Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 27
Max bertanya dengan gemas, karena Arumi menjelaskannya setengah-setengah. Padahal, sebenarnya Arumi tengah bingung mau menjelaskannya bagaimana pada, suaminya itu. Apalagi, saat ini Max menatapnya lekat tanpa kedip.
"Dia, ini. Kenapa suka sekali mengintimidasi orang hanya dengan tatapannya?" batin Arumi, menahan panas dingin karena grogi.
"Mas, puasa itu. Kita tidak boleh makan dan minum dari subuh sampai magrib," jawab Arumi, dengan penjelasan sederhana. Namun, sepertinya dia salah.
"Kapan itu, subuh dan mag--"
"Magrib, Mas."
"Iya, itu kapan?" kulik Max lagi. Entah kenapa dia yang awalnya tak pernah peduli dengan orang lain, kini selalu ingin tau apa saja kegiatan yang akan istrinya lakukan.
"Biasanya itu, jam setengah lima pagi sampai senja, atau jam enam sore. Tergantung waktu setempat. Intinya itu, dari sebelum fajar sampai matahari terbenam," tutur Arumi lagi, kali ini lebih detil agar suaminya faham.
"Apa! Kau tidak akan makan dan minum selama itu. Apa kau ini mau kena malnutrisi!" sentak Max, yang terkejut dengan penuturan istrinya. Sehingga membuat Arumi seketika menjengit kaget dalam duduknya. Naima dan Azura pun melakukan hal yang sama. Mereka saling meremas tangan masing-masing.
"Mas. Bukan begitu. Arum tidak akan kurang gizi ataupun sakit hanya karena puasa. Arum, sudah sering melakukannya," jelas Arumi, mematahkan langsung praduga suaminya.
"Mungkin, dengan kehidupanmu dulu, kau melakukannya karena terpaksa. Tapi, di sini, aku memiliki segalanya, apapun yang kau butuhkan. Kenapa harus menahan lapar!" geram Max. Dia sungguh tak habis pikir, kenapa Arumi harus menahan diri dengan berpuasa. Padahal, di mansion ini mau makan dan minum apa saja sudah tersedia. Max, selama hidupnya tidak pernah kekurangan makanan. Aturan darimana harus puasa, pikir Max dengan pengetahuan tanpa agama yang dia miliki.
Arumi menunduk takut, dengan kedua tangan yang saling meremas satu sama lain di atas pangkuannya. Dia tak mengerti, kenapa suaminya bisa semarah ini, hanya karena permintaan ijinnya.
"M–mas, tolong jangan emosi. Tolong pahami maksud dari, Arum. Begini, saja. Tolong, Mas beri ijin dan nanti silakan, Mas liat sendiri setelah Arumi menjalankannya. Bagaimana?" Arumi memberanikan diri untuk melakukan negosiasi dengan, Max. Hatinya yakin, jika suaminya tidak mungkin sekejam Fir'aun.
Dimana, Asiyah binti Muzahim, secara diam-diam melakukan ibadah kepada Allah lantaran suaminya yang kafir. Fir'aun kala itu dengan tegas menentang keberadaan Tuhan semesta alam. Sehingga, Fir'aun menobatkan dirinya sebagai Tuhan karena kekuasaan dan kehebatan yang dia miliki.
Kesombongan Fir'aun, dapat Arumi lihat sedikit banyak ada di dalam sifat suaminya. Apalagi, di saat para anak buah dan para pekerja menunduk takut di saat pria itu lewat di hadapan mereka. Tetapi, Arumi berharap itu hanya perkiraannya saja. Arumi masih berharap, kalau Max tidak sekejam Fir'aun.
Kisahnya dan Aisyah juga hampir sama. Aisyah dan Fir'aun menjadi suami-istri karena penindasan Fir'aun di masa itu. Sementara, Arumi menjadi istri dari Max si mafia karena paksaan dari warga yang menuduh mereka berzina. Apalagi, ketika Arumi mendapati bahwa selama hidupnya, Max sama sekali tidak mengenal adanya Tuhan. Pria itu hanya yakin, bahwa apa yang dia miliki sekarang atas kemampuan dan kehebatan dirinya saja.
Max, terdiam sesaat mendengar negosiasi dari istri cantiknya itu. Ah, cantik ya. Apakah sekarang kau mulai takluk dengan keindahan yang di ciptakan Tuhan untukmu, Max?
"Lakukan saja. Asal kau tidak memaksaku untuk melakukannya juga!" kecam Max. Walaupun dirinya sudah mengikuti agama yang di anut oleh, Arumi. Akan tetapi, Max menolak untuk melakukan ritual ibadahnya. Sesuai pesan dari pakde Mustafa, Arumi akan menggunakan jurus sabar dalam membimbing suaminya hingga menemukan jalan yang benar.
