[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 | Kanara
“Bagaimana bisa dia menghilang?!” papa Zeeya membentak kedua bodyguard yang baru beberapa hari bekerja itu.
Nova dan Tiana menunduk tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani menjawab atau memberikan penjelasan. Mereka tahu bahwa kata-kata tidak akan cukup untuk menjelaskan betapa cemasnya tuan mereka atas kehilangan putrinya.
“Kumpulkan semua pasukan kita yang ada di kota ini! cari dia segera!” perintahnya tegas.
Suaranya bergetar, menunjukkan betapa khawatirnya dia di balik kemarahan yang ditunjukkan. Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah pergi, meninggalkan dua bodyguard yang terlihat semakin gelisah.
Pip, pip!
Suara walkie-talkie yang dibawa Nova. Dia mendekatkan benda itu ke telinganya. Setelah beberapa saat, Nova terdiam.
“Tiana, cek CCTV di restoran ini. Aku harus pergi melaporkan situasi ini ke komandan pasukan khusus di mansion.” Nova tampak sangat panik.
“Baik,” jawab Tiana, dia segera melakukan apa yang dikatakan Nova.
.........
“Ini rumahnya?” tanyaku keheranan.
“Iya, benar sesuai alamat. Rumahnya di seberang jembatan ini,” kata sopir taksi yang baru saja mengantarku.
“Baiklah ... saya turun di sini saja, Pak. Terima kasih.” Aku menyerahkan beberapa lembar uang kepada sopir taksi.
Mobil taksi itu melaju meninggalkanku di sebuah jembatan, tak jauh dari Colian Junior Boarding School. Jembatan kayu yang tidak bisa dilewati mobil itu tampak sangat kumuh. Lebih kumuh lagi rumah yang berdempet-dempetan di seberangnya.
Aku menyeberangi jembatan dan melangkah perlahan menuju salah satu rumah tersebut, tertulis angka 9 di depan pintu. Ketika aku mendekat, pintu kayu yang setengah terbuka memperlihatkan ruangan yang gelap dan berantakan. Aku amat yakin, itu rumah yang sedang aku tuju.
“Halo?” aku mengetuk pintu beberapa kali, jantungku berdegup kencang tak karuan.
Suasana di luar terasa sepi sekali dan meski pintu terbuka, aku tidak berani menatap ke dalam. Dalam beberapa saat, terdengar langkah seseorang mendekat.
“Siapa …” suara Sarah terhenti saat membukakan pintu.
Dia berdiri membeku, terkejut melihatku.
“Sarah, lama tidak berjumpa!” sapaku berusaha bersikap ramah.
Aku tersenyum lebar, tetapi dia masih tampak terkejut. Wajahnya menunjukkan rasa benci padaku.
“… kenapa kamu ke sini?” tanyanya ketus, nada suaranya tajam.
“Aku hanya ingin berkunjung.” Aku memalingkan pandanganku ke dalam rumahnya, berusaha melihat apakah ada ruang bagi kami untuk berbicara. “Apakah aku boleh masuk? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Tidak. Pulang saja!” dia hendak menutup pintu.
“Tunggu! Cuacanya sedang mendung. Boleh aku masuk sejenak sebelum hujan datang?” tanyaku, tanganku dengan cepat mencegahnya menutup pintu sepenuhnya.
Sarah mendongak, melihat langit sore yang berwarna kelabu. Setelah sejenak terdiam, akhirnya dia menghela napas.
“Masuklah …” dia mempersilakan aku masuk. “... semoga kamu tidak merasa jijik dengan keadaan rumahku.”
Nada bicaranya masih ketus. Aku memakluminya. Kami hanya pernah bertemu dua kali. Dia pasti sudah tahu tujuan kedatanganku.
“Jadi, di mana aku harus duduk?” aku mencari-cari sebuah kursi atau pun sofa yang empuk.
“Di sini ...” Sarah langsung duduk begitu saja di lantai.
“Di sini? Di lantai ini?” aku menatap sesuatu yang dipijak kakiku, lantai kayu yang tampak lusuh.
Aku juga memperhatikan sekeliling, tidak ada ruangan lain di rumah ini, selain ruangan yang sedang kami tempati. Dindingnya terlihat usang, dan pencahayaan remang-remang membuat suasana semakin suram.
“Rupanya ‘Tuan Putri Zeeya’ tidak terbiasa duduk di lantai, ya?” ungkapnya menyindirku.
“Tidak,” jawabku sambil akhirnya mengikuti dia, duduk di lantai kayu yang keras dan dingin.
