Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MOMEN TERAKHIR
Kesehatan Megha semakin memburuk. Sejak diagnosis penyakitnya beberapa bulan yang lalu, tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari. Meskipun Megha selalu berusaha tersenyum, Bima tahu bahwa di balik senyum itu, ada rasa sakit yang tak terucapkan.
Di kamar rumah sakit tempat Megha dirawat, suasana terasa sunyi. Alat-alat medis yang berdering secara ritmis menjadi latar belakang yang membuat suasana semakin menyedihkan. Bima duduk di sebelah ranjang Megha, memegang erat tangannya yang terasa semakin dingin.
Megha menatap Bima dengan senyum lembut, meski matanya tampak lelah. "Bima, lo nggak perlu selalu di sini, gue baik-baik aja," ucap Megha dengan suara pelan.
Bima hanya menggelengkan kepala, suaranya tegas namun lembut. "Gue nggak akan ninggalin lo, Meg. Bukan sekarang. Gue janji bakal selalu ada buat lo, ingat?"
Megha tertawa kecil, meskipun tertawa itu terdengar lemah. "Lo selalu tegas kalau udah janji, ya?"
Bima menatapnya dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. Dia tahu bahwa waktu mereka tidak banyak lagi. Dokter sudah menjelaskan bahwa kondisi Megha semakin kritis, tapi Bima berusaha keras untuk tidak memperlihatkan betapa hancurnya hatinya.
Bima mengingat semua kenangan yang telah mereka lewati. Dia ingat bagaimana mereka pertama kali bertemu, bagaimana mereka tumbuh bersama, menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Dan sekarang, ketika akhirnya mereka mengakui perasaan cinta yang selama ini mereka pendam, takdir seakan memberi mereka waktu yang begitu singkat.
“Meg, ada sesuatu yang pengen gue lakukan buat lo,” kata Bima tiba-tiba.
Megha menatapnya dengan bingung. "Apa?"
Bima tersenyum lembut, lalu berdiri dari kursinya dan berjalan ke jendela. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Gue tau ini mungkin kedengeran aneh, tapi gue pengen lo tau seberapa besar cinta gue ke lo, nggak cuma lewat kata-kata."
Bima berbalik, dan saat itu juga dia mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. Kotak itu terbuka, memperlihatkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran halus di tepinya.
Mata Megha melebar, terkejut. "Bima... apa ini?"
Bima melangkah mendekat, duduk kembali di sebelah ranjang Megha. Dia menatapnya dengan penuh cinta dan kesungguhan. "Meg, gue pengen lo tau kalau cinta gue ke lo nggak ada akhirnya. Gue pengen lo jadi bagian dari hidup gue, dalam segala cara yang mungkin. Ini bukan sekadar cincin, ini simbol dari janji gue buat selalu ada buat lo, sekarang dan selamanya."
Megha terdiam, air mata mulai menggenang di matanya. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang begitu mendalam. "Tapi, Bim... gue nggak tahu berapa lama lagi gue punya waktu."
Bima menggenggam tangannya erat. "Gue nggak peduli, Meg. Waktu yang kita punya mungkin singkat, tapi gue nggak mau nunggu lebih lama lagi buat menunjukkan betapa pentingnya lo buat gue. Lo adalah cinta hidup gue, dan gue pengen lo tau itu, setiap hari, setiap detik."
Air mata Megha akhirnya jatuh. Dia terisak pelan, terharu oleh ketulusan Bima. Cincin itu mungkin sederhana, tapi maknanya begitu besar, terutama di tengah situasi mereka yang tak pasti.
Bima perlahan menyematkan cincin itu di jari Megha, sementara Megha hanya bisa tersenyum di tengah isakannya. Tangannya gemetar, tapi dia merasakan kehangatan yang luar biasa dari cinta yang diberikan Bima.
"Terima kasih, Bima... buat semuanya," kata Megha dengan suara serak. "Gue nggak pernah nyangka bisa ngerasain cinta yang sebesar ini."
Bima mengusap pipi Megha yang basah dengan lembut. "Gue yang harusnya berterima kasih, Meg. Lo ngasih gue kesempatan buat nyintai lo, dan itu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup gue."
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam momen yang begitu berharga. Waktu seakan berhenti, dan dunia di sekitar mereka menjadi tidak penting lagi. Yang ada hanya cinta mereka, yang meski terbatas oleh waktu, akan selalu abadi dalam hati mereka.
Malam itu, Bima tinggal di samping Megha, menggenggam tangannya sepanjang malam. Meskipun Megha semakin lemah, senyum kecilnya masih terpancar. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi malam ini, mereka hanya fokus pada satu hal—cinta yang mereka miliki, dan janji yang telah diikat di antara mereka.
Di luar, bulan bersinar terang di langit yang gelap, seolah menjadi saksi dari momen terakhir yang begitu indah di antara dua hati yang saling mencintai.
Pagi datang terlalu cepat. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis di kamar rumah sakit, membawa kehangatan yang terasa kontras dengan suasana hati Bima. Dia belum tidur semalaman, masih setia menggenggam tangan Megha yang semakin lemah. Selama beberapa jam terakhir, dia hanya mendengarkan napas Megha yang terengah-engah, mencoba menenangkan pikirannya yang terus dihantui ketakutan akan kehilangan.
