Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Tabibnya Sangat Muda
Dia mengalami cedera bahu saat latihan bersama tim.
Sudah ke tukang urut tapi belum sembuh.
Sewaktu dia pergi ke RSUD, dokter menyarankan untuk istirahat selama dua bulan jika ingin sembuh total. Pada hal Event PORDA tinggal dua minggu lagi. Pelatihnya sudah mewanti-wanti jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam seminggu lagi maka posisinya sebagai kiper akan dicabut dan digantikan oleh orang lain.
Perkara inilah yang membuat hatinya gundah gulana.
Pada hal ini adalah kesempatannya untuk membuktikan sesuatu kepada mantan pacarnya bahwa dia adalah pria yang berguna dan berjasa kepada Kabupaten tercinta ini.
Bahwa Lisa, mantan pacarnya itu akan menyesal karena memilih meninggalkannya demi pria lain.
Sungguh molek ambisi Rahmat. Tapi harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Cedera bahunya belum juga sembuh, bahkan akhir-akhir ini terasa nyeri sepanjang waktu. hal ini tentu akan mengurangi peformanya di lapangan nanti.
PORDA ini bukan hanya sekadar latihan biasa tapi pertandingan yang mempertaruhkan nama baik kabupaten.
Pelatihnya tak mau menanggung resiko sebesar itu. Walaupun Rahmat adalah kiper terbaik kabupaten, jika keadaannya tidak membaik maka satu-satunya jalan, kipernya harus diganti dengan kiper cadangan. Walaupun tidak sebaik Rahmat, tapi tetap saja ada perbedaan yang besar antara orang yang sehat dengan orang yang sakit ketika menjaga gawang.
Rahmat tambah murung. Apakah langit tak ingin memberi dia kesempatan untuk berbuat yang terbaik demi kabupaten ini?
Apakah benar demi kabupaten? Bukan karena Lisa?
Rahmat tercenung, mencoba memverifikasi niatnya yang sebenarnya.
Dikejauhan seorang gadis cantik berjilbab cream muda berjalan mendekatinya. Wajahnya nampak berseri-seri, sangat kontras dengan wajah murung Rahmat.
"Mat!" Sapanya sambil duduk di samping Rahmat. Dia adalah Ririe kakak kandung Rahmat. Orangnya supel dan baik hati. Saat ini dia kuliah di STAIN semester satu.
"Hmm."
"Kamu sarapan belum?"
Rahmat menggeleng kepalanya.
"Kamu ini ditanya diam saja seperti tak punya mulut saja." Ririe pura-pura gusar.
"Sebenarnya kamu ingin sembuh tak, Mat?"
Rahmat tak menggubrisnya. Pandangannya jauh menatap dedaunan kelapa nun di sana.
"Tadi waktu kakak beli sarapan kakak ketemu seseorang." Rahmat masih bergeming. Tak peduli!
"Kamu pasti tak menyangka siapa orangnya." Ririe tetap bercerita meskipun Rahmat tak meresponnya.
"Dia menanyakan kabar kamu jadi kakak jawab apa adanya." Daun telinga Rahmat berkedut sedikit. Ternyata dia mendengarnya. Melihat hal itu Ririe tersenyum.
"Dia berpesan, segala sesuatu itu sudah ditentukan di atas sana. Jadi tak perlu kita memaksakan diri jika kita tak mampu." Mata Rahmat bercahaya, Dia menatap kakaknya. Ada sedikit emosi di sana. Rahmat sudah dapat meraba siapa orang yang ditemui kakaknya. Tapi Ririe tak peduli, dia masih melanjutkan ceritanya.
"Oh ya dia titip salam sama kamu. Tak lama lagi dia akan berangkat ke Pekanbaru menemani pacarnya yang atlet renang itu."
Rahmat mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu. Itu pasti Lisa!
Lisa memang tahu terhadap musibah yang dialaminya dan sengaja memanas-manasi hatinya. Rahmat tak bisa menerima itu.
Melihat emosi adiknya yang sedikit bergejolak, bukannya menenangkan, Ririe malah berkata, "Makanya jadi orang itu jangan patah semangat! Baru lah cedera bahu langsung tak selera makan, termenung sana termenung sini seperti orang tak mau hidup lagi." Rahmat mendongakkan kepalanya. Ada benar juga apa yang dikatakan oleh kakaknya. Sejak mengetahui bahwa dia baru bisa sembuh total setelah dua bulan lamanya yang artinya tak ada harapan untuk ikut POPDA, dia mulai pesimis. Tak ada semangat untuk menjalani hidup.
