Kinan hanyalah gadis biasa, dirinya mengadu nasib pergi ke kota bersama temannya setelah mendapatkan informasi kalau ada yang membutuhkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga, demi kebutuhan dan juga ingin mengurangi beban keluarga Kinan akhirnya pergi ke kota jakarta, Di sana Kinan harus berhadapan dengan Daniel pria tampan yang bahkan tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya. Mampukah Kinan bertahan di jakarta atau memilih pulang dan melanjutkan sekolah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon II, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memilih Artinya Menambah Beban
Kinan tertatih masuk kedalam rumah di sambut dengan riuhnya keluarga dan suara bising, Kinan seperti tak terlihat, mereka acuh dan memang sibuk dengan urusan masing-masing
Kinan celingukan mencari sosok Daniel yang tidak terlihat di peluk mata. Kenapa terasa asing dan canggung. Beberapa mata anak muda seumuran dengan nya sangat mengintimidasi. Keponakan Daniel saling berbisik sesekali tertawa sembari menatapnya. Apakah ada yang aneh dengan dirinya? Kinan enggan bertanya ia memilih mendekati tangga dan naik untuk ke kamar, Dalam langkahnya Kinan menangis merasa sendirian tidak adanya Daniel membuatnya rapuh.
"Kamu di mana A?" Ucap Kinan di tengah tangisannya. Kebetulan sekali bibi pengurus rumah menuruni tangga Kinan segera menyeka pipinya.
"Bibi?" Panggil Kinan.
"Iya Neng?"
"Liat A Daniel ga?" Tanya Kinan, matanya kembali berkaca-kaca.
"Tadi bibi liat Den Daniel ke kamar Bu Tari."
"Terimakasih." Segera Kinan menaiki tangga menuju kamar sang ibu mertua mengabaikan rasa sakit di perutnya.
Kinan mengetuk pintu kamar.
"A." Panggil Kinan sembari membuka pegangan pintu.
Sayup-sayup terdengar suara tangisan..Kinan mengenal suara itu. "A,"
Daniel yang tengah duduk di sisi ranjang sembari memeluk satu bingkai foto menoleh.
"Kinan, Aa minta maaf tadi-
"Ga papa A, Kinan ngerti kok." Kinan segera duduk di samping Daniel. Mengusap tangan sang suami tanpa kata, Kinan hanya diam mendengarkan Daniel menangis tanpa ingin mencegah..
"Berat rasanya, sulit untuk aku bisa tegar, keluarga ku ada di rumah ini tapi aku merasa sendirian."
Celotehan Daniel hanya di jawab anggukan kecil dari Kinan, Dirinya tidak mengatakan satu kata pun. Sulit untuk bisa menenangkan Daniel. yang Kinan lakukan hanya membiarkan Daniel menangis sampai dirinya lelah sendiri.
"Jika dengan menangis membuat Aa lega, Neng di sini temenin."
Ya Allah beri A Daniel kekuatan, jangan jadikan dia lemah, jadikan dia kuat ya Allah.
Kinan hanya mampu berkata dalam hati, Terus menunggu sampai Daniel mulai tenang.
Malam harinya tahlilan ke dua di gelar, Danial dan Kinan duduk berjauhan terpisah antara laki-laki dan perempuan keduanya begitu khusu melantunkan ayat suci Al-Quran. Di akhiri dengan doa dari pak ustadz untuk mendiang Pak Teo juga kesembuhan bu Tari dan keluarga bunda Tata terkhusus doa untuk keluarga yang di tinggalkan. Daniel tak bisa menahan rasa duka, diam-diam dirinya menangis karena begitu berat memikul beban.
.
Hari demi hari berlalu...
Kondisi pak Arman dan Bu Tari masih sama. belum ada perubahan yang signifikan. Sesekali memberi respon hanya beberapa gerakan kecil tapi Daniel merasa seneng.
Bunda Tata dan kedua putrinya juga mulai sadar, kondisi mereka berangsur membaik, mereka terus di latih untuk memulihkan tulang-tulang mereka untuk bisa kembali normal. Tamara yang mana rahangnya terkena benturan juga mulai mendapatkan terapi, di lihat dari kondisi rahangnya yang dari awal tidak terlalu serius membuatnya tidak harus masuk ruang operasi.
Bunda Tata terpukul ketika mendapat kabar kepergian Kakak iparnya untuk selamanya, Lebih terpukul lagi mendengar sang suami dan kakak tercinta koma dan sampai dirinya membuka mata kedua orang yang di cintainya masih belum sadarkan diri. Daniel memberi kekuatan berharap tantenya itu bisa tabah..
"Pikiran Dea dan Tamara Tante," Ucap Daniel kala itu.
Terhitung 7 hari ketiganya baru mulai membaik.
