Menyukai seseorang adalah hal yang pribadi. Zea yang berumur 18 jatuh cinta pada Saga, seorang tentara yang tampan.
Terlepas dari perbedaan usia di antara keduanya, Zea adalah gadis yang paling berani dalam mengejar cinta, dia berharap usahanya dibalas.
Namun urusan cinta bukanlah bisa diputuskan personal. Saat Zea menyadari dia tidak dapat meluluhkan hati Saga, dia sudah bersiap untuk mengakhiri perasaan yang tak terbalaskan ini, namun Saga baru menyadari dirinya sudah lama jatuh cinta pada Zea.
Apakah sekarang terlambat untuk mengatakan "iya" ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANUVER CINTA~PART 32
Setiap alat komunikasi milik penumpang, mereka kumpulkan dalam satu trash bag, termasuk milik Clemira, sebagai bentuk pengasingan.
"Masukan nona!" perintahnya bernada tegas membukakan bibir plastik selebar bibir dower, netra kelam itu menatap Clemira yang melemparkan tatapan tak suka padanya, "lo bakalan nyesel, bang sat," Clemira berani angkat bicara begitu kasarnya saking kesal.
Pria itu tersenyum lebar, seakan kalimat sekasar itu adalah pujian untuknya, dua belahan bibir tebal nan hitamnya menyeringai menampilkan deretan gigi kekuningan yang menjijikan, "hey nona cantik. Mulutmu sama pedasnya dengan anak menteri itu, akan sa sisakan kamu dan si anak menteri itu di terakhir. Cepat masukan!" teriaknya membentak Clemira.
Abi, tolongin Cle... Clemira menthesah pasrah, semua do'a ia panjatkan. Clemira begitu berharap disaat begini, ia melihat wajah sang abi yang datang menyelamatkannya bersama om-om lorengnya yang lain.
Ingin rasanya ia menangis meraung-raung sampe bikin dewa Zeus ngamuk di atas sana saking berisiknya dan lemparin petir ke arah para pembajak ini biar kulitnya makin gosong mirip kena azab. Tangannya memanjang memasukan ponsel yang telah mati daya ke dalam plastik hitam itu bersama ponsel penumpang lain.
"Dan tak ada yang boleh menyembunyikan alat komunikasi apapun, kami tidak segan untuk menembak mati di tempat!" teriaknya mampu memantik riuh rendah ketakutan para penumpang pesawat.
Doorrr!
Mereka tergelonjak kaget ketika terdengar suara tembakan dari ruangan pilot.
"Aaaa!" seruan terkejut para penumpang ketika tubuh mereka tiba-tiba oleng.
"Astagfirullah---astagfirullah, ya Allah lindungi hamba ya Allah," Iyang sudah berpegangan kuat pada lengan kursi sambil komat-kamit melafalkan semua do'a yang ia hafal termasuk do'a mandi jun ub, padahal ia belum pernah merasakan seperti apa yang namanya melakukan hal yang iya-iya ataupun najis besar.
Iyang memegang dadhanya keras takut jantungnya ikut copot karena pesawat yang tiba-tiba berguncang dan bergerak seperti sedang bermanuver, entah menurunkan ketinggian secara drastis, yang jelas cukup membuat jantung minta pensiun dini berdegup.
Tak ada yang bisa Zea lakukan selain dari menunggu bantuan, tak mungkin kan ia lompat dari atas sini, auto langsung terbang sama roh-rohnya ke alam barzah. Cacing yang masih sekolah tk aja tau, kalo lompat dari ketinggian ribuan meter begini auto pindah dunia.
Yang ia lakukan hanya memperhatikan situasi yang semakin membuatnya frustasi, anak-anak mulai cranky, keresahan dan tangisan sudah membuat pesawat dirundung kepasrahan. Apakah ini adalah hari terakhirnya bernafas di bumi?
"Tod! Coba periksa ada apa disana!" titah Ajay.
"Siap!"
Si kucir yang dipanggil Ajay itu memerintah namun langkahnya justru berjalan menghampiri Zea dan duduk tepat di bangku samping Zea, sementara netra bulat Zea mengikuti pergerakannya dengan waspada.
"Hey nona, kamu haus kah?" tanyanya, ia membukakan selotip di mulut Zea yang sontak membuat gadis itu meringis karena lem yang menempel di kulitnya dipaksa tercopot, terasa seperti kulitnya ingin ikut terkelupas.