Megha terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat. Dia melihat Bima yang duduk di sampingnya, matanya merah karena kurang tidur. “Bim…” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Bima tersentak pelan, melihat Megha membuka mata. Dia tersenyum, meskipun hatinya terasa hancur. “Hei, Meg. Gimana perasaan lo?” tanyanya lembut, menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya.
Megha tersenyum lemah, tapi ada kehangatan di matanya. “Gue… gue masih di sini, kan?” katanya dengan nada bercanda yang sangat pelan.
Bima tertawa kecil meski terasa berat. “Selalu, Meg. Lo masih di sini, dan lo selalu punya gue.”
Megha hanya memejamkan mata sebentar, merasakan kehadiran Bima yang menenangkan. Tubuhnya semakin lemah, tapi hati dan pikirannya terasa tenang karena dia tahu bahwa Bima ada di sampingnya. “Gue pengen ngomong sesuatu,” Megha akhirnya berkata.
Bima mengangguk. “Apapun itu, gue dengerin.”
“Gue gak nyangka… seberapa banyak lo berarti buat gue. Gue takut kehilangan lo lebih dari apapun,” kata Megha dengan napas yang tersengal. Air mata menggenang di sudut matanya, tapi dia menahan dirinya agar tetap kuat di depan Bima.
Bima menggenggam tangan Megha lebih erat, mengalirkan seluruh perasaan yang ada di hatinya. “Gue nggak akan kemana-mana, Meg. Gue janji.”
Megha menelan isakannya, menatap Bima dalam-dalam, seolah ingin mengukir wajah sahabatnya itu di ingatannya selamanya. “Bima… lo harus terus hidup. Lo harus bahagia. Walaupun gue nggak di sini, gue pengen lo terus jalan.”
Air mata mulai mengalir di pipi Bima. Dia tahu Megha berbicara seolah-olah ini adalah perpisahan terakhir, tapi dia belum siap. “Meg, lo akan baik-baik aja. Kita akan lalui ini bareng, inget? Gue nggak mau ngomongin soal perpisahan sekarang. Lo masih di sini, gue masih di sini.”
Megha tersenyum, sebuah senyum yang penuh kasih sayang, tapi juga pasrah. Dia tahu batas tubuhnya, dan meskipun Bima mencoba menyangkal, mereka berdua tahu bahwa waktunya mungkin tak lama lagi. “Bima… lo adalah hal terbaik yang pernah terjadi di hidup gue.”
Bima menunduk, isakannya pecah. “Lo juga, Meg. Gue nggak tau apa jadinya gue tanpa lo…”
Suasana kamar rumah sakit dipenuhi keheningan yang berat. Bima merasa waktu seakan melambat, setiap detik terasa seperti beban. Dia tidak pernah merasa setakut ini sebelumnya—takut kehilangan seseorang yang berarti segalanya baginya.
Beberapa jam kemudian, dokter masuk ke dalam ruangan. Ekspresi di wajah dokter itu penuh simpati, seakan-akan dia sudah tahu apa yang akan terjadi. “Bima, kita perlu memantau Megha lebih ketat sekarang. Tapi tolong ingat, dia butuh banyak istirahat.”
Bima mengangguk, meskipun hatinya menolak kenyataan itu. Setelah dokter pergi, Bima kembali ke samping ranjang Megha. Dia menggenggam tangan Megha lagi, dan kali ini, dia tidak melepaskannya. Dia ingin memastikan Megha tahu bahwa dia tidak sendirian, bahwa sampai detik terakhir, dia akan tetap ada di sampingnya.
Malam semakin larut, dan Megha semakin lemah. Napasnya menjadi lebih pelan, dan setiap kali dia mencoba membuka mata, rasanya seperti perjuangan berat. Namun, meskipun tubuhnya semakin lemah, Megha merasa damai. Dia merasa puas karena di saat-saat terakhir ini, dia bersama orang yang paling dia cintai.
“Bima… maafin gue kalau selama ini gue pernah nyakitin lo,” bisik Megha, hampir tak terdengar.
Bima menunduk dan menyeka air matanya. “Lo nggak pernah nyakitin gue, Meg. Gue yang seharusnya minta maaf kalau gue pernah bikin lo kesulitan atau kecewa.”
Megha hanya tersenyum kecil, tapi kali ini senyumnya lebih tenang. Dia tahu, bahwa pada akhirnya, mereka berdua sudah memberikan yang terbaik satu sama lain.
Waktu terus berjalan, dan takdir semakin mendekat. Megha terlelap dalam tidurnya, dengan napas yang semakin pelan dan lembut. Sementara itu, Bima tetap di sana, menggenggam tangan Megha, menahan isakan di dadanya.
“Meg… gue sayang lo…” bisik Bima untuk terakhir kalinya.
Pagi itu, di bawah sinar matahari yang baru terbit, Megha pergi dengan damai, meninggalkan kenangan indah tentang cinta yang tidak pernah akan terlupakan. Bima duduk di sana, menatap jari manis Megha yang masih mengenakan cincin pemberiannya, mengingat setiap momen yang pernah mereka lalui bersama.