Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melahirkan dihari Pemakaman
Setelah melalui proses panjang akhirnya Amir dapat dimakamkan sebelum matahari terbenam. Isak tangis dari seluruh keluarga mengiringi liang lahat yang mulai di timbun tanah merah sedikit demi sedikit.
Melihat liang lahat sang suami yang mulai tertutup rapat, Mahira tidak bisa lagi menahan diri. Mahira menjatuhkan diri memeluk makam sang suami yang kini telah terpasang papan nama yang bertuliskan hari lahir dan wafatnya.
"Mas Amiiirrr.... kenapa Mas pergi secepat ini, bukankah Mas menantikan bayi ini begitu lama?" Mahira meracau mengingat bagaimana perjuangan mereka memiliki anak selama lima tahun pernikahan. Berbagai macam cara dilakukan, mulai dari perawatan modern sampai perawatan tradisional. Namun tidak satupun berhasil membuat Mahira mengandung. Tapi setelah mereka memasrahkan diri dengan ketentuan yang Allah SWT gariskan, akhirnya Mahira dan Amir menerima kabar baik yang mereka nantikan selama ini. Tapi sayangnya belum sempat bayi itu lahir, Allah lebih dulu memanggil Amir pulang ke pangkuan-NYa.
"Engkau mengabulkan keinginannya, tapi Engkau juga mengambil nya dariku tanpa memberinya kesempatan untuk melihat bayi ini." teriak Mahira memandang langit yang mulai gelap.
Seolah mengungkapkan kekecewaan atas takdir yang Allah berikan, Mahira terus mengungkapkan apa yang ada dalam isi hatinya, imannya benar-benar goyah dengan ujian yang Allah berikan kepadanya.
"Sudah Mahira, gak boleh kamu ngomong begitu sama Allah, dosa." tegur Ibu sambil memegang kedua bahu Mahira.
"Kenapa ini terjadi padaku ibu... kenapa..." Mahira mencoba berdiri dengan tangisnya yang mulai mereda, namun di menit kemudian, tubuh Mahira terhuyung ke belakang.
"Mahira..." jerit Ibu yang langsung menangkap tubuh Mahira.
Melihat ibu yang susah payah menahan tubuh Mahira, Amar mendekati mereka dan menggantikan ibu menahan tubuh Mahira supaya tidak terjatuh.
"Mahira kau baik-baik saja...?" tanya Amar menatap wajah Mahira yang seakan menahan sakit. Semakin lama Mahira mengerutkan semua panca indera di wajahnya lalu diikuti dengan jerit kesakitan.
"Aaaaaa..... Sa.... kiiitttt...."
Melihat itu Amar mengalihkan pandangannya ke bawah, dimana kedua tangan Mahira menahan perutnya seakan takut isi didalamnya jatuh.
Tidak sampai disitu, Amar kembali di kejutkan kita melihat cairan bening mengalir ke telapak kaki Mahira.
"Ibu apa Mahira akan melahirkan?" tanya Amar yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal kehamilan.
"Sepertinya begitu Nak Amar, air ketubannya sudah pecah." saut Ibu yang ikut merasa panik.
Tidak mau terjadi sesuatu pada bayi yang ada dalam kandungan Mahira, Amar langsung membopong tubuh Mahira meninggalkan makam yang masih terdapat beberapa sanak saudara dan para tetangga yang mengiringi pemakaman Amir.
"Ibu cepat masuklah," ucap Amar begitu menurunkan tubuh Mahira di belakang kursi kemudi.
"Iya Nak Amar."
Setelah melihat ibu duduk merangkul Mahira yang terlihat lemah, Amar bergegas memacu kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sesampainya di rumah sakit beberapa perawat bergegas lari dengan membawa ranjang darurat atau biasa disebut dengan Brankar ke arah Amar yang sudah membopong tubuh Mahira.
Melihat perawat dengan sigap menyambut mereka, Amar membaringkan tubuh Mahira di Brankar tersebut.
"Maaf, untuk mendampingi pasien hanya boleh satu orang saja, bisa suami atau bisa juga ibunya."
Perkataan Perawat membuat Ibu dan Amar saling memandang sejenak sebelum akhirnya Amar meminta ibu saja yang menemani Mahira di dalam.
Setelah berjalan sekitar lima belas menit tak juga terdengar suara tangis bayi, Amar yang merasa khawatir akan keselamatan bayi Adiknya yang baru saja meninggal menjinjitkan kakinya untuk melihat melalui celah kaca pintu. Namun posisi ranjang bersalin yang jauh dari pintu membuat Amar tak dapat melihatnya.
Lima menit berlalu, Amar melangkah mundur ketika tiba-tiba Dokter membuka pintu.
"Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Amar khawatir.
"Kami harus melakukan tindakan operasi, karena air ketubannya mulai mengering, sementara tubuh pasien sudah sangat lemah." jelas Dokter.
"Lakukan saja yang terbaik Dokter, selamatkan bayi itu!"
Melihat Dokter menatapnya dengan tatapan heran, Amar menyadari apa yang baru saja ia katakan.
"Eum-maksudku, selamatkan bayi dan juga ibunya, mereka harus selamat." ujar Amar meralat ucapannya sembari mengalihkan pandangannya.
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin, berdoa saja semoga anak dan istri Anda sama-sama sehat tanpa kurang suatu apapun."
Mendengar jawaban Dokter, lagi-lagi Amar terdiam mengingat wasiat terakhir Adiknya yang mewariskan istri dan anaknya untuk dirinya.
Bersambung...
Ditunggu karya selanjutnya
sehat wal'afiat selalu ya mbak Noor.
pasti direkam pula buat bukti
terkejut aku Thor.
semoga firman tidak lupa merekam nya.
lanjut Thor,, double up lagi.