Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Mempelajari Dunia Ayla
Malam di dunia Ayla terasa berbeda bagi Kael dan Arlen. Gemerlap lampu kota yang berkilauan di kejauhan, bunyi kendaraan yang terus melaju tanpa henti, dan udara malam yang membawa aroma makanan dari pedagang kaki lima membuat mereka merasa seperti berada di dunia mimpi.
“Tempat ini tidak pernah tenang,” gumam Arlen, berdiri di balkon apartemen Ayla. Dari tempat itu, ia bisa melihat pemandangan kota yang seakan tidak pernah tidur.
Kael, yang duduk di sofa dengan secangkir teh yang Ayla buatkan, mendongak ke arah Arlen. “Aku tidak tahu bagaimana Ayla bisa bertahan di sini. Semua ini… terlalu ramai.”
Ayla, yang sedang mengeringkan rambutnya di sudut ruangan, mendengar keluhan mereka dan tertawa kecil. “Kalian hanya belum terbiasa. Dulu aku juga merasa sulit saat pertama kali tinggal di kota ini. Tapi lama-lama, aku menikmatinya.”
Kael meletakkan cangkirnya dan bersandar. “Bagaimana kau bisa menikmati dunia yang begitu… tidak terorganisir? Tidak ada aturan yang jelas, tidak ada tata krama. Semua orang terlihat sibuk dengan diri mereka sendiri.”
“Setidaknya di sini tidak ada yang berusaha membunuhku setiap lima menit,” jawab Ayla sambil meliriknya dengan senyum menggoda.
Arlen terkekeh, sesuatu yang jarang terjadi. “Kau punya poin di sana. Tapi aku setuju dengan Kael, tempat ini… melelahkan.”
Ayla mengangkat bahu. “Ya, tapi kalian harus mulai terbiasa. Kita tidak tahu sampai kapan kalian akan berada di sini.”
---
Hari berikutnya, Ayla memutuskan untuk membawa mereka ke taman kota. Ia berpikir, mungkin suasana yang lebih tenang akan membantu Kael dan Arlen merasa lebih nyaman.
Namun, rencana itu segera berubah menjadi serangkaian kekacauan kecil.
Kael, yang tampaknya penasaran dengan segala hal, mulai mencoba alat-alat olahraga yang ada di taman. Ia memandang alat angkat beban kecil dengan penuh curiga sebelum akhirnya mengangkatnya dengan satu tangan seolah-olah itu tidak berbobot sama sekali.
“Ini latihan?” tanyanya, memperlihatkan ekspresi bingung. “Di dunia kami, ini tidak lebih berat dari pedang latihan anak-anak.”
Ayla memutar matanya. “Kael, alat itu bukan untuk menunjukkan kekuatanmu. Ini untuk melatih stamina.”
“Kalau begitu, aku lebih baik tetap berlatih dengan pedangku,” jawab Kael sambil meletakkan beban itu kembali dengan santai.
Sementara itu, Arlen justru menarik perhatian kelompok anak-anak kecil yang sedang bermain. Dengan sikapnya yang tenang namun karismatik, ia dengan mudah membuat mereka terkagum-kagum saat ia menunjukkan trik sulap sederhana menggunakan daun yang ia temukan di sekitar taman.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanya salah satu anak dengan mata berbinar.
“Itu rahasia,” jawab Arlen dengan senyum penuh misteri, lalu menoleh ke arah Ayla yang menatapnya dari kejauhan. “Mungkin aku lebih cocok menjadi penghibur di dunia ini.”
Ayla mendekatinya sambil tersenyum kecil. “Kalau kau terus membuat anak-anak itu percaya bahwa kau penyihir, aku tidak akan bertanggung jawab kalau mereka mulai mengikutimu kemana-mana.”
“Setidaknya aku bisa menghasilkan uang di sini,” jawab Arlen dengan nada bercanda.
Di sisi lain taman, Kael mulai menarik perhatian sekelompok pemuda yang sedang bermain bola. Dengan semangat kompetitifnya, ia bergabung tanpa ragu. Tapi, seperti biasa, tindakannya justru membawa kekacauan.
“Kael! Jangan menendangnya terlalu keras!” seru Ayla, tapi sudah terlambat. Bola itu terbang dengan kecepatan luar biasa, hampir mengenai kepala seorang pria tua yang sedang berjalan di dekat lapangan.
Pria itu terkejut, tapi sebelum ia sempat marah, Kael sudah berlari mendekat dan membungkuk dalam-dalam. “Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bermaksud—”
Pria tua itu tampak bingung, lalu tertawa. “Kau harus lebih hati-hati, Nak. Kau seperti punya kekuatan seekor kuda liar.”
Kael menggaruk kepalanya dengan canggung. “Aku akan lebih berhati-hati.”
Ayla, yang menyaksikan dari kejauhan, hanya bisa menghela napas panjang. “Setiap kali aku membawa mereka keluar, pasti ada insiden,” gumamnya.
---
Malam harinya, ketika mereka kembali ke apartemen, Kael dan Arlen terlihat lebih tenang. Mungkin, meskipun mereka sering membuat kekacauan, pengalaman sehari itu membantu mereka mulai memahami kehidupan di dunia Ayla.
“Aku tidak pernah menyangka dunia ini bisa begitu… aneh, tapi juga menyenangkan,” kata Kael sambil meregangkan tubuh di sofa.
“Aku setuju,” tambah Arlen. “Meski aku lebih suka jika kita bisa membawa suasana ini ke dunia kita sendiri. Mungkin setelah ini aku akan mempertimbangkan membuka taman seperti tadi.”
