Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 : Lamaran (lagi)
Lamaran dadakan ini membuat Liana susah untuk meyakinkan Himawan. Suaminya itu merasa tidak diikutsertakan dalam diskusi keluarga. Himawan merasa perlu melihat siapa yang akan menjadi calon besannya. Apakah setara dengannya atau tidak.
Biasanya Liana akan menenangkannya dan mencoba mencari jalan keluar lain jika suami dan anak-anaknya tidak satu pendapat. Namun kali ini Liana memilih untuk memihak Saka.
"Yang akan menikah adalah Saka. Kita sebagai orangtua hanya perlu mendukung, bukan mendebat."
"Aku ayahnya! Aku juga perlu memilih siapa calon Saka!"
"Aku ibunya. Tapi aku tidak akan selamanya hidup bersama Saka. Itu kehidupan Saka. Dia yang akan menjalaninya. Bukan kita."
"Liana! Kamu mulai berani membela anakmu!"
"Ya. Seorang ibu memang harus membela anaknya ketika anaknya berada di jalur kebenaran. Kami akan sangat senang jika kamu legowo menerima keputusan Saka. Tapi kalau kamu tidak berkenan hadir, kami tidak masalah. Bukan kamu yang akan menikahkannya, Mas. Tapi ayahnya calon istrinya Saka."
Liana memutar kursi rodanya meninggalkan Himawan. Dia sudah cukup sabar menghadapi suaminya selama ini. Hatinya sakit ketika sampai pada titik ini pun Himawan masih saja keras kepala dan egois.
Liana masuk ke dalam kamar lalu mengambil sesuatu dari dalam laci meja. Sebuah kotak kayu berisi sebuah boneka kucing kecil yang dijadikan gantungan kunci, beberapa kertas dengan tulisan tangan, dan beberapa gambar ilustrasi yang dibuat dengan pena.
Liana memandang semua barang-barang itu dengan tatapan sayu. Dia tidak pernah melupakan wajah itu.
...* * * * *...
Tidak seperti lamaran Alan dan Dista, acara lamaran Ara dan Saka jauh dari kesan pesta pora. Ara benar-benar ingin simple dan nggak riweh.
Keluarga Saka yang datang hanya ibunya, Devin, dan Om Satya, adiknya Liana. Sedangkan keluarga Ara, seperti biasanya. Keroyokan. Paket komplit.
Ketika mereka duduk di satu ruangan yang sama, Saka merasa dejavu saat pertemuan keduanya dengan Ara. Adik-adiknya lengkap. Masih dengan tatapan yang sama. Bedanya, kali ini Saka lebih santai dan percaya diri. Iyalah, sudah sampai tahap ini.
Ara terlihat kasual seperti biasanya. Bedanya kini wajahnya dipulas make up oleh Dista. Mumpung punya calon adek ipar pandai merias. Ara tetap terlihat manis dengan riasan sederhana.
Sarah terpana melihat Liana yang berwajah sendu. Beda sekali dengan dirinya yang beraura sangar dan siap bacok. Ara sudah mengerem reaksi spontan Sarah tentang ayah Saka yang tidak hadir dan kondisi ibunya Saka yang memakai kursi roda. Ara memberi alasan, ayahnya Saka sedang pergi ke luar negeri dan tidak bisa diganggu. Ara berusaha se-meyakinkan mungkin kepada Mama dan Papanya. Walaupun setelahnya, hal ini akan menjadi PR besar bagi Ara.
Perwakilan keluarga Saka didapuk oleh Om Satya. Singkat dan langsung ke inti tanpa basa-basi. Agung menerima niat baik dari keluarga Saka dengan senang hati. Hatinya bahagia anaknya masih ada yang mau, katanya sambil bercanda.
Yang namanya orangtua, pasti diselipi nasehat-nasehat pra nikah untuk anak dan calon menantunya. Agung berharap setelah lamaran, pernikahan Ara dan Saka tidak berselang lama.
"Nikah sekarang itu gampang kok, pestanya yang ribet. Ya, kan? Saya lihat trend anak-anak muda jaman sekarang nikahnya cukup di KUA, gratis, mudah, dan sama sahnya. Jadi, saya nggak ingin membebani apa-apa sama keluarganya Saka. Kami suka yang sederhana saja. Setelah ini kita cari tanggal yang bagus ya. Sekarang, monggo dinikmati apa yang ada. Silahkan."
Agung berdiri diikuti semua orang menuju dapur yang sudah di-set menjadi meja prasmanan. Tidak lupa Ara mengambilkan piring beserta nasi dan lauk untuk Liana.
Saka melihat calon istrinya itu dengan tatapan penuh kasih. Tawanya yang ceria, wajahnya yang manis, dan geriknya yang lincah. Seperti tidak ada lagi yang Saka inginkan selain meraih hidup baru bersama-sama.
Saka duduk di sebelah Ara bersama adik-adiknya yang mulai saling goda. Keluarga ini akrab dan hangat. Kebersamaan seperti inilah yang Saka inginkan dari dulu. Bahkan Devin sudah mulai nyerocos tentang peluang usaha lalu belok ke sepak bola bersama Alan dan Azka. Sedangkan ibunya tentu saja telah berbincang bersama Mama dan Papa Ara.
Mata Saka hampir basah melihat keluarganya bisa diterima di keluarga ini. Begitu juga sebaliknya. Saka begitu terharu dengan keterbukaan keluarga Ara. Meskipun ayahnya tidak mau hadir, namun suasana ini bisa menjadi pelipur lara hatinya. Bahagia selalu bisa disederhanakan. Tidak perlu banyak kalkulasi dan validasi.