Tante Vera baru saja keluar kamar yang ada di lantai bawah rumah, celingukan mencari Kinan yang mana masih berada di kamar. Sudah 7 hari kepergian pak Teo, rumah kembali sepi. Keluarga yang lain satu persatu pulang karena harus beraktivitas seperti biasa. Daniel senantiasa bergantian dengan Tante Vera di rumah sakit. Sedangkan Kinan di minta Daniel untuk di rumah saja apalagi dirinya tau kalau Kinan selalu mengeluh sakit perut. Daniel meminta Kinan memeriksakan kandungannya tapi selalu menolak dengan alasan mungkin ibu hamil seperti itu bersalah di trimester pertama.
"Bi?" Tante Vera memanggil asisten rumah tangga yang ada di area meja makan..
"Saya Bu." wanita paruh baya menghadap. Berdiri sopan di hadapan Tante Vera yang mana tengah menggeser kursi.
"Tolong panggilkan Kinan, ini sudah waktunya sarapan."
"Baik Bu," Segera si bibi menaiki tangga, mengetuk pintu kamar setelah sampai di daun pintu.
Tuk...tuk.... "Neng Kinan, Di panggil Bu Vera."
Kinan yang tengah sibuk meringkuk di kasur terperanjat. Dirinya merintih sakit di area perut, semakin hari rasa sakitnya semakin menyiksa saja. Dengan terpaksa berjalan untuk membuka pintu karena ketukan tak kunjung berhenti.
Pintu Kinan buka.
"Bu Vera minta Neng Kinan sarapan." pesan si bibi sopan. Tapi dirinya sedikit khawatir melihat bagaimana Kinan seperti orang yang kesakitan. Wajahnya pucat dengan mata sayu.
"Saya akan turun sebentar lagi,"
"Neng Kinan ga papa?"
Kinan menggelengkan kepala. "Saya ga papa bi, cuma sedikit mual aja."
Tante Vera melirik ke arah tangga, Terheran karena hanya bibi yang terlihat. "Kinan mana?"
"Katanya sebentar lagi Bu,"
"Ya sudah," Tante Vera bersandar malas masih menunggu Kinan, beberapa menit kemudian Kinan menuruni tangga. Tante Vera menoleh.
"Sarapan dulu bareng Tante." Kata Tante Vera setelah Kinan datang.
Kinan mengangguk patuh lalu duduk saling berhadapan dengan Tante Vera.
Keduanya mulai sarapan berdua saja, Daniel berada di rumah sakit bersama keluarga dari Pak Arman. Setelah sarapan giliran Tante Vera yang akan menggantikan Daniel.
"Kinan, ini sudah satu Minggu kepergian adik saya Teo, Perusahaan tengah menunggu Daniel untuk mengantikan posisi ayahnya, bantu Daniel dan doakan dia agar dia bisa membawa perusahaan lebih maju lagi."
Mendengar itu Kinan menatap bingung Tante Vera tapi tidak mau bertanya tentang pekerjaan Daniel di perusahaan itu. Kepalanya hanya mengangguk setuju.
"Setelah ini Tante akan ke rumah sakit. Kamu hati-hati di rumah."
"Kinan boleh ikut Tante?" Kinan terlihat berharap apalagi sakit di perutnya mulai membaik, sebenarnya sakit di perutnya itu terus berulang, seperti orang akan melahirkan hanya saja Kinan tidak tau dan beranggapan bukan hal yang perlu di khawatirkan. Terlebih tidak ingin merepotkan Daniel, Bukan waktu yang tepat untuk mengeluh dan manja. Beban di pundak sang suami jelas lebih berat dan Kinan tidak mau menambah beban.
Untuk kesekian kalinya kepala Tante Vera menggeleng. "Daniel akan marah kalau kamu ke rumah sakit,"
Kinan menjadi murung, tak semangat lagi memasukkan nasi kedalam mulut, Tante Vera tidak menggubris dirinya membiarkan Kinan merajuk bahkan sampai sarapan mereka selesai Kinan masih tidak di beri izin ikut.
"Bibi, Sarapan Daniel cepat bawa ke sini saya mau pergi."
Kinan mengantarkan Tante Vera sampai halaman rumah, Melambaikan tangan membalas sang Tante sampai mobil meninggalkan rumah.
Kinan menghela napas berat. Menatap malas halaman rumah yang luas.
"Selalu seperti ini, aku juga pengen liat bunda."
.
Daniel baru saja keluar ruang perawatan Bunda Tata dan ketiga putrinya. Terlihat wajahnya berseri karena sang Tante dan kedua ponakannya di perbolehkan pulang. Ada rasa lega karena Kinan tidak akan kesepian lagi.
Dret.... dret......Ponsel yang ada di saku celana bergetar. Daniel segera merogoh, mengambil ponsel dan menatapnya..
"Sarah." Daniel segera mengangkat panggilan itu.
"Hai," Sapa Daniel sembari meninggalkan ruang perawatan untuk kembali ke ruang ICU.
"Aku mau bawain kamu sarapan boleh?"
"Akan ada Tante ku sebentar lagi, Kalau kamu mau ke sini sore saja, tunggu Tante ku pulang."