Ayla tersenyum mendengar komentar mereka. “Aku senang kalian mulai menikmatinya. Tapi jangan lupa, ini baru permulaan. Masih banyak hal yang harus kalian pelajari.”
Kael mengangguk dengan serius, sementara Arlen hanya tersenyum samar, tatapannya penuh arti. Mereka mungkin berasal dari dunia yang berbeda, tapi malam itu, di tengah tawa dan obrolan ringan, mereka semua merasa sedikit lebih dekat.
Namun, di balik suasana santai itu, Ayla tahu bahwa kebersamaan mereka di dunia ini tidak akan selalu berjalan mulus. Dan entah bagaimana, ia merasa bahwa tantangan yang akan datang tidak hanya akan menguji kemampuan mereka untuk beradaptasi, tetapi juga hubungan di antara mereka.
Keesokan harinya, Ayla mengajak Kael dan Arlen ke pasar malam. Menurutnya, ini adalah cara sempurna untuk mengenalkan kehidupan lokal yang penuh warna. Mereka berjalan di tengah keramaian, dikelilingi suara pedagang yang menawarkan dagangan, aroma makanan yang menggugah selera, dan lampu-lampu hias yang menerangi jalanan sempit.
“Pasar ini lebih menarik daripada yang kukira,” komentar Arlen, tangannya menyentuh kain berwarna-warni yang digantung di salah satu kios. “Ada kehangatan yang tidak bisa ditemukan di istana.”
Kael, sementara itu, sudah tertarik dengan stan permainan. Ia berhenti di depan sebuah permainan lempar cincin yang terlihat sederhana. Setelah memperhatikan sebentar, ia memutuskan untuk mencobanya.
“Ini hanya soal akurasi, kan?” tanyanya kepada si pemilik stan.
Pria tua yang menjaga stan tertawa kecil. “Benar sekali, Nak. Kalau kau bisa menjatuhkan semua cincin di botol, kau akan mendapatkan hadiah utama.”
Kael mengambil cincin itu dengan percaya diri. Namun, alih-alih mengikuti aturan, ia melempar cincin dengan tenaga dan ketepatan yang tidak masuk akal, membuat semua botol di rak terjatuh dalam satu lemparan.
“Ehem, itu... terlalu bagus,” kata pria tua itu dengan mata membelalak, bingung apakah harus kagum atau marah.
Ayla buru-buru menarik Kael sebelum terjadi keributan. “Kita pergi sekarang,” bisiknya, sambil mendorong pria itu menjauh.
Di sisi lain pasar, Arlen justru membuat keributan dengan cara yang berbeda. Seorang peramal tua menarik perhatiannya, mengundang Arlen untuk membaca masa depan.
“Cobalah, Tuan Muda. Saya bisa membaca apa yang tersembunyi di balik mata perakmu itu,” kata peramal dengan suara berbisik yang misterius.
Arlen, dengan senyum sinisnya, duduk di hadapan peramal itu. “Baiklah, aku penasaran. Apa yang kau lihat?”
Si peramal menggenggam tangannya, memejamkan mata, lalu tiba-tiba berkata, “Ada dua jalan di depanmu. Salah satunya membawa cinta, dan yang lainnya membawa kehancuran.”
Ayla, yang mendengar ini saat mendekat, mengerutkan kening. “Itu terdengar terlalu generik. Kau pasti mengatakan itu pada semua orang.”
Namun, tatapan peramal itu berubah serius ketika ia memandang Arlen lagi. “Tapi kau, Tuan Muda, tidak akan bisa memilih salah satunya. Takdirmu telah terjalin dengan milik orang lain, dan itulah yang membuat perjalananmu menjadi rumit.”
Arlen tetap tenang, tapi sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan. “Mungkin kau benar. Atau mungkin kau hanya pandai berbicara.”
Ayla memutuskan untuk menyeret Arlen pergi sebelum diskusi itu berlanjut. Namun, kata-kata peramal itu terus terngiang di kepalanya.
Malam itu, saat mereka kembali ke apartemen, suasana terasa sedikit berbeda. Arlen lebih pendiam dari biasanya, sementara Kael sibuk mempelajari buku panduan kota yang ditemukan Ayla untuknya.
“Peramal tadi,” kata Ayla akhirnya, memecah keheningan. “Kau terlihat terganggu, Arlen. Apa yang dia katakan benar-benar memengaruhimu?”
Arlen menatap Ayla, lalu tersenyum kecil. “Bukan peramal itu yang menggangguku. Hanya saja, dunia ini… membuatku banyak berpikir. Tentang apa yang sudah kulewatkan, dan apa yang mungkin akan hilang.”
Ayla merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan Arlen, tapi ia memutuskan untuk tidak memaksanya. Sebaliknya, ia beralih ke Kael, yang sudah terlihat lelah dengan buku panduan di tangannya.
“Apa yang kau pelajari, Kael?” tanyanya.
Kael menguap, menutup buku itu dengan bunyi keras. “Bahwa dunia ini jauh lebih rumit daripada dugaanku. Dan aku tidak yakin aku ingin mempelajari semuanya.”
Ayla tertawa kecil. “Kau tidak perlu mempelajari semuanya. Hanya saja, berhentilah membuat kekacauan setiap kali kita pergi keluar.”
“Tapi tanpa kekacauan, hidup akan membosankan,” jawab Kael dengan senyum jahil.
Mereka semua tertawa, dan untuk sesaat, suasana kembali ringan. Namun, jauh di dalam hati Ayla, ia tahu bahwa kehidupan bersama Kael dan Arlen di dunia ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang. Sesuatu yang lebih besar sedang menunggu mereka, dan ia hanya bisa berharap bahwa mereka bertiga cukup kuat untuk menghadapinya.