Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31
Afi tersenyum menatap bagaimana Arsya memeluk bantal guling dalam tidurnya. Tadi setelah mandi, Afi keluar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Ketika dia hendak mengecek suaminya, Afi justru menemukannya yang rupanya juga sudah mandi, namun kembali berbaring di atas tempat tidur.
Melihat kondisi Arsya yang tidur dengan rambut basah, wanita itu bergegas mengambil handuk kecil di lemari kamar mandi.
Langkahnya langsung tertuju ke arah ranjang setelah keluar dari kamar kecil dan duduk di tepian ranjang tepat di samping Arsya.
"Padahal baru kemarin pak Arsya mengingatkanku buat nggak tidur dengan rambut basah" Lirih Afi, seraya mencoba mengeringkan rambut suaminya.
Setelah beberapa saat, pria itu bergerak pelan, seolah tahu kalau sang istri sedang mengeringkan rambutnya yang setengah basah. Arsya yang semula memeluk bantal guling dan memunggungi Afi, berbalik lalu mendaratkan kepalanya di atas pangkuan Afi, sementara tangannya melingkari pinggang istrinya.
Afi tersenyum, dan mengeringkan sisi kepalanya yang lain.
"Sekali lagi panggil pak, aku nggak segan-segan buat nidurin kamu lagi"
Kembali wanita itu tersenyum sambil mengusap handuk di rambut sang suami dengan tatapan fokus ke wajah. Aura teduh, berwibawa, serta kedewasaannya yang selama ini melekat di wajahnya seakan kian bersinar. Dari ekspresinya saat ini, Afi justru seperti melihat anak kecil yang sedang bermanja-manja pada ibunya.
"Sudah" Kata Afi sedikit menundukkan kepala dan mendekatkan bibirnya di telinga Arsya. "Aku mau lanjut masak, mas bisa siap-siap dulu buat ke kantor" Lanjutnya yang kemudian membuat Afi terkejut sebab Arsya malah mengeratkan lingkaran tangannya di pinggan Afi.
Keterkejutannya kini berganti dengan sunyum kecil, satu tangannya yang tak memegang handuk, mengusap lengan Arsya bagian atas.
"Nanti nenek keburu bangun, mas. Kasihan kalau bangun, tapi sarapan belum siap. Beliau harus sarapan tepat waktu"
Menghembuskan napas panjang, Arsya lantas berbalik memunggungi Afi dan kembali memeluk bantal guling.
Sementara senyum Afi tak kunjung surut sampai dia pergi ke dapur untuk menyelesaikan masakan.
Senyumnya justru melebar ketika samar mendengar interaksi Arsya dengan neneknya yang melangkah ke ruang makan sembari mengobrol.
Mungkin ada hal yang lucu, sebab keduanya tampak tertawa renyah seakan tanpa beban.
"Maaf ya nak, nenek tadi sedikit sembelit, jadi nggak bantuin kamu masak" Ucap Indah sambil menarik kursi makan dan duduk.
"Nggak apa-apa, nek. Justru aku senang kalau nenek nggak bantu masak. Sekarang gimana, sudah nggak apa-apa kan?"
"Sudah baik-baik saja, kok. Kata dokter, usia senja seperti nenek memang sering begini"
"Banyak-banyak makan makanan yang berserat ya nek. Dulu kata dosenku, semakin tua, semakin perbanyak makan buah. Itu bagus buat kesehatan"
"Ternyata istrinya Arsya nggak cuma pintar masak, pintar urus rumah, tapi juga berpengalaman. Kuliah di apa dulu, nak?" Tanya nenek meraih sendok makan.
"Matematika, nek"
"Wow pintar hitung-hitungan, dong. Pintar ngatur uang juga sepertinya"
"Nggak juga, nek. Boros kalau sudah pegang uang"
"Nggak usah menjelek-jelekkan diri sendiri, sayang. Uang bulanan dariku malah belum kamu pakai. Iya kan?" Serobot Arsya yang sudah sedari tadi duduk di kursi makan.
Mendengar kalimat Arsya, Afi tersenyum kikuk.
Memang baru satu kali Arsya mengirim nafkah bulanan untuk Afi ke rekeningnya. Dan Afi sama sekali belum menggunakannya.