"Ok, Sore aku ke situ, mau di bawain apa?"
"Ga usah,l aku ga mau apa-apa."
Daniel terus mengobrol dengan Sarah melepas rindu karena satu Minggu ini mereka belum bertemu. Terkahir bertemu ketika di RSUD, keberadaan Tante Vera membuat nyali Sarah menciut. Kakak dari ayah Daniel itu sangat menakutkan dan tegas. Sarah akan bermain aman untuk sementara sampai kondisi membaik setelah itu baru mendesak Daniel supaya memberinya kejelasan.
Di tengah-tengah obrolan. Daniel mengerutkan kening manakala ada seseorang yang menunggunya di ruang masuk ICU.
"Sar, aku harus pergi, nanti aku telepon lagi."
Daniel berlari kecil sembari memasukkan ponselnya.
"Pak Han." Daniel menyapa laki-laki seumuran ayahnya, terlihat rapih dan bersih. Jas yang melekat di tubuhnya membuat Daniel sopan.
"Daniel," Sapa balik laki-laki itu. menerima jabat tangan dari Daniel.
"Ada apa Pak?" Tanya Daniel penasaran, Pasalnya laki-laki yang dirinya kenal sebagai direktur utama di perusahaan sang ayah datang mengejutkan dirinya.
"Mari silahkan duduk." Daniel mengajak Pak Han untuk duduk, tidak sopan jika berbicara dengan cara berdiri.
"Perusahaan membutuhkan anda, Saya sudah meminta izin Sekertaris alm. Pak Teo untuk menemui anda. Maaf jika sekertaris Pak Teo tidak memberi tau anda sebelumnya. Karena saya yang meminta, saya ingin langsung menemui anda."
Daniel mematung sesaat, kebingungan harus memberi jawaban apa, Dirinya tidak berminat untuk memegang perusahaan milik sang ayah apalagi menggantikan peran mendiang ayahnya di sana. Daniel mempunyai kehidupan sendiri dan cukup bahagia dengan restoran yang di kelolanya. Apalagi satu restorannya tengah tahap penyelesaian.
"Saya tidak berminat pak, Banyak orang kepercayaan ayah saya di perusahaan itu dan bisa menggantikan posisi beliau tapi maaf itu bukan saya."
Pak Han tersenyum alih-alih murung setelah Daniel menolak permintaannya.
"Hanya anda yang bisa memegang perusahaan itu tidak orang lain, Pak Teo selalu mengatakan kalau penerus perusahaan adalah anda. Pikiran lagi Daniel."
Daniel menatap kosong kepergian Pak Han, laki-laki yang sudah menambahkan beban dalam pundaknya.
"Ayah, Daniel tidak bisa, bukan di situ kehidupan Daniel yah bukan," Daniel meracau seorang diri, merenung tentang ucapan Pak Han yang begitu menyulitkan dirinya.
Di lain tempat, Kinan berdiam diri di dalam kamar menunggu Daniel pulang. Biasanya di jam 10 pagi Daniel sudah sampai rumah. Tak ada kegiatan yang berarti, Kinan tidak bekerja membersihkan rumah karena sudah ada yang mengerjakan, menyiram tanaman pun sudah ada tukang kebun. Menjadi nyonya muda membuatnya kesepian dan sering Merasa bosan tidak adanya Daniel menambah kesunyian di dalam hidupnya. Rasanya sesak jika harus mengingat itu. Ketika dalam kesedihan Kinan mengingat sang sahabat yang sudah pergi, Kinan segera bangkit mencari kesibukan. Menatap balkon kamar tak ada yang menarik, lantas duduk di sofa memainkan ponsel. Jenuh rasanya.
"Ya Allah, Bosan sekali." Kinan setengah berteriak.
Tok....tok....
"Aa?" Secepat kilat Kinan berlari membuka pintu.
"A- Senyum itu pudar. Ketika yang berdiri bukan Daniel melainkan bibi pelayan.
"Kenapa Bi?" Tanya Kinan. Berdiri di ambang pintu dengan lemas.
"Itu Neng, ada tamu, katanya teman Den Daniel,"
"Siapa?" Kinan bertanya tapi bibi pelayan hanya menggelengkan kepala.
"Ya udah hayu ke bawah." Kinan berjalan bersama bibi pelayan menuruni tangga. Terheran menatap sosok pria muda seumuran suaminya duduk di ruang keluarga.
"Siapa itu Bi?" Kinan berbisik yang mana bibi pelayan hanya menggelengkan kepalanya lagi.
Maafkan saya neng Kinan, saya di minta untuk tidak mengatakan apapun, Saya takut kalau Den Daren menyakiti saya.
Ternyata laki-laki yang tengah duduk manis di sofa itu adalah Daren, melihat Kinan menuruni tangga matanya yang tajam melirik, menyunggingkan senyuman hangat.
"Kinan." Sapa Daren, beranjak berdiri untuk menyambut Kinan.
"Maaf anda siapa?"