"Iya, Mas. Arum hanya berharap ijin dan ridho dari, Mas saja," ucap Arumi, dengan nada bicaranya yang lembut seperti biasa. Sekalipun ada sedikit nada bergetar di setiap kalimatnya.
"Hemm." Max, kali ini menjawab dengan deheman lalu beranjak berdiri dan pergi begitu saja. Arumi, tidak mau diam saja. Dia pun ikut berdiri dan berjalan menyusul langkah suaminya. Karena perbuatannya itu, Max sontak menghentikan langkahnya kemudian berbalik. Arumi yang kaget dan tidak menyangka jika suaminya akan berhenti, sontak menabrak punggung, Max.
Dugh!
"Ough!" lirih Arumi, mengusap pelan keningnya yang telah menabrak punggung kekar, Max.
"Kenapa kau mengikutiku?" Max bertanya dengan tatapan sinisnya seperti biasa.
"Maaf. Memangnya, Mas mau kemana?" Arumi bertanya sambil mengusap keningnya.
"Itu bukan urusanmu. Apa aku harus lapor padamu, dengan kegiatan yang akan aku lakukan!" sarkas Max, dengan tatapan yang semakin mengintimidasi Arumi.
"M–maaf, Mas. Arum, hanya bingung apa yang harus di lakukan di rumah besar ini tanpa kamu," jawab Arumi dengan suara bergetar. Arumi tak biasa mendengar bentakan. Selama hidupnya, sang paman membesarkannya dengan kelembutan dan kasih sayang.
"Kau bebas melakukan apapun. Minta salah satu pelayan untuk mengantarmu berkeliling mansion. Bangunan ini, memiliki apapun yang tak pernah ada di dalam benakmu sekalipun. Jadi, berhenti mengurus hidupku. Kau, urus saja hidup mu sendiri. Duniaku, tidak seperti apa yang kau bayangkan, Arumi. Pekerjaan ku saat ini, tidak akan sanggup kau cerna dengan isi kepalamu yang polos. Sebaiknya, kau tetap di dalam mansion ini!" tegas Max, membuat Arumi bungkam serapat-rapatnya.
Arumi sadar, bahwa suaminya memiliki wilayah teritorial yang tidak mungkin di masuki olehnya saat ini. Max, belum memiliki kepercayaan padanya, untuk sekedar membagi kisah dan hidupnya. Arumi memaklumi itu. Setidaknya, saat ini posisinya aman. Max, bahkan tidak memaksanya untuk melayani hasrat yang merupakan hak pria itu.
"Sabar, Rum. Pria itu memiliki batas tembok yang tinggi. Tetapi, dengan kuasa Allah, bangunan sekokoh apapun pasti akan runtuh secara perlahan-lahan. Sentuh hatinya dengan cinta dan kelembutan, sebagaimana Rasulullah mendekati Sayyidina Umar bin Khattab dan orang-orang Quraisy lainnya." Arumi berbicara seorang diri untuk menyemangati dirinya sendiri.
Arumi memilih untuk berbalik, ternyata terdapat Naima sedang berdiri tak jauh dari keberadaannya. Arumi tersenyum, kemudian menyapa pelayan muda itu. "Halo, Naima. Boleh aku meminta sesuatu padamu?"
Di markas besar Black Hawk sebelah timur.
Max, beserta anak buahnya sedang mengatur strategi pembalasan dendam. Dave telah mengantongi cara untuk menyatroni markas wolfGang.
Max, telah menyiapkan segalanya dengan matang. Rencana penjebakannya untuk Evander telah di pastikan akan berjalan sesuai keinginannya. Dave membawa salah satu orangnya ke sebuah klub yang biasa di datangi oleh, putranya Oliver itu. Dimana, Dave telah menyiapkan orang-orangnya di sana.
Dave langsung bertemu dengan orang dalam yang bekerja sama dengan Max. Dave saat ini tidak bertindak sebagai anggota mafia, tetapi pengunjung. Dave bersama dengan Zed, mengawasi target dengan penyamaran.
Orang dalam suruhan Max, menempatkan keduanya di posisi yang strategis. Dimana Dave dan Zed benar-benar bisa mengawasi segala gerak-gerik dari Evander.
"Membaurlah dengan tamu yang lain. Anda tidak akan kentara sebagai anggota mafia di sini," kata orang dalam suruhan Max ini.
Beberapa saat kemudian, Dave terlihat ingin muntah, melihat Evander bermain dengan tiga wanita sekaligus.
"Cih! Dasar iblis!"