Di hatinya memang risau akan cederanya. Hanya itu. Cuma sekedar risau dan bimbang saja.
"Lihatlah apa tanggapan orang lain terhadap sikapmu yang kekanakkan itu? Bukannya bersimpati, mereka malah menghina dan mencemoohmu!" Kata-kata Ririe semakin pedas. Tapi ternyata berhasil menggugah hati Rahmat yang tertidur.
"Sekarang kamu pergi sarapan, setelah itu langsung mandi. Kakak sudah mengundang tabib supaya datang ke sini untuk mengobatimu."
"Tapi, Kak, kata tukang urut..." Rahmat berbicara untuk pertama kalinya.
"Tak ada tapi, tapi...!" potong Ririe, "Ini bukan tukang urut biasa, ini adalah tabib yang mampu menyembuhkan penyakit ayah teman kakak yang menderita sakit menahun. Coba kamu bayangkan, Mat. Sakit menahun! Sakit menahun bisa dia sembuhkan. Apa lagi cedera bahu mu ini. Kecil!!!" Ririe membuat gerakan ibu jari menyentil ujung kuku jari kelingking. Arti sudah jelas, penyakit Rahmat tak ada apa-apanya di mata tabib yang dia sendiri belum pernah bertemu dibanding penyakit menahun ayah temannya.
Melihat sikap kakaknya Rahmat tersipu malu. Dia segera bangkit dan masuk ke dalam rumah.
Benar kata kakaknya, selagi hidup kita harus optimis dalam menjalaninya tidak boleh pesimis.
...****************...
Mumu melihat rekening koran di aplikasi mobile bankingnya. Seiring berjalannya waktu saldonya terus bertambah.
Terakhir saldo masuk lewat transfer yang dilakukan oleh Buk Yenny.
Alhamdulillah, Pak Sukamto sudah sehat seperti sedia kala. Hanya perlu makan makanan yang bergizi saja untuk menambah stamina tubuhnya.
Karena itu lah Buk Yenny telah mentransfer sejumlah uang yang menurut Mumu terlalu banyak tapi ia tak kuasa menolaknya.
Sebenarnya tadi malam Mumu mendapat undangan acara syukuran di rumah Pak Sukamto. Setelah melalui berbagai pertimbangan Mumu memutuskan untuk tidak menghadirinya. Bukan ide yang bagus jika wajahnya terlalu dikenal publik. Bagaimana pun juga ia masih lah sangat muda. Tak ada jaminan bahwa ia tidak akan terjebak dan terpengaruh ke dalam sifat sombong karena terlalu mendapat pujian dan sanjungan.
'Hmmmm' Mumu menarik dan mengeluarkan nafasnya sambil meregangkan tubuhnya.
Hari ini ia ada pasien yang mengalami cedera di bahunya. Jika tak ada hal-hal lain, mudah-mudahan ia bisa menyembuhkannya nanti.
Mumu segera bersiap-siap. Setelah mengunci pintu pagar Mumu dengan santai menekan gas motornya menuju arah jalan Alah Air sesuai alamat lokasi yang dikirim oleh keluarga pasien.
Mumu tiba di depan sebuah rumah yang halamannya sangat luas. Walaupun rumahnya terbuat dari papan tapi terkesan sangat asri. Rumahnya bersih dikelilingi dengan berbagai kembang yang ditanam dalam pot. Halaman yang luas dipenuhi dengan berbagai macam pohon buah-buahan. Mata menjadi sejuk setiap kali memandangnya.
Seorang gadis yang berjilbab cream muda datang menemuinya, "Cari siapa, bang? Mau ngantar paket?" Sapanya ramah. Dilihat dari umur kemungkinan lebih muda Mumu dibanding gadis ini. Panggilan abang sebagai tanda menghargai orang yang belum dikenal.
Mumu meringis. Apakah ia seperti seorang kurir?'
"Mau cari rumahnya Buk Ririe, Kak. Katanya alamatnya di daerah sini."
"Kamu siapa?" Gadis itu menatap Mumu. Tiba-tiba matanya terbelalak, "Apakah kamu tabib itu? Kok masih sangat muda?" Ucap gadis itu tak percaya.
Mumu sedikit terpana melihat gadis itu. Ekspresi terkejut yang tidak seperti dibuat-buat itu menambah pesonanya yang memang sudah cantik.
Mumu sadar kembali dan segera menjawab, "Ya, saya Mumu."
Raminten