Disodorkannya sebotol minuman ke arah Zea, namun bukan air mineral yang ia tawarkan melainkan tuak dengan aroma menyengat bikin Zea mengernyit dan terbatuk, ia tertawa seolah itu lelucon paling lucu saat ini, "apakah anak menteri tidak pernah merasakan minuman enak ini, nona? Ataukah minuman ini terlalu haram untuk disentuh?!" ia terus mengolok-olok Zea membuat Zea muak.
Tanpa diduga, ia menekan tengkuk Zea yang memilih diam seribu bahasa meski menunjukan sikap berontak, lalu memajukan botol tuak di depan wajah Zea, "lepasin breng sek!"
Ia tertawa tergelak, "ini! Ini adalah minuman ter'enak yang bisa kami beli, apakah keluarga kaya mu pernah membeli minuman ini? Ataukah minuman ini terlalu murah bagi kalangan kalian? HAH??!!! JAWABBB bang sat!" teriaknya pada Zea, sampai Zea sedikit memundurkan wajahnya.
"Kamu tau, nona! Dengan so pahlawannya bapakmu itu menjadi garda terdepan kasus sepele yang sebenarnya banyak terjadi, bukan hanya Asri saja yang mengalami hal itu! Masih banyak Asri-Asri lain sebelumnya yang kasusnya hilang tergerus waktu."
"Dan asal kamu tau! Orang-orang macam Asri, mereka sendiri yang datang pada kami, untuk mengubah nasib! Apalah arti satu nyawa yang melayang, jikalau bisa menyelamatkan nyawa lain yang kelaparan?!" bentaknya penuh amarah, mata Zea sudah berkaca-kaca dibuatnya, "ITU KARENA KALIAN TAK PERNAH TAU RASANYA KELAPARAN!" Zea sampai mengerjap ketika wajahnya diteriaki.
Semurah itukah mereka menilai nyawa seseorang, Apakah nyawa seseorang mereka anggap sampah atau nyawa tikus?
"Kau tau nona, akibat tindakan ceroboh bapak kau yang to lol luar biasa itu, perut-perut keluarga kami terancam tak makan, bapak kau yang terhormat itu tidak tau bagaimana sulitnya kami mencari seperak dua perak untuk makan. Lapangan pekerjaan yang disediakan negara hanya untuk manusia-manusia yang mampu sekolah tinggi-tinggi, untuk manusia manusia munafik yang hanya mementingkan isi dompetnya saja dan haus akan pujian orang lain, macam bapak kau!"
"Dan kami ini, terpaksa bekerja di bawah tanah. Anggap saja kami menghasilkan uang dari orang-orang bo doh. Ini hukum rimba, nona. Siapa yang lebih kuat dan pintar dia yang bertahan! Per setan itu halal atau haram, per setan apa yang kami lakukan merugikan manusia lain! Bilang pada bapakmu, jangan pernah usik urusan kami, urus saja acara ketawa ketiwi arisan kaum dewan diatas sana!"
"Itu artinya kalian baji ngan!" desis Zea, "pekerjaan yang dilakukan jelas melanggar hak-hak asasi manusia. Pekerjaan kalian mengajak orang lain untuk hancur! Kalian anggap apa nyawa orang lain, sampah?! Bagaimana jika gadis itu anakmu! Bagaimana jika gadis itu adikmu, atau bagaimana jika wanita itu ibumu!" teriak Zea.
"Bagaimana jika orang yang mengonsumsi barang haram sampai overdosis dan mati itu adalah keluargamu?! Jika wanita yang kalian jual sampai mati seperti he wan itu adalah istrimu!" tanya Zea.
PLAKKK! Kembali Zea ditampar oleh Ajay.
Ajay mendengus kesal, si alnya ia tak dapat menjawab pertanyaan dari anak bungsu menteri Rewarangga itu.
Bukan hanya Zea atau Ajay yang menegang dan panas, namun nyatanya perdebatan itu disaksikan oleh semua yang ada disana.
"Jay!" Todi memanggil Ajay, "apa?" Todi melambaikan tangannya, bukan pada kamera namun pada Ajay, pria itu beranjak dari duduknya lalu masuk ke dalam ruang kokpit, sepertinya ada hal serius yang ingin ia sampaikan.
Iyang sempat meringis ngilu melihat Zea ditampar kedua kalinya oleh pembajak berwajah sangar itu, kalo sekali lagi Zea ditampar fix besok ia tinggal nagih gelas ke kasir.
Hingga tak sadar rasa tegang dan takutnyamemancing sesuatu rasa membuncah dalam dirinya yang ingin segera dituntaskan segera.
"Hey! Bapak! Punten ih, aku mau pipis. Boleh ke we se ngga?!" Sebenarnya Iyang sudah menahan hajatnya sejak awal proses penyanderaan, namun karena takut untuk buka suara ia memilih memendamnya sampai akhirnya buka suara karena benar-benar sudah tak tahan.