Saka merasa mendapat keluarga baru.
"Hei...are you okay?" tanya Ara yang melihat Saka melamun.
"Ya, i'm okay. I just...feel...touched, and happy."
Ara tersenyum sambil mengelus punggung Saka. Ara mulai punya kebiasaan baru tiap kali dekat dengan Saka. Mengusap punggung Saka sebagai penghiburan, sebagai tanda bahwa semua akan baik-baik saja, sebagai tanda bahwa di samping Saka ada Ara. Saka tidak sendirian.
"Terima kasih, Ara."
"Terima kasih, Mas Saka."
"Sekarang sudah boleh panggil Sayang?" tanya Saka malu-malu.
"Umm...Sayang terlalu umum ya. Gimana kalau cari kata lain?"
"Apa?"
"Hayooo...bisik-bisik ngomongin apaa?" Tari iseng menguping.
"Anak kecil yang punya anak kecil, tolong minggir dulu ya, ini obrolan orang dewasa." kata Ara sambil menowel pinggang Tari.
"Halah...bagi-bagi rahasia dong, Mbak. Kali' aja ternyata Mas Saka ni suka ngiler kalau tidur."
"Gimana aku tahu kalau tidur bareng aja belum pernah."
"Bentar lagi dipernahkan lah." kata Tari sambil lirik-lirik Saka.
"Hush!!"
"Kita memang pernah tidur bareng, tapi nggak satu kasur..."
Ara buru-buru menutup mulut Saka dengan telunjuknya sambil memberi isyarat 'cut' di leher.
"Ha ha..." Ara memandang Tari yang kini wajahnya sudah mirip dengan mbak-mbak presenter gosip.
"Mama...!"
"Tariiiii....!!!"
...* * * * *...
Ara memandang sekeliling dari jendela mobil. Kiri kanan jalan itu ditumbuhi pohon pinus yang sama dengan jalan menuju bekas rumah Kakeknya.
Ara tersenyum geli ketika melihat jalan setapak menuju rumah pohonnya dia lewati dari pinggir jalan besar. Ara tidak menyangka Saka punya rumah lain di bukit yang jauh dari keramaian begini.
"Kamu suka pemandangannya?" tanya Saka.
"Ya. Suka sekali."
Mobil mereka berhenti di rumah bercat putih bergaya Eropa modern dipadu dengan sentuhan Jawa klasik. Atapnya tinggi dengan jendela-jendela memanjang. Di sekelilingnya ditumbuhi rumput hijau dan jalan setapak dari batu pipih. Beberapa bunga dengan daun panjang turut hadir menghiasi.
"Wow...cantik sekali."
"Tadinya ini akan jadi rumah liburan kalau aku berkeluarga nanti."
Jantung Ara berdesir mendengar keluarga disebut Saka. Itu artinya...mereka dan anak-anak mereka? Duh, membayangkan saja bikin hidung kembang kempis. Saka bahkan sudah membuat ayunan di tengah-tengah halaman rumput.
Ara berjalan mendekati ayunan. Dia duduk di salah satu papannya. Ara paling suka ayunan, di lapangan komplek rumahnya juga dari kecil sampai besar pun dia paling suka main ayunan.
Sejenak Ara teringat Mahesa.
Saka duduk di papan ayunan sebelah Ara sambil berayun sedikit.
"Kamu suka ayunan?"
Ara mengangguk.
"Syukurlah. Nggak salah aku taruh benda ini di sini."
Ara tertawa kecil.
"Nggak ada yang salah dengan benda-benda di masa kecil kita. Mainan, permainan, teman-teman, kasih sayang orangtua. Semuanya terasa menyenangkan."
Saka tertegun dengan kilas balik Ara. Ara memiliki kehidupan yang bahagia, tidak seperti dirinya. Kepala Saka berdenyut nyeri ketika mengingat masa lalunya yang kelam.
"Apa sakit lagi, Mas?" tanya Ara cemas.
"Sedikit. Tidak apa-apa. Aku hanya...teringat masa lalu. Memori-memori itu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Perjuangan untuk menapaki kehidupan masa kini bagiku...tidak mudah, Ara."
"I know...dan kamu bisa ceritakan semuanya padaku mulai sekarang. Semoga kamu tidak terbebani lagi."
Saka tersenyum memandang Ara yang penuh ketulusan. "Aku bersyukur kamu mau bersamaku."
"Kita masuk ke dalam?"
"Baiklah."
Ruang utama rumah ini luas berbentuk T. Kursi-kursi dan meja kayu diletakkan di sisi kiri dan kanan, sedangkan di bagian tengah digelari karpet bulu. Atap yang tinggi membuat ruang utama ini terkesan lega.
Tangga menuju ke lantai dua ada di sebelah kiri sedangkan dapur dan ruang makan di sebelah kanan. Ara merasa rumah ini benar-benar memiliki vibe positif dan bikin betah.
Ara duduk di hamparan karpet bulu melihat televisi besar di atas meja kabinet. Rumah bergaya klasik ini mengingatkannya pada rumah Kakeknya. Kenapa bisa mirip gini, sih?
Saka merasa nyeri di dadanya kembali muncul seiring dengan intensitas pertemuannya dengan Ara.
"Duduk sini, Mas." Ara menepuk karpet bulu di hadapannya.
Saka bersila menghadap Ara sambil mengatur nafas. Ara menggenggam tangan kiri Saka dengan tangan kanannya.
"Kamu bisa mulai sekarang."