"Nenek banyakin olahraga sama istirahat, ya! Nggak usah bantu-bantu masak, atau ngerjain apapun"
"Tapi kan nenek juga harus gerak"
"Ya geraknya cukup dengan olahraga saja" Timpal Afi, dia mengisi piringnya sendiri setelah tadi selesai mengisi piring suaminya dengan nasi dan berbagai lauk buatannya.
"Kamu sama seperti mamahnya Arsya, bawel kalau nenek lagi kerjain sesuatu atau bantuin bik Nunung masak. Cerewet banget, nggak usah bantuin lah, jangan terlalu capek lah, and bla bla bla bla"
"Tapi kan memang benar, nek. Nggak cuma di rumah nenek. Kalau menginap di sini, setidaknya juga ada orang cerewet kayak mamah" Sindir Arsya, yang ia tujukan untuk Afi.
"Iya, nenek senang jadinya. Di perhatikan sama dua menantu nenek"
"Oh, ya.. Papa mamahmu sudah sampai di Sidney, kan?" Imbuh Nenek menatap Arsya yang sedang mengunyah makanan.
"Sudah nek, kemarin pagi"
"Syukurlah, selamat sampai tujuan"
Sampai menit berlalu, mereka pun sudah selesai sarapan.
Arsya ke kantor, nenek duduk di teras rumah, sementara Afi membereskan peralatan masak sekaligus membersihkan dapur yang sedikit kotor setelah memasak.
Tepat pukul 09:30, dering telfon rumah menggema, karena Afi sedang sibuk membereskan kamar, jadi Indah lah yang mengangkat.
Dia menggelengkan kepala begitu mendengar suara menantunya yang mengira kalau Afi yang mengangkat telfonnya.
"Ini mamah, Prill"
"Oh, mamah, ku kira pembantu itu"
"Dia punya nama, sayang"
"Dan aku nggak mau menyebut namanya, mah"
Indah menarik napas panjang. Paham betul dengan watak sang menantu yang kadang kelewat keterlaluan. Sebagian dari pikirannya mendadak berprasangka yang tidak-tidak.
"Kalian gimana, sudah sampai di Sidney, kan?"
"Sudah sejak kemarin, mah"
"Lagi ngapain sekarang?"
"Baru saja selesai makan siang"
"Sudah siang di sana?"
"Sudah setengah satu siang mah. Kan selisih tiga jam dari Jakarta"
"Hmm.."
"Dimana pembantu itu, kenapa malah mamah yang angkat?"
"Dia punya nama, Prillya"
"Bisa tolong panggilkan, mah. Aku ingin bicara dengannya" Pinta Prilly, mengabaikan perkataan ibu mertuanya.
"Tunggu sebentar, ya. Dia lagi beres-beres kamar Arsya"
"Hati-hati naik tangganya, mah"
"Iya" Indah meletakkan gagang telfon di atas meja, lalu berjalan menuju kamar Arsya.
Setelah dia memanggilnya, Afi buru-buru mengangkat telfon rumah yang ada di kamarnya.
Suara Prilly, langsung membuat jantungnya seketika berdebam.
"Kenapa membiarkan neneknya Arsya menaiki tangga?" Omel Prilly.
"Maaf, bu. Saya sedang membereskan kamar pak Arsya" Hati-hati Afi mengatakan itu.
"Aku nggak mau tahu alasan kamu, jika kamu tidak menjaga ibu mertuaku dengan baik, kamu akan ku penjarakan"
Afi hanya diam. Kemudian Prilly kembali bersuara.
"Kamu jangan macam-macam di rumah anak saya, ya. Sekali kamu semena-mena, aku tidak hanya memecatmu, aku bahkan sangat mampu mengirimmu ke hutan"
"Apa salah saya, bu. Kenapa bu Prilly begitu membenci saya?" Tanya Afi di tengah rasa takutnya.
Salahmu, karena kamu berani menikahi anakku satu-satunya.
Tentu saja Prilly hanya mampu mengatakan itu di dalam hatinya.
Tunggu, Afifah! Aku pasti bisa menyingkirkanmu dari hidup Arsya.
Prilly yang tak bisa melakukan apapun saat ini, hanya bisa menunggu dan berpura-pura bahwa dirinya belum mengetahui rahasia anak serta menantunya. Dia juga harus bisa menahan diri sesuai nasehat Silvia.
Wanita yang di percaya menjadi pendamping hidup dan bisa membuat putranya bahagia.
Bersambung
semoga end nya nanti sudah baikan semua 😊