“Aku tidak punya kopi maupun teh. Jadi langsung saja, apa yang mau kamu bicarakan?”
Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan kata-kata. “Kenapa kamu melakukan semua hal itu?”
Sarah tertawa terkekeh. “Tentu saja karena dirimu.”
“Karena aku? Lalu kenapa kamu menikam Hansel, bukan aku saja?” tanyaku tanpa ragu sedikit pun.
“Kamu sedang tidak ada di sana, bodoh! Cowok itu berusaha menghalangiku. Aku tidak sengaja menikamnya ...” Sarah kemudian menunduk di hadapanku.
“Karena kamu mengira aku telah membunuh adikmu, Kian Hanami? itu alasanmu?”
Dia menatap kembali mataku. “Ba-bagaimana kamu bisa tau ...”
“Aku juga sudah tau, nama aslimu Kanara Hanami.”
“Ah ... memang benar, kan? kamu yang lebih dulu menikam adikku lalu menghanyutkannya ke sungai.” Mata Kanara tampak berkaca-kaca.
“Aku bukan orang yang telah membunuh adikmu!” aku naik pitam.
“Lalu siapa? Siapa lagi yang menghilangkan nyawa Kian ... kalau bukan keluarga brengsekmu itu!”
“Aku tidak tau.” emosiku kembali meredah. “Kalau kamu mau tau apa yang terjadi pada adikmu, tolong bantu aku.”
“Hah?!”
“Sebelum ke rumahmu, aku sempat mengunjungi sekolah asrama itu dan bertemu Miss Diah. Dia mengatakan kalau orang tuaku tau tentang kejadian hanyutnya Kian dan juga ... Kairo.”
“Memang benar.” Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan, “orang tuamu yang mencegah polisi dan juga wartawan agar tidak datang ke sekolah. Entah bagaimana caranya menutupi kejadian itu, yang jelas keluargamu yang harus bertanggung jawab.”
“Masalahnya ... aku tidak ingat kejadian yang aku alami semasa di sekolah asrama. Seolah-olah aku mengalami hilang ingatan. Papaku juga menutupi hal itu dariku. Aku berulang kali bertanya, dia tidak menjawab ...” jelasku panjang lebar.
“Lalu ... kamu ingin aku melakukan apa?”
Perasaanku kalang kabut, aku tidak tahu harus mengatakan apa yang aku inginkan pada Kanara. “Kenapa kamu langsung menuduhku sebagai orang yang menghilangkan nyawa adikmu?”
“Sebab, aku melihatmu mendorong Kairo ke sungai. Kupikir, kamu juga melakukan hal yang sama pada adikku.”
“Bukankah pelaku yang membunuh adikmu sudah ditangkap? Aku membacanya di sebuah artikel berita,” ucapku, memastikan informasi yang aku baca benar adanya.
“Iya ... pelakunya sudah ditangkap.” Kanara berhenti sejenak. “Tapi orang yang ditangkap itu bukan pelakunya.”
Seketika dia tersenyum dengan licik. “Mau kuberi tau siapa yang telah membunuh adikku?”
Mataku terbuka lebar, merasa semakin ingin tahu. Perasaanku berada di antara tegang dan penasaran.
“Ayahmu sendiri, Tuan Vierhalt.”
“Pa-papa?” aku tersentak kaget. “Jangan asal bicara!”
“Aku mengatakan yang sebenarnya.”
Badanku rasanya lemas. Dengan sisa tenaga yang ada, aku beranjak dari rumah itu. Tak peduli hujan turun. Aku melangkah tak tentu arah.
Setiap langkah terasa berat, air hujan membasahi rambut dan wajahku, seakan ingin mencuci semua beban yang kupikul. Ketika aku melangkah lebih jauh, suara gemuruh petir menggelegar di langit. Hari semakin gelap, mungkin aku seharusnya mencari tempat berteduh, tetapi aku tidak ingin berhenti. Aku butuh waktu untuk merenungkan semua yang baru saja terjadi.
.........
‘Halo’ Kanara menelepon seseorang.
‘Siapa?’ tanya orang di seberang telepon.
‘Aku, Sarah. Anda pasti tidak akan percaya siapa yang baru saja datang ke rumahku.’
‘Aku tidak tertarik dengan tamu ...’
‘Zeeya!’
‘Apa? apa kau bilang?’ mendengar nama itu, orang tersebut kaget.
‘Zeeya datang ke rumahku. Dia belum lama pergi. Ke mari lah ... lanjutkan rencana Anda, Tuan.’
‘Iya iya, aku akan segera ke sana bersama orang-orangku ...’
.........
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/