu, ia segera memeluknya.
Karina tentu saja terkejut.
“Mas, kamu gak apa-apa?” tanya Karina khawatir.
Nino tidak menjawab. Ia hanya ingin memeluknya sekarang. Untungnya tempat itu sepi, tidak banyak tamu yang datang ke tempat itu.
“Mas.” Karina merasa heran dengan sikap Nino yang tiba-tiba seperti ini.
“Maaf, Karin.” Nino berujar lirih.
Karina semakin tidak mengerti. “Kamu kenapa, Mas?”
“Maaf.” Nino merasakan hatinya diremas kuat-kuat, hingga ia tidak bisa menahan air matanya. Nino tidak ingin kehilangan Karina, terlepas dari segala dosa yang ia lakukan di masa lalu. Nino mencintai Karina dengan tulus.