Diluar dugaan Zea malah menyemburkan tawanya, sempat-sempatnya teman gemulainya itu kepengen pi pis.
Pandangan tak percaya kompak mereka lemparkan pada Zea yang tertawa setelah sempat memandang Iyang dengan geli setengah khawatir, "ups! Sorry---sorry! Lanjut Yang!" Zea mengu lum bibirnya.
Tius yang kini keluar menukikan alisnya tajam menemukan gadis itu masih bisa ketawa-tiwi kaya lagi nontonin topeng monyet, sepertinya gadis ini sama sekali tak takut malaikat Izrail mencabut nyawanya saat ini juga, rupanya.
"Kamu pikir ini di rumah?!" ujarnya bertanya dari mereka langsung sewot menodongkan senjatanya pada Iyang membuat pemuda itu semakin ketakutan, "allahuakbar! Allahuakbar, engga bapak ih!" rengeknya hampir menangis, badannya sampai bergetar hebat dan tak lama sesuatu yang hangat menjalari bagian pangkal pa ha dan rembes, "tuh kan aduhhh ini mah basah..." gumamnya pelan, namun komat-kamit mulutnya masih bisa terbaca Zea.
Sontak saja Zea semakin tertawa tergelak dan mengundang rasa tak suka dari mereka, "hey nona! Kamu anggap ini lelucon?!!" tahya satunya lagi, ia langsung menempelkan bibir senjata pada atas kening Zea hingga tawa Zea berubah jadi dengusan getir, "loh? Memangnya saya tak boleh tertawa to? Sejak awal kalian tidak melarang penumpang tertawa disini, hanya melarang kami melawan, betul?"
Ia semakin memandang Zea intens, "Cuhhh!" ia melu dah di karpet pesawat menatap Zea murka, "per setan anak menteri, kamu! Akan saya nikmati saja, dan saya umpankan pada lelaki tua yang sudah pasti akan berani bayar mahal untuk gadis seukuran kamu!" mata nakalnya melirik wajah cantik Zea seakan menelan-jangi diri Zea dari atas hingga bawah.
"Tius!! Bawa dia!" pinta Ajay keluar dari ruangan kokpit.
Dan mereka semakin membelalakan mata ketika melihat sesosok tubuh berpakaian masih lengkap dengan topi pilotnya sudah lemas bersimbah da rah di bagian dadha tembus ke punggung.
"Ya Tuhan, kapt!" seorang pramugari bahkan sampai pingsan melihat tubuh pilot itu digusur meninggalkan bercak kemerahan di karpet pesawat.
"Ya Allah! Ya Allah!" teriak mereka menjerit-jerit, ada yang menutup mata dengan tangan ada pula yang hanya mengalihkan pandangan, jika menangis itu sudah pasti.
"Ya Tuhan!"
"Hey nona! Sebaiknya jaga mulutmu itu, kalau tak mau bernasib sama dengan pilot, kami tak pernah main-main..." ucap Ajay pada Zea berpesan.
Zea benar-benar mematung di tempatnya, baru kali ini ia melihat orang mati tepat di depan mata dengan bersimbah da rah.
"Huhuhu...pengen pulang," rengek mereka menangis.
"Bejadddd..." gumam Zea dengan penglihatan yang sudah buram karena air mata.
"Jay, lihat!" Todi kembali keluar dan menarik Ajay ke dalam.
Ajay berlari masuk kembali ke dalam kokpit, "si alan! Pilot menyusahkan, bisa-bisanya ia memberikan posisi kita dengan statusnya pada militer!" dengus Ajay, sementara co pilot yang kini bertugas menggantikan tugas pilot hanya mengendarakan manual pesawat dengan hati berdebar takut, penembakan sang rekan masih terekam jelas dalam bayangan matanya.
Ajay melihat ada beberapa titik hijau yang mulai mendekati posisi pesawat mereka, "sa yakin, ini hanya pesawat yang terdeteksi, sementara yang sa tau. Militer memiliki pesawat siluman yang sulit terdeteksi radar pesawat komersil begini,"
Ajay mengambil ponselnya dan menghubungi sang bos, "lapor bos, sepertinya militer sudah bergerak..."
Tak usah khawatir, kami disini memantau. Lakukanlah tugas kalian sesuai rencana, segera lakukan komunikasi dengan mereka untuk sebuah penawaran."
Suaranya begitu berat dan dalam, entah dimana orangnya berada, hanya perintah saja yang mengiringi aksi Ajay dan kawan-kawan.
.